Rabu, 17 Desember 2014

Kemilau Asa Safira



Kemilau Asa Safira


Denting lembut piano memecah keheningan ruang music yang terletak di sebuah akademi seni ternama ini. Piano terus berbunyi, mengalunkan nada-nada indah dengan presisi mengagumkan. Figur yang tengah menarikan jemari lentiknya di atas tuts hitam-putih piano tiada lain adalah seorang dara berpostur mungil dengan wajah solid tipikal kaukasia bernama Safira. Sepintas, dara berusia 16 tahun tersebut dapat dikatakan sempurna karena akumulasi paras cantik, sepasang mata berbentuk menyerupai manik-manik, dan lesung pipit di kedua pipi yang membuat roman mukanya kian menawan. Ditambah lagi ia sukses membawakan lagu berjudul ‘a whole new world’ yang menjadi soundtrack film alladin menggunakan penghayatan yang luar biasa. Namun, persepsi orang-orang akan keliru kala melihat kedua tangan Safira. Di sinilah letak ketidaksempurnaan Safira. Ia invalid, hanya memiliki masing-masing 4 jari di tangan kiri dan kanannya. Disabilitas ini terjadi karena bundanya mengalami lobster syndrome sebelum dia terlahir dan merasakan betapa indahnya dunia. Dampak krusial sekaligus fatal yang terjadi, Safira harus menelan realita pahit tak memiliki jari senormal anak-anak pada umumnya. Ironis bukan?
Safira mengakhiri lagu yang ia bawakan secara fade out. Seulas senyum terlukis di bibir tipisnya. Senyum karena dapat menunjukkan talenta bermain piano walau belum ada seorangpun yang menonton performanya. Tidak masalah, yang penting eksistensi anak perempuan berhidung mancung ini tak diragukan lagi. Baru saja mengukir senyum dan berbahagia…
Braaak!!!
Pintu ruang musik menjeblak terbuka, dan masuklah sekumpulan manusia ke dalamnya. Safira terpaku, enigma mulai terbentuk di pikirannya akan kedatangan orang-orang yang telah memecahkan balon kebahagiaan dalam hatinya. 
“ Aku baru tahu ada peraturan baru yang menyatakan murid-murid dari kelas biasa boleh menggunakan fasilitas bagi siswa kelas utama,” seseorang berucap sarkastik. Ucapan yang menusuk perasaan Safira dengan jutaan pedang kesedihan. Pemilik suara tadi adalah sesosok perempuan bertubuh semampai. Ekspresi arogan mendominasi wajahnya. Dia bernama livonna, satu-satunya anak kelas utama yang dikenal Safira. Itupun karena Livonna menorehkan prestasi sebagai artis muda ternama sehingga mau tak mau Safira mengenalnya. Sudah menjadi tradisi bahwa anak-anak kelas biasa dan kelas utama selalu berkonfrontasi.
“ Bila kita memiliki kemampuan dan tekad, mengapa tidak? Kurasa sudah waktunya diskriminasi dicabut di akademi ini.” Sahut Safira berani. Tak ada sebersitpun ketakutan untuk melawan Livonna dan kawan-kawannya.
“ Ingat, Safira! Kau hanyalah anak kelas biasa! Kemampuanmu jauh di bawah kami! Aku dan teman-temanku masuk ke sekolah ini melalui sebuah tes yang memprioritaskan bakat seni. Sedangkan orang sepertimu tak pantas menuntut ilmu di sini!”
Dinding kesabaran Safira nyaris roboh menghadapi serangkaian penghinaan penuh intimidasi yang terlontar dari lisan Livonna. Bisa saja gadis ofensif ini bersikap semena-mena mengingat reputasinya sebagai artis dan putri kepala sekolah. Tetapi bukan Safira namanya jika tinggal diam menghadapi bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Dengan berani ia berucap,
“ Kalau begitu, ayo kita battle. Kamu akan memperlihatkan bakatmu, begitu pula diriku. Aku siap melakukannya kapan saja.”
Tawa Livonna sedingin laut baltik begitu mendengar tantangan yang diajukan rivalnya.
“ Baik, siapa takut? Kau harus bisa memainkan alat musik lain, tak hanya piano untuk mendemonstrasikan kemampuanmu. Teman-temanmu akan menjadi dancer saat kau tampil nanti. Dan…satu lagi: mainkan lagu bertempo cepat. Selama ini kamu hanya bisa membawakan lagu dengan irama pelan. Jika kau berhasil mengalahkanku, akan kupastikan semua perlakuan tidak adil pada siswa kelas biasa dihapuskan.”
Safira terperangah usai Livonna menerangkan kompensasi yang akan didapatkan dalam battle mereka. Antusiasme membara dalam dadanya. Ya, prospek ini layak dicoba. Terlebih ada potensi untuk menghapuskan bermacam bentuk diskriminasi antara murid kelas utama dan kelas biasa.
“ Aku akan tetap menantangmu. Seminggu lagi kita akan bertanding di sini.”
Setelah bersepakat, Safira bergegas meninggalkan ruang musik diiringi tatapan meremehkan dari Livonna dan kroni-kroninya. Namun semaksimal mungkin ia mengabaikan gesture tersebut. Fokusnya sekarang terletak pada pertarungan yang akan dihadapi. Sejumput harapan mulai tumbuh, diikuti dengan hadirnya asa. Ia harus bisa meruntuhkan benteng keangkuhan Livonna beserta seluruh intelektual muda penghuni kelas utama.
**    

“ Ada apa gerangan dengan anak bunda yang rupawan ini?”
Pertanyaan lembut bunda membuyarkan lamunan Safira. Sejak tiba di rumah hingga senja yang berganti menjadi malam, dara jelita ini mengalami dilema. Bingung dengan jenis instrumen musik yang akan dia mainkan dalam pertarungan dengan Livonna. Apa lagi ia harus membawakan lagu bertempo cepat. Situasi dilematis yang kompleks menanti untuk diselesaikan.
“ Berceritalah sama bunda, siapa tahu bunda bisa membantumu.” Bujuk wanita paruh baya berpenampilan anggun itu memohon.
Safira mendesah, luluh oleh kelembutan serta ketulusan bundanya. Sulit sekali menyimpan rahasia di bawah intel hati seorang ibu yang senantiasa mampu menyelami perasaan buah hatinya.
Safirapun mencurahkan segenap kegundahan yang berpusar dalam hati dan jiwa. Bunda menyimak dengan penuh perhatian, sesekali melayangkan tatapan kagum pada putri tunggalnya. Beliau jelas diliputi kekaguman sebab Safira memiliki keberanian untuk menunjukkan talenta. Tak hanya untuk diri sendiri, Safira memperjuangkan keadilan serta berupaya menghapuskan semua sikap kontradiktif yang diberikan antara murid kelas utama dan kelas biasa.
“…Begitulah bunda. Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?”
“ Kamu lupa ya, siapa bunda yang sebenarnya? Bundamu ini kan berprofesi sebagai arranger dan musisi. Ayo ikut bunda!”
Masih belum mengerti koherensi karier yang ditekuni bunda dengan pertarungannya dengan Livonna, Safira melangkah mengikuti bunda ke studio musik. Bunda membuka pintu studio dan mengajak Safira masuk ke dalamnya.
“ Kita bisa merealisasikan ekspektasi dengan mudah lewat pemikiran rasional dan kemauan yang kuat,” kata bunda diplomatis seraya meraih sebuah biola berwarna hitam yang terhampar manis di sudut studio. Diulurkannya biola itu pada Safira. Sejurus kemudian, sebuah pemahaman mulai merasuki kepala Safira akan solusi brilian yang dirancang bunda.
“ Bunda, apakah…apakah biola ini pemecahannya?” Lirih Safira.
“ Tentu saja. Biola ini akan membantumu memenangkan pertandingan dengan Livonna.”
Maka, mulailah ibu dan anak yang sangat harmonis itu berlatih memainkan biola. Bunda terus mengajari Safira tanpa mengenal lelah. Lautan kesabaran seolah tak bertepi ketika mengajari buah hatinya. Benarlah opini para filsuf bahwa manusia merupakan makhluk sosial, artinya tak mampu hidup tanpa kehadiran orang lain. Di studio musik ini, Safira benar-benar merasakan esensi kebahagiaan menjadi makhluk sosial. Tidak sebatas bertahan hidup saja, untuk memenuhi terpenuhinya sebuah asapun setiap insan memerlukan manusia lain yang menolongnya.
**   

Malam menggantikan senja. Selimut kelamnya menyelubungi seantero metropolitan dalam kegelapan. Namun kemunculan sang dewi malam dan berlian-berlian langit segera mengusir kekelaman malam. Waktu malam tiba seperti ini, intensitas kemacetan berkurang signifikan dikarenakan mayoritas penduduk ibu kota telah kembali ke tempat tinggal mereka. Tenang, satu kata yang relevan untuk menginterpretasikan kota jakarta di malam hari.
Malam yang indah dan damai amat representatif dengan suasana hati Safira. Setelah menjalani sesi latihan bersama bunda selama beberapa hari terakhir, dirinya mampu membawakan lagu yang telah dipilihnya dengan baik. Kesalahan-kesalahan yang kerap kali dilakukan dapat diantisipasi. Semakin hari, kian besar progres yang didapat Safira. Safira menemukan kembali optimisme, sementara piramida kebanggaan berdiri tegak dalam hati bunda. Kebanggaan karena anak semata wayangnya bisa bermain biola dengan kedelapan jarinya.
“ Bunda?”
“ Ya Sayang?”
“ Bintang-bintang itu selalu terlihat indah.” Safira bergumam, menatapi gemerlap bintang di petala langit.
“ Kamu benar. Setiap malam, bintang dan bulan selalu berkonspirasi menerangi jagat raya. Dan kamu tahu apa makna kilau bintang yang tampak sangat menawan?” Tanya bunda.
Safira menggelengkan kepala, keingintahuannya bangkit.
“ Kilau bintang itu layaknya harapan dan asa yang terpatri di relung hati dan jiwa kita. Kala kita memiliki harapan dan asa, bintang-bintang itu menjelma bagai kemilau asa dan harapan yang kita bangkitkan. Dan akibat keindahannya, kita termotivasi untuk mewujudkan segala asa serta ekspektasi kita. Safira mengerti?”
Safira terpana, meresapi perkataan filosofis bunda. Secara implisit bunda memacu semangatnya untuk terus berjuang. Seburuk apapun kondisi fisik, takkan pernah menjadi halangan bagi kita dalam meraih gempita kesuksesan.
Sayang sekali, saat-saat indah penuh kasih itu diinterupsi oleh kepulangan ayah. Sebagai businessman yang sibuk mengurus belasan perusahaan, ayah Safira jarang sekali bisa meluangkan waktu bersama keluarga. Wajar bila Safira lebih dekat dengan bunda dibanding dengan ayahnya. Dan malam ini, sang ayah ingin melampiaskan obsesi melewatkan waktu dengan istri dan putrinya. Beliau melangkah tegap memasuki studio musik, lantas menyapa.
“ Selamat malam semuanya. Sudah ayah duga kalian ada di sini…”
Mendadak, pandangannya terfokus pada biola yang dipegang Safira. Sontak ekspresinya bertransformasi: senyum ceria penuh kehangatan lenyap, tergantikan oleh luapan amarah dan kesedihan. Wajah bunda ikut memias, menyadari apa yang terjadi.
“ Biola itu…”
“ Dengarkan aku dulu, ayah. Ini demi…”
“ Bukankah sudah kularang siapapun menyentuh apa lagi memainkan biola itu?!!! Sadarkah kau tersimpan banyak kenangan manis tentang ibu kandung Safira dalam biola itu?” Geram ayah, suaranya menggelegar bagai pengkhotbah di puncak bukit golgota.
Safira terpaku laksana menhir begitu mendengar kalimat terakhir ayah. Ibu kandung? Bukankah selama ini…. Pada saat bersamaan, ayah dan bunda teringat bahwa Safira masih berada di sisi mereka. Terlambat untuk berkelit, toh segala tabir rahasia akan tersingkap.
“ Baiklah. Anakku, sudah waktunya kamu tahu. Sebenarnya, ibu kandungmu sudah lama meninggal. Sebelum meninggal, ibu kandungmu merupakan pemain biola ternama. Itu sebabnya ayah menjadi paranoid pada biola, karena terlalu banyak kenangan tentang ibumu di dalamnya.”
Kata-kata seolah terkunci dalam benak Safira. Ya tuhan, sungguh semua kejutan ini berada di luar asumsinya. Ternyata, bunda yang mencintai, menyayangi, mendidik, dan membesarkannya bukanlah bunda yang memiliki ikatan biologis dengan Safira. Mengapa rahasia itu harus tersingkap menjelang event yang membutuhkan konsentrasi? Tragis.
**      

Hari yang dinantipun tiba. Seluruh civitas academica akademi seni tempat Safira bersekolah telah datang ke ruang musik. Mereka didera keingintahuan pada battle yang dilakukan Safira dan Livonna. Atmosfer ketegangan menebar di seantero ruangan, bisikan-bisikan penuh gairah terus terdengar.
Di belakang panggung, tak hentinya Safira memanjatkan doa, memohon yang terbaik. Sebab pertarungan prestisius inipun mempertaruhkan nama teman-temannya. Kendati belum pulih dari shock akibat kenyataan akan ibu kandungnya, Safira sudah berjanji akan berupaya maksimal dalam battle melawan Livonna. Siluet bunda dan ayah senantiasa mendukung, walau secara non-verbal. Ketika momen dimulai, Safira menguatkan hati dan jiwa, lalu melangkah menuju panggung.
Livonna yang pertama kali tampil. Tampak memesona dalam balutan dress berbentuk tube top berwarna merah marun, gadis angkuh ini membawakan lagu ‘You Belong With Me’ yang dipopulerkan penyanyi cantik Tailor Swift. Partner-partner Livonna dari kelas utama melakukan koreografi dengan serangkaian gerakan kreatif yang memikat. Ketiga juri yang diundang, meliputi koreografer profesional, arranger ternama, dan kritikus seni dibuai kekaguman melihat penampilan Livonna. Sebagian besar hadirin memberi applause setelah Livonna menyelesaikan show yang dibawakan dalam konsep yang cerdas itu.
Dan saat-saat mendebarkan bagi Safira itu tiba juga. Menempatkan diri di depan sebuah biola, kembali dihelanya nafas dalam-dalam. ‘ini semua demi orang-orang yang kucintai’ bisik hatinya. Setelah mengalunkan nada intro, mulailah dara berlesung pipi tersebut bernyanyi disambuti rangkaian koreografi yang dilakukan sejumlah kawannya:

Dansa yo dansa buat apalah bermuram durja habiskan waktu dengan percuma
Hati nelangsa buat apa…

Demikianlah sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan Safira dengan sepenuh hati. Dalam kondisi psikis yang tak menentupun, ia tetap konsisten dan bertanggung jawab dengan apa yang harus ditampilkan. Teman-temannyapun menarikan koreografi dengan gerakan-gerakan yang tak kalah inovatif dengan murid dari kelas utama. Dewan juri dibuat terpesona akan performance mereka. Penampilan Safira sukses, ia mampu membidikkan panah kekaguman dalam hati para juri dan hadirin. Lebih menakjubkan lagi, di akhir pementasan ketiga juri dan semua orang dalam studio musik itu memberikan standing applause, sebuah penghormatan dan pujian yang luar biasa.
Perlu beberapa waktu untuk para juri berkonferensi menentukan siapa pemenang dalam battle kali ini. Kontras dengan Livonna yang pesimis, Safira justru tengah berada dalam euforia optimisme. Dan akhirnya…
“ Sebuah keputusan telah kami tetapkan. Livonna, penampilanmu sangat bagus dan mengagumkan. Sejak dulu kami memang mengerti kau sangat berbakat. Tapi ada yang mengalahkanmu di panggung ini, yaitu Safira. Hanya satu yang membuatmu kalah: kekuatan tekad. Karena kamu…arogan, kamu tidak punya motivasi untuk menang. Prediksimu, kamu akan selalu menang. Namun kenyataan berbicara lain. Jadi pemenangnya adalah…Safira.”
Tepuk tangan membahana di seluruh ruang musik. Satu per satu insan datang dan memberi ucapan selamat pada Safira. Livonnapun dengan gentle mengakui kekalahan dan menepati janjinya. Tak ayal lagi, kemenangan ini mampu mengobati keterkejutan sekaligus duka yang melanda Safira. Akhirnya, dengan kemilau asanya, dia mampu menumpas setiap bentuk diskriminasi sekaligus mengangkat reputasinya sendiri. Itulah hasil yang kita peroleh dalam kerja keras dan mematrikan kemilau asa di dalam jiwa.

Selesai

Kemilau Asa Safira



Kemilau Asa Safira


Denting lembut piano memecah keheningan ruang music yang terletak di sebuah akademi seni ternama ini. Piano terus berbunyi, mengalunkan nada-nada indah dengan presisi mengagumkan. Figur yang tengah menarikan jemari lentiknya di atas tuts hitam-putih piano tiada lain adalah seorang dara berpostur mungil dengan wajah solid tipikal kaukasia bernama Safira. Sepintas, dara berusia 16 tahun tersebut dapat dikatakan sempurna karena akumulasi paras cantik, sepasang mata berbentuk menyerupai manik-manik, dan lesung pipit di kedua pipi yang membuat roman mukanya kian menawan. Ditambah lagi ia sukses membawakan lagu berjudul ‘a whole new world’ yang menjadi soundtrack film alladin menggunakan penghayatan yang luar biasa. Namun, persepsi orang-orang akan keliru kala melihat kedua tangan Safira. Di sinilah letak ketidaksempurnaan Safira. Ia invalid, hanya memiliki masing-masing 4 jari di tangan kiri dan kanannya. Disabilitas ini terjadi karena bundanya mengalami lobster syndrome sebelum dia terlahir dan merasakan betapa indahnya dunia. Dampak krusial sekaligus fatal yang terjadi, Safira harus menelan realita pahit tak memiliki jari senormal anak-anak pada umumnya. Ironis bukan?
Safira mengakhiri lagu yang ia bawakan secara fade out. Seulas senyum terlukis di bibir tipisnya. Senyum karena dapat menunjukkan talenta bermain piano walau belum ada seorangpun yang menonton performanya. Tidak masalah, yang penting eksistensi anak perempuan berhidung mancung ini tak diragukan lagi. Baru saja mengukir senyum dan berbahagia…
Braaak!!!
Pintu ruang musik menjeblak terbuka, dan masuklah sekumpulan manusia ke dalamnya. Safira terpaku, enigma mulai terbentuk di pikirannya akan kedatangan orang-orang yang telah memecahkan balon kebahagiaan dalam hatinya. 
“ Aku baru tahu ada peraturan baru yang menyatakan murid-murid dari kelas biasa boleh menggunakan fasilitas bagi siswa kelas utama,” seseorang berucap sarkastik. Ucapan yang menusuk perasaan Safira dengan jutaan pedang kesedihan. Pemilik suara tadi adalah sesosok perempuan bertubuh semampai. Ekspresi arogan mendominasi wajahnya. Dia bernama livonna, satu-satunya anak kelas utama yang dikenal Safira. Itupun karena Livonna menorehkan prestasi sebagai artis muda ternama sehingga mau tak mau Safira mengenalnya. Sudah menjadi tradisi bahwa anak-anak kelas biasa dan kelas utama selalu berkonfrontasi.
“ Bila kita memiliki kemampuan dan tekad, mengapa tidak? Kurasa sudah waktunya diskriminasi dicabut di akademi ini.” Sahut Safira berani. Tak ada sebersitpun ketakutan untuk melawan Livonna dan kawan-kawannya.
“ Ingat, Safira! Kau hanyalah anak kelas biasa! Kemampuanmu jauh di bawah kami! Aku dan teman-temanku masuk ke sekolah ini melalui sebuah tes yang memprioritaskan bakat seni. Sedangkan orang sepertimu tak pantas menuntut ilmu di sini!”
Dinding kesabaran Safira nyaris roboh menghadapi serangkaian penghinaan penuh intimidasi yang terlontar dari lisan Livonna. Bisa saja gadis ofensif ini bersikap semena-mena mengingat reputasinya sebagai artis dan putri kepala sekolah. Tetapi bukan Safira namanya jika tinggal diam menghadapi bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Dengan berani ia berucap,
“ Kalau begitu, ayo kita battle. Kamu akan memperlihatkan bakatmu, begitu pula diriku. Aku siap melakukannya kapan saja.”
Tawa Livonna sedingin laut baltik begitu mendengar tantangan yang diajukan rivalnya.
“ Baik, siapa takut? Kau harus bisa memainkan alat musik lain, tak hanya piano untuk mendemonstrasikan kemampuanmu. Teman-temanmu akan menjadi dancer saat kau tampil nanti. Dan…satu lagi: mainkan lagu bertempo cepat. Selama ini kamu hanya bisa membawakan lagu dengan irama pelan. Jika kau berhasil mengalahkanku, akan kupastikan semua perlakuan tidak adil pada siswa kelas biasa dihapuskan.”
Safira terperangah usai Livonna menerangkan kompensasi yang akan didapatkan dalam battle mereka. Antusiasme membara dalam dadanya. Ya, prospek ini layak dicoba. Terlebih ada potensi untuk menghapuskan bermacam bentuk diskriminasi antara murid kelas utama dan kelas biasa.
“ Aku akan tetap menantangmu. Seminggu lagi kita akan bertanding di sini.”
Setelah bersepakat, Safira bergegas meninggalkan ruang musik diiringi tatapan meremehkan dari Livonna dan kroni-kroninya. Namun semaksimal mungkin ia mengabaikan gesture tersebut. Fokusnya sekarang terletak pada pertarungan yang akan dihadapi. Sejumput harapan mulai tumbuh, diikuti dengan hadirnya asa. Ia harus bisa meruntuhkan benteng keangkuhan Livonna beserta seluruh intelektual muda penghuni kelas utama.
**    

“ Ada apa gerangan dengan anak bunda yang rupawan ini?”
Pertanyaan lembut bunda membuyarkan lamunan Safira. Sejak tiba di rumah hingga senja yang berganti menjadi malam, dara jelita ini mengalami dilema. Bingung dengan jenis instrumen musik yang akan dia mainkan dalam pertarungan dengan Livonna. Apa lagi ia harus membawakan lagu bertempo cepat. Situasi dilematis yang kompleks menanti untuk diselesaikan.
“ Berceritalah sama bunda, siapa tahu bunda bisa membantumu.” Bujuk wanita paruh baya berpenampilan anggun itu memohon.
Safira mendesah, luluh oleh kelembutan serta ketulusan bundanya. Sulit sekali menyimpan rahasia di bawah intel hati seorang ibu yang senantiasa mampu menyelami perasaan buah hatinya.
Safirapun mencurahkan segenap kegundahan yang berpusar dalam hati dan jiwa. Bunda menyimak dengan penuh perhatian, sesekali melayangkan tatapan kagum pada putri tunggalnya. Beliau jelas diliputi kekaguman sebab Safira memiliki keberanian untuk menunjukkan talenta. Tak hanya untuk diri sendiri, Safira memperjuangkan keadilan serta berupaya menghapuskan semua sikap kontradiktif yang diberikan antara murid kelas utama dan kelas biasa.
“…Begitulah bunda. Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?”
“ Kamu lupa ya, siapa bunda yang sebenarnya? Bundamu ini kan berprofesi sebagai arranger dan musisi. Ayo ikut bunda!”
Masih belum mengerti koherensi karier yang ditekuni bunda dengan pertarungannya dengan Livonna, Safira melangkah mengikuti bunda ke studio musik. Bunda membuka pintu studio dan mengajak Safira masuk ke dalamnya.
“ Kita bisa merealisasikan ekspektasi dengan mudah lewat pemikiran rasional dan kemauan yang kuat,” kata bunda diplomatis seraya meraih sebuah biola berwarna hitam yang terhampar manis di sudut studio. Diulurkannya biola itu pada Safira. Sejurus kemudian, sebuah pemahaman mulai merasuki kepala Safira akan solusi brilian yang dirancang bunda.
“ Bunda, apakah…apakah biola ini pemecahannya?” Lirih Safira.
“ Tentu saja. Biola ini akan membantumu memenangkan pertandingan dengan Livonna.”
Maka, mulailah ibu dan anak yang sangat harmonis itu berlatih memainkan biola. Bunda terus mengajari Safira tanpa mengenal lelah. Lautan kesabaran seolah tak bertepi ketika mengajari buah hatinya. Benarlah opini para filsuf bahwa manusia merupakan makhluk sosial, artinya tak mampu hidup tanpa kehadiran orang lain. Di studio musik ini, Safira benar-benar merasakan esensi kebahagiaan menjadi makhluk sosial. Tidak sebatas bertahan hidup saja, untuk memenuhi terpenuhinya sebuah asapun setiap insan memerlukan manusia lain yang menolongnya.
**   

Malam menggantikan senja. Selimut kelamnya menyelubungi seantero metropolitan dalam kegelapan. Namun kemunculan sang dewi malam dan berlian-berlian langit segera mengusir kekelaman malam. Waktu malam tiba seperti ini, intensitas kemacetan berkurang signifikan dikarenakan mayoritas penduduk ibu kota telah kembali ke tempat tinggal mereka. Tenang, satu kata yang relevan untuk menginterpretasikan kota jakarta di malam hari.
Malam yang indah dan damai amat representatif dengan suasana hati Safira. Setelah menjalani sesi latihan bersama bunda selama beberapa hari terakhir, dirinya mampu membawakan lagu yang telah dipilihnya dengan baik. Kesalahan-kesalahan yang kerap kali dilakukan dapat diantisipasi. Semakin hari, kian besar progres yang didapat Safira. Safira menemukan kembali optimisme, sementara piramida kebanggaan berdiri tegak dalam hati bunda. Kebanggaan karena anak semata wayangnya bisa bermain biola dengan kedelapan jarinya.
“ Bunda?”
“ Ya Sayang?”
“ Bintang-bintang itu selalu terlihat indah.” Safira bergumam, menatapi gemerlap bintang di petala langit.
“ Kamu benar. Setiap malam, bintang dan bulan selalu berkonspirasi menerangi jagat raya. Dan kamu tahu apa makna kilau bintang yang tampak sangat menawan?” Tanya bunda.
Safira menggelengkan kepala, keingintahuannya bangkit.
“ Kilau bintang itu layaknya harapan dan asa yang terpatri di relung hati dan jiwa kita. Kala kita memiliki harapan dan asa, bintang-bintang itu menjelma bagai kemilau asa dan harapan yang kita bangkitkan. Dan akibat keindahannya, kita termotivasi untuk mewujudkan segala asa serta ekspektasi kita. Safira mengerti?”
Safira terpana, meresapi perkataan filosofis bunda. Secara implisit bunda memacu semangatnya untuk terus berjuang. Seburuk apapun kondisi fisik, takkan pernah menjadi halangan bagi kita dalam meraih gempita kesuksesan.
Sayang sekali, saat-saat indah penuh kasih itu diinterupsi oleh kepulangan ayah. Sebagai businessman yang sibuk mengurus belasan perusahaan, ayah Safira jarang sekali bisa meluangkan waktu bersama keluarga. Wajar bila Safira lebih dekat dengan bunda dibanding dengan ayahnya. Dan malam ini, sang ayah ingin melampiaskan obsesi melewatkan waktu dengan istri dan putrinya. Beliau melangkah tegap memasuki studio musik, lantas menyapa.
“ Selamat malam semuanya. Sudah ayah duga kalian ada di sini…”
Mendadak, pandangannya terfokus pada biola yang dipegang Safira. Sontak ekspresinya bertransformasi: senyum ceria penuh kehangatan lenyap, tergantikan oleh luapan amarah dan kesedihan. Wajah bunda ikut memias, menyadari apa yang terjadi.
“ Biola itu…”
“ Dengarkan aku dulu, ayah. Ini demi…”
“ Bukankah sudah kularang siapapun menyentuh apa lagi memainkan biola itu?!!! Sadarkah kau tersimpan banyak kenangan manis tentang ibu kandung Safira dalam biola itu?” Geram ayah, suaranya menggelegar bagai pengkhotbah di puncak bukit golgota.
Safira terpaku laksana menhir begitu mendengar kalimat terakhir ayah. Ibu kandung? Bukankah selama ini…. Pada saat bersamaan, ayah dan bunda teringat bahwa Safira masih berada di sisi mereka. Terlambat untuk berkelit, toh segala tabir rahasia akan tersingkap.
“ Baiklah. Anakku, sudah waktunya kamu tahu. Sebenarnya, ibu kandungmu sudah lama meninggal. Sebelum meninggal, ibu kandungmu merupakan pemain biola ternama. Itu sebabnya ayah menjadi paranoid pada biola, karena terlalu banyak kenangan tentang ibumu di dalamnya.”
Kata-kata seolah terkunci dalam benak Safira. Ya tuhan, sungguh semua kejutan ini berada di luar asumsinya. Ternyata, bunda yang mencintai, menyayangi, mendidik, dan membesarkannya bukanlah bunda yang memiliki ikatan biologis dengan Safira. Mengapa rahasia itu harus tersingkap menjelang event yang membutuhkan konsentrasi? Tragis.
**      

Hari yang dinantipun tiba. Seluruh civitas academica akademi seni tempat Safira bersekolah telah datang ke ruang musik. Mereka didera keingintahuan pada battle yang dilakukan Safira dan Livonna. Atmosfer ketegangan menebar di seantero ruangan, bisikan-bisikan penuh gairah terus terdengar.
Di belakang panggung, tak hentinya Safira memanjatkan doa, memohon yang terbaik. Sebab pertarungan prestisius inipun mempertaruhkan nama teman-temannya. Kendati belum pulih dari shock akibat kenyataan akan ibu kandungnya, Safira sudah berjanji akan berupaya maksimal dalam battle melawan Livonna. Siluet bunda dan ayah senantiasa mendukung, walau secara non-verbal. Ketika momen dimulai, Safira menguatkan hati dan jiwa, lalu melangkah menuju panggung.
Livonna yang pertama kali tampil. Tampak memesona dalam balutan dress berbentuk tube top berwarna merah marun, gadis angkuh ini membawakan lagu ‘You Belong With Me’ yang dipopulerkan penyanyi cantik Tailor Swift. Partner-partner Livonna dari kelas utama melakukan koreografi dengan serangkaian gerakan kreatif yang memikat. Ketiga juri yang diundang, meliputi koreografer profesional, arranger ternama, dan kritikus seni dibuai kekaguman melihat penampilan Livonna. Sebagian besar hadirin memberi applause setelah Livonna menyelesaikan show yang dibawakan dalam konsep yang cerdas itu.
Dan saat-saat mendebarkan bagi Safira itu tiba juga. Menempatkan diri di depan sebuah biola, kembali dihelanya nafas dalam-dalam. ‘ini semua demi orang-orang yang kucintai’ bisik hatinya. Setelah mengalunkan nada intro, mulailah dara berlesung pipi tersebut bernyanyi disambuti rangkaian koreografi yang dilakukan sejumlah kawannya:

Dansa yo dansa buat apalah bermuram durja habiskan waktu dengan percuma
Hati nelangsa buat apa…

Demikianlah sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan Safira dengan sepenuh hati. Dalam kondisi psikis yang tak menentupun, ia tetap konsisten dan bertanggung jawab dengan apa yang harus ditampilkan. Teman-temannyapun menarikan koreografi dengan gerakan-gerakan yang tak kalah inovatif dengan murid dari kelas utama. Dewan juri dibuat terpesona akan performance mereka. Penampilan Safira sukses, ia mampu membidikkan panah kekaguman dalam hati para juri dan hadirin. Lebih menakjubkan lagi, di akhir pementasan ketiga juri dan semua orang dalam studio musik itu memberikan standing applause, sebuah penghormatan dan pujian yang luar biasa.
Perlu beberapa waktu untuk para juri berkonferensi menentukan siapa pemenang dalam battle kali ini. Kontras dengan Livonna yang pesimis, Safira justru tengah berada dalam euforia optimisme. Dan akhirnya…
“ Sebuah keputusan telah kami tetapkan. Livonna, penampilanmu sangat bagus dan mengagumkan. Sejak dulu kami memang mengerti kau sangat berbakat. Tapi ada yang mengalahkanmu di panggung ini, yaitu Safira. Hanya satu yang membuatmu kalah: kekuatan tekad. Karena kamu…arogan, kamu tidak punya motivasi untuk menang. Prediksimu, kamu akan selalu menang. Namun kenyataan berbicara lain. Jadi pemenangnya adalah…Safira.”
Tepuk tangan membahana di seluruh ruang musik. Satu per satu insan datang dan memberi ucapan selamat pada Safira. Livonnapun dengan gentle mengakui kekalahan dan menepati janjinya. Tak ayal lagi, kemenangan ini mampu mengobati keterkejutan sekaligus duka yang melanda Safira. Akhirnya, dengan kemilau asanya, dia mampu menumpas setiap bentuk diskriminasi sekaligus mengangkat reputasinya sendiri. Itulah hasil yang kita peroleh dalam kerja keras dan mematrikan kemilau asa di dalam jiwa.

Selesai