Minggu, 26 Juni 2016

Sayang, Maaf Ayah Tidak Sempurna

Adriana melangkah tergesa memasuki rumah. Melempar tas dan sepatunya. Dua benda mahal itu terlempar ke karpet. Ia lalu membanting tubuhnya di sofa. Tersedu. Bulir-bulir air mata berjatuhan membasahi pipi.
“Sayang, ada apa? Lho...kamu menangis?”
Andini, sang Bunda, membuka pintu ruang tamu. Berseru cemas mendapati putri semata wayangnya menangis.
“What’s wrong, Dear?” tanya Andini lembut seraya mengusap rambut Adriana.
“Bunda, apa benar Ayah sakit keras? Apa benar Ayah akan meninggal?” Adriana balik bertanya. Suaranya bergetar, tertelan isak.
Mendengar pertanyaan itu, Andini menghela nafas. Hatinya serasa memberat oleh kenyataan pilu.
“Adriana tahu dari mana?”
“Dari Ernest. Kata Mamanya Ernest, Ayah sakit keras. Ayah nggak akan lama lagi sama kita, Bunda.” jelas Adriana.
Ternyata Ernest yang memberi tahu putri kecilnya. Andini tak tahu bagaimana itu semua bisa terjadi. Arina, Mama Ernest, memang seorang dokter spesialis Onkologi. Dialah dokter pribadi Albert, suami Andini, sejak beberapa tahun terakhir. Ya Allah, dengan cara apa ia mesti menjelaskan segalanya pada Adriana? Ia yakin, Albert pun belum mempersiapkan cara jika sewaktu-waktu Adriana tahu tentang kondisinya.
Suara isak tangis Adriana memecah lamunan Andini. Lembut didekapnya kanak-kanak delapan tahun itu. Diusap rambut panjangnya. Dicium keningnya beberapa kali.
“Sayang...Bunda dan Ayah akan jawab pertanyaan Adriana. Tapi nanti, habis buka puasa ya? Toh Ayah juga belum pulang dari kantor. Sekarang Adriana tenang dulu, oke?” hibur Andini.
**   
Fortuner silver itu menepi di halaman rumah. Seorang pria tampan berpostur tinggi dan berjas hitam turun dari mobil. Tak dapat disamarkan ekspresi kesakitan di wajahnya. Beberapa kali ia terhuyung nyaris jatuh. Anak-anak tangga di depan teras dinaikinya. Dapat ia lihat sesosok wanita cantik menanti di sana.
“Assalamualaikum, Andini.” Pria itu tersenyum, mengecup pipi istrinya.
Andini balas tersenyum dan mengecup pipi sang suami. “Waalaikumsalam, Albert.”
“Dimana Adriana?”
Mendengar Albert menyebut nama buah hati mereka, senyum Andini sedikit memudar. Albert langsung menangkap perubahan wajah wanitanya.
“Ada apa, Andini?”
“Adriana...sudah tahu kalau kamu sakit Leukemia.”
Albert terperangah. “Bagaimana dia bisa tahu?”
“Ernest yang cerita. Aku juga tidak tahu bagaimana awalnya. Tapi...”
Kalimat Andini menggantung di udara. Wajah cantiknya seketika kembali sendu. Matanya berkaca-kaca.
Albert menarik nafas panjang. Meraih tubuh Andini. Memeluknya hangat. Andini terenyak. Selalu hangat dan nyaman tiap kali suaminya memeluknya seperti ini. Harum Calvin Klein dari tubuh Albert menyejukkan indera penciumannya.
“Jangan khawatir, Andini. Aku akan jelaskan semuanya pada Adriana.” Albert berkata menenangkan.
“Kenapa harus kamu, Albert? Kenapa harus kamu yang menanggung semua ini? Pria baik sepertimu tak pantas menerimanya.” Andini terisak.
“Andini, aku...”
Tes. Tes.
Tetesan darah segar terjatuh dari hidung Albert. Andini tersentak, cepat-cepat melepas pelukan Albert. Membantu membersihkan dan menghentikan aliran darah.
