Salahkah bila anak mengungkapkan isi hatinya pada orang tua?
Salahkah bila seorang gadis mengungkapkan perasaan kecewa pada pemuda yang
dicintainya?
Itulah dua pertanyaan besar yang masih mengganggu pikiran
saya. Bagaimana tidak, saya harus berpikir ratusan kali apakah mengatakan saja
hasrat hati saya atau lebih baik diam dan menyimpannya sendiri.
Beberapa jam lalu, saya sempat mengungkapkan salah satu
hasrat hati saya yang terbesar pada keluarga. Efeknya sudah dapat diduga:
respon negatif. Mereka marah dan melabeli pribadi saya secara negatif.
Lagi-lagi mereka mengungkit seputar masa lalu. Mereka malah sempat memberikan
ultimatum. Nada bicara mereka intimidatif.
Saya pun menyerah dan memutuskan tidak pernah lagi
mengatakan apa pun yang menjadi hasrat terdalam di hati saya. Lebih baik saya
simpan dan kelak saya wujudkan sendiri. Butuh waktu sekitar dua jam bagi saya
untuk menenangkan diri dan menetralisir rasa sakit hati yang muncul.
Kasus ini bukannya baru satu-dua kali terjadi. Melainkan
sudah sering saya alami. Tak sedikit pula anak-anak yang mengalaminya dalam
keluarga. Ada rasa takut mengungkapkan keinginan, hasrat hati, perasaan,
mengeluarkan pendapat, menanggapi permasalahan, dan sebagainya. Risiko
kemarahan dan respon negatif terlalu besar. Maka jalan satu-satunya adalah
tetap diam dan memendamnya sendiri.
Terkadang, anak merasakan sikap orang tua begitu keras dan
tidak toleran. Orang tua tidak memahami perasaan mereka. Orang tua tidak
mengerti passion, ekspektasi, ambisi, dan perasaan mereka. Menurut orang tua,
pilihan mereka adalah pilihan yang terbaik. Sementara anak dilarang menentukan
pilihan hidupnya sendiri. Bukankah yang menjalani semuanya adalah anak itu
sendiri? Bagaimana jika si anak merasa berat dengan pilihan orang tuanya?
Bagaimana jika si anak mempunyai idealisme dan pandangan lain atas suatu
pilihan?
Tidak sedikit pula anak yang memiliki harapan tertentu pada
sikap orang tuanya. Ada beberapa poin dalam sikap dan perlakuan orang tua yang
tidak sejalan dengan karakter mereka. Bagi orang tua yang demokratis dan
terbuka pada kritik serta saran, hal ini mungkin mudah. Tapi bagaimana dengan
orang tua yang otoriter dan tidak bisa menerima pendapat dari anak? Ini akan
menyulitkan. Anak akan selamanya merasakan betapa tidak enaknya sikap-sikap orang
tua yang berada di luar harapan mereka.
Anak yang awalnya terbuka bisa menjadi tertutup lantaran
menerima reaksi negatif dari orang tuanya. Reaksi negatif itu bermacam-macam,
bisa berupa perlakuan kasar, hardikan, atau label negatif. Akibatnya, anak akan
lebih memilih diam dan menutup diri. Menyembunyikan perasaan, menumpuknya di
dalam hati, dan risiko terparah adalah keinginan kuat untuk memberontak. Anak
yang pendiam justru lebih sulit ditebak. Bisa saja mereka berpotensi untuk
memberontak dan melakukan hal-hal tak terduga. Wajar bila banyak anak yang
lebih mempercayakan isi hati pada teman-temannya dibandingkan pada orang
tuanya.
Kasus memendam emosi tidak hanya antara anak dengan orang
tua. Melainkan bisa terjadi pada semua orang. Saya pribadi pun tidak hanya
memendam rasa pada orang tua dan keluarga. Saya merasa kecewa pada seseorang,
namun lebih baik saya pendam. Semua ini demi menjaga perasaannya dan
menghindari pertengkaran.
Sebenarnya, saya lebih suka terbuka. Mudah bagi saya
mengekspresikan perasaan. Namun saya melihat situasi dan kondisinya. Saya rasa,
momen dan waktunya kurang tepat. Saya pun tidak ingin terjadi pertengkaran.
Bisa-bisa nanti dia marah dan meninggalkan saya. Meski dapat saya rasakan
kecewa ini semakin lama semakin dalam, saya mencoba sabar dan bertahan.
Banyak faktor yang membuat seseorang memendam emosinya.
Pertama, karena takut menerima respon negatif. Kedua, khawatir mendapat
kritikan. Ketiga, takut orang-orang di sekitarnya tidak bisa menerima
perilakunya. Keempat, tidak ingin mencari masalah. Kelima, tidak ingin
membesar-besarkan masalah.
Dari sisi psikologis dan kesehatan, memendam emosi berdampak
negatif. Seseorang rentan mengalami stress dan Psikosomatis jika terlalu banyak
menumpuk masalah. Depresi dan ketegangan menjadi dampak lainnya yang tidak
kalah menakutkan.
Irma Rahayu, Soul Healer dari Emotional Healing Indonesia,
menyebutkan beberapa dampak negatif dari memendam emosi. Di antaranya sistem
kekebalan tubuh menurun, pernafasan tidak teratur, depresi, dan penuaan dini. Penyakit-penyakit
yang berisiko diderita orang yang suka memendam emosi antara lain:
1. Alergi, penyebabnya penyangkalan pada kekuatan dan
potensi diri.
2. Radang sendi, sebab perasaan tidak dicintai, ditolak, dan
perasaan dikorbankan.
3. Demam, pemicunya karena rasa marah yang tidak
diekspresikan.
4. Penyakit ginjal, disebabkan oleh perasaan gagal, rasa
malu yang ditekan, dan kekecewaan.
5. Gastritis, penyebabnya karena rasa takut, kecemasan, dan
ketidakpuasan pada diri sendiri.
6. Sakit pinggang, pemicunya adalah rasa tidak dicintai dan
kekurangan kasih sayang.
7. Penyakit jantung, faktor utamanya karena rasa kesepian,
rasa takut akan kegagalan, dan kemarahan.
8. Penyakit paru-paru, penyebabnya adalah rasa putus asa,
lelah secara emosional, dan luka batin.
9. Kanker, penyebab utamanya adalah kebencian dan dendam.
10. Diabetes, sebab ada rasa keras kepala dan penolakan
untuk disalahkan.
Dengan banyaknya risiko yang ditimbulkan akibat memendam
emosi, manakah yang akan kita pilih? Tetap diam atau mengungkapkannya?
Bila pun kita tidak bisa mengungkapkannya secara maksimal,
ada beberapa cara agar perasaan kita lebih tenang.
1. Mencari waktu dan ruang untuk sendiri
Bukan hanya Tulus yang butuh Ruang Sendiri, kita pun
memerlukannya. Saat kita sendiri, kita bisa menenangkan diri dan melepaskan
segala emosi yang berkecamuk dalam hati. Kita juga bisa melakukan self-talk
(dialog pada diri sendiri) guna evaluasi, introspeksi, dan memperbaiki apa yang
salah dari diri kita.
2. Curhat pada orang-orang yang bisa dipercaya
Saya pribadi suka opsi yang kedua ini. Carilah orang-orang
terdekat. Bisa teman, sahabat, guru, dosen, psikolog, terapyst, konselor, atau
seseorang yang dengan kata lain telah membuka kunci hati kita (seperti yang
dikatakan Afgan dalam lagunya). Lalu kita utarakan emosi dan isi hati kita.
Berbicara dengan mereka sedikit-banyak dapat melepaskan beban dan melegakan
perasaan.
3. Menulis diary
Walau pun kesannya sudah bukan trend lagi, tak ada salahnya
dicoba. Terkadang saya suka melakukannya. Terlebih hadirnya perangkat teknologi
makin memudahkan saya. Saya bisa menuliskan apa saja di diary. Tak ada yang
perlu ditutupi.
Dengan menulis, kita bisa mengekspresikan perasaan. Kita
bisa mentransliterasikan emosi negatif ke dalam kata-kata.
4. Mencari mood buster
Tiap orang memiliki cara masing-masing untuk memperbaiki
mood. Ada yang suka mengkonsumsi coklat dan es krim, traveling, hunting foto,
membaca buku, mendengarkan musik, menonton film, shopping, dan berbagai
aktivitas lainnya. Saya sendiri lebih memilih menyetel musik favorit saya
sekeras-kerasnya, menyanyi sambil bermain piano, menyendiri, makan makanan
favorit saya, atau memeluk boneka berbentuk kepala Hello Kitty saat saya ingin
memperbaiki mood. Dengan mood yang baik, otomatis emosi negatif akan berkurang.
Perasaan kita akan kembali netral meski sifatnya temporer. Menjaga mood tetap
baik, itulah yang perlu dilakukan.
5. Memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri pada Tuhan
Saat kita jauh dari orang-orang terdekat, saat tak ada satu
pun yang memahami kita, Tuhan akan selalu ada. Tuhan selalu memahami
hamba-hamba-Nya. Tuhan memahami dan mengerti kesulitan kita. Jangan ragu
meningkatkan komunikasi transendental kita pada Sang Pencipta. Tuhan sudah
memiliki rencana yang terbaik untuk kita. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya.
Berdoalah, memohonlah dengan sungguh-sungguh maka pintu kebahagiaan akan
terbuka. Bukankah bila Tuhan berkata ‘kun fayakun’ maka akan terjadi? Apa yang
tak mungkin menjadi mungkin? Dan bukankah semua ada waktunya? Sekarang kita
mungkin terjebak dalam kesedihan dan keputusasaan. Tetapi nanti, kita akan
mendapat anugerah yang luar biasa. Jalani dulu prosesnya, lalu kita akan
merasakan hasilnya.
Pada orang tua saya, ingin saya ungkapkan bahwa saya tak
ingin menjadi dosen seperti yang kalian harapkan. Saya ingin melangkah pada
jalan yang saya cita-citakan dan sedang saya rintis: menjadi psikolog,
terapyst, dan praktisi kesehatan. Bila kalian melabeli saya arogan dan
setengah-setengah, saya terima. Namun label dari kalian akan membekas selamanya
di memori saya. Allah lebih tahu, Allah yang paling tahu. Saya yang menjalani,
bukan kalian. Jika kalian tak terima, saya lebih tak terima lagi ketika kalian
setuju saat mobil itu dibawa kakak saya. Bukankah waktu itu tak satu pun yang
mau repot-repot bertanya pendapat saya? Seakan takdir saya memang untuk
mendengarkan orang lain, bukan untuk didengarkan orang lain.
Dan kepada dia yang diri dan waktu saya telah jadi miliknya,
saya mengaku bila saya kecewa. Saya selalu ada untuk kamu, sesibuk apa pun
saya. Kamu tak bisa selalu ada untuk saya. Waktu selalu saya coba sisihkan
untuk kamu, tapi kamu tak pernah bisa menyisihkan waktu untuk saya. Padahal
aktivitas, kesibukan, dan tugas saya cukup banyak. Saya selalu mengerti
perasaan kamu, tapi kamu tak mengerti perasaan saya. Saya sering bertanya
kepadamu, tapi kamu sering mengelak. Saya sering minta pendapat kamu terkait
project yang ingin saya kerjakan, tapi kamu justru sibuk berbicara tentang
tesismu tanpa pernah menjawab pertanyaan saya. Lalu setelah tesismu selesai
nanti, apa lagi? Mungkin kamu akan meninggalkan saya dan lebih tidak peduli
pada saya? Setelah tesismu selesai, kamu lulus, dan cita-citamu tercapai, lalu
apa lagi sesudahnya? Kamu mau pergi tanpa memikirkan perasaan saya sedikit pun?
Saya mengalami sendiri pernyataan Yura Yunita dalam single terbarunya, Intuisi.
Saya selalu peduli padamu, tapi kamu tidak peduli pada saya. Kamu tidak
mengerti jika saya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayangmu, tidak hanya
kamu yang selalu saya curahi perhatian dan kasih sayang. Ada saat-saat saya
rapuh, terluka, dan memerlukan seseorang. Ada saat saya kesepian dan tidak
berdaya untuk membunuh kesepian itu karena semua orang tak memahami saya. Tapi
kamu pun tidak tahu dan tidak mau peduli. Kamu mengulang-ulang kesalahan yang sama,
selalu saya maafkan. Saya sering berkorban waktu untuk kamu, tapi kamu tidak
pernah mau melakukannya demi saya. Kamu biarkan saya sendirian dan kesepian.
Semoga Allah membuka mata hatimu, Dear.