“Ya Allah...apa sebaiknya kita ke rumah sakit saja?” gumam Andini.
“Tidak usah, Andini. Aku ingin menghabiskan sisa hari ini bersama kau dan Adriana. Di sini, bukan di rumah sakit.” tolak Albert halus.
Tak kuasa Andini mendebat. Ia hanya berharap Albert baik-baik saja. Pria baik hati itu sudah terlalu banyak menderita dan merasakan sakit.
**   
“Hey Sayang...lagi nulis apa?”
Albert memasuki kamar bernuansa soft pink itu. Mendekati Adriana yang sedang duduk di depan meja belajar. Mengguratkan pensil dengan cermat di buku catatannya.
Adriana berbalik. Melompat dari kursi dan memeluk erat ayahnya. Menghadiahinya kecupan hangat di pipi seperti biasa.
“Adriana habis bikin PR, Ayah.”
“Sudah selesai? Atau mau Ayah bantu?” tawar Albert.
Murid Al Irsyad Satya Islamic School itu menggelengkan kepala. “Sudah selesai, Ayah.”
“Pintar...” Albert memuji, mendaratkan belaian hangat di rambut putrinya.
Sesaat hening. Hanya terdengar desis AC di kamar itu.
“Adriana kenapa? Dari tadi Ayah perhatiin kayaknya Adriana sedih banget. Coba cerita sama Ayah...”
“Hmm...tadi Ernest cerita sama Adriana.” Anak kecil itu mulai mengungkapkan isi hatinya.
“Cerita apa?”
“Katanya, Ayah sakit. Sakitnya parah banget. Kanker darah. Bentar lagi Ayah meninggal.”
Albert mengangguk paham. Meneruskan membelai-belai rambut Adriana.
“Adriana sedih. Adriana nggak mau Ayah sakit. Ayah...Ayah yang baik banget masa dikasih penyakit sama Allah?”
Suara Adriana mengecil lalu menghilang. Tak tampak lagi air mata. Namun raut wajahnya menampakkan kesedihan mendalam.
“Maaf Sayang, Ayah tidak sempurna. Beda sama ayah teman-temannya Adriana. Tapi Adriana harus tahu satu hal: Ayah sayang banget sama Adriana.” ujar Albert lembut.
“Iya Ayah, Adriana juga sayang sama Ayah.”
Dalam gerakan slow motion, Albert memeluk Adriana. Membuainya pelan.
“Adriana masih ingat nggak, apa yang dibilang Ustaz Rizal pas Tarawih kemarin malam?” Albert menguji ingatan permata hatinya. “Ingat, Ayah.”
“Apa coba?”
“Kata Ustaz Rizal, takdir ada di tangan Allah. Rezeki, jodoh, kematian, udah ditentuin sama Allah.”
“Benar Adriana, pintar sekali anak Ayah. Allah selalu sayang sama hamba-Nya. Allah tahu mana yang terbaik buat kita semua. Semua yang ditentukan Allah buat kita jadi yang terbaik. Makanya, kita harus ikhlas pada setiap takdir Allah. Ayah ikhlas kok kena kanker darah. Ayah nggak keberatan harus rasain sakit.”
“Tapi Ayah...”
“Kalo kita ikhlas, insya Allah nggak akan terasa berat dan sakitnya. Dari pada kita terus mengeluh dan menyesali diri, lebih baik kita ikhlas. Hati lebih ringan, perasaan bahagia, dan tubuh kita lebih sehat. Karena apa? Karena ada energi positif yang membantu menyehatkan kita. Adriana paham?”
Kata demi kata terserap dalam benak Adriana. Gadis cerdas ini meresapinya, memahaminya dalam-dalam. Perlahan ia mengangguk. Bibirnya mengguratkan senyum.

“Iya, Ayah. Adriana mau ikhlas kayak Ayah. Adriana pasti dampingin Ayah terus. Karena Adriana sayang Ayah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar