Selasa, 14 Juli 2020

Good Bye Yanda Yuliet, Wellcome Ayah Calvin


Good Bye Yanda Yuliet, Wellcome Ayah Calvin
Rest in Peace
Telah berpulang Yanda tercinta, Yuliet Mueler.
Yanda Yuliet meninggal dunia pada pukul 20.10 malam.
Jenazah akan dimakamkan di Cemitiere Park pukul 09.00 pagi.
Dengan segala kerendahan hati, kami mewakili Yanda Yuliet memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan yang telah dilakukan Yanda selama hidupnya, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Unggahan bernapaskan duka itu merobek hati Calvin. Layar iPad seolah berkabut. Seluruh perhatiannya tersita oleh postingan yang diunggah akun @LaurelYuliet
“Ya, Tuhan, benarkah ini?” Calvin mendesah tak percaya.
Yuliet pergi secepat itu. Apa yang terjadi dengannya? Penyakit, kecelakaan, atau semata takdir hidupkah yang merenggut nyawanya? Bagai racun, kesedihan menyebar cepat ke ruang-ruang hampa di jiwa.
Ibu jari Calvin menutup aplikasi Instagram dalam hitungan detik. Secepat kilat, ia melesat ke garasi. Bukan waktunya bertanya-tanya. Ia harus tiba di rumah duka secepatnya.
**   
Kau tinggalkan aku di saat
'Ku merasa t'lah temukan belahan jiwaku
Selamat tinggal bila kau ingin pergi
Tak mungkin lagi 'ku memaksamu di sini
Lupakan aku bila tak cinta lagi
Doakan saja 'ku mendapatkan pengganti lebih baik darimu (Rey Mbayang-Selamat Tinggal).
**   
Gadis cantik itu jatuh berlutut. Kosong matanya memandangi peti jenazah yang tertutup rapat. Sesuai wasiat terakhirnya, Yuliet dimakamkan tak kurang dari dua puluh empat jam sejak ia menghembuskan napas terakhir.
Pelupuk mata gadis itu lebam seperti petinju kena hantam. Air bening mengalir tanpa henti dari kedua iris kebiruannya. Sesaat, matanya nampak seperti kolam renang biru nan bening. Bahunya berguncang dalam isak tanpa suara. Sepasang tangan putihnya mencengkeram erat peti kayu itu, seolah tak rela melepasnya.
“Sudahlah, Ceci. Tolong menyingkir dari situ. Kita harus segera memakamkan Yanda,” pinta Laurel.
Cecilia menggeleng kuat. Makin banyak embun jernih yang menggenangi netranya.
“Nggak, nggak. Yanda nggak boleh dibawa pergi!” tolaknya frustrasi.
Lembut tapi tegas, Laurel menuntun adiknya menjauh dari peti. Empat lelaki kekar bergegas menggotong peti ke mobil ambulans. Cecilia berteriak histeris melihat kotak kayu besar yang membawa jasad Yuliet melenyap ditelan pintu mobil.
“BERHENTI! BERHENTI! JANGAN BAWA YANDA!”
“Ceci, tenanglah. Ayo kita naik. Kalau tidak, kita bisa ditinggal.”
Kali ini Laurel menggandeng lengan Cecilia masuk ke ambulans. Di dalam, telah duduk ibu mereka. Wanita uzur yang belum kehilangan sisa kecantikannya itu terduduk lesu. Matanya merah dan sembap.
“Ibun ....” Cecilia menyandarkan kepala ke bahu ibunya, terisak-isak.
Leika membelai-belai rambut putrinya tanpa bicara. Kesedihan ini membungkam suaranya. Ibu dua anak pemilik rumah makan itu terlarut dalam kebisuan yang panjang. Lidahnya seakan terkunci sejak dokter mengabarkan jika Yuliet telah bergandengan mesra dengan Izrail.
Sirine meraung kencang. Lampunya menyorot galak, mengusir kendaraan-kendaraan yang menghalangi. Perjalanan ke pemakaman berlangsung lancar. Cecilia begitu sibuk menangis hingga tak menyadari sebuah Toyota Camry hitam lekat membuntuti.
Seperempat jam kemudian, ambulans menepi di dekat gerbang pemakaman. Peti jenazah diturunkan. Ekor mata Laurel menangkap kelebatan sosok pria berjas dan berdasi hitam yang melangkah turun dari Toyota Camry.
“Biar saya bantu,” tawar pria itu lembut saat orang-orang bersiap menurunkan peti.
Para pelayat berjalan pelan memasuki taman makam. Semuanya diam dan hening. Masing-masing tak lupa menjaga jarak sekitar satu setengah meter. Masker menutup mulut dan hidung mereka. Beginilah prosesi pemakaman di era normal baru.
Jenazah dimasukkan ke liang lahat. Tanpa diduga, si pria berjas rapi ikut menggali kubur. Ia tak peduli kegiatan itu dapat mengotori jas mahalnya.
Di balik pantulan air mata, akhirnya Cecilia melihat pria itu. Pria perlente bermata sipit, berparas oriental, dan bertubuh setinggi 175 senti yang ikut menggerakkan sekop untuk menggali lubang dalam. Siapakah pria itu? Punggungnya berkilau tertimpa sinar mentari.
“Ibun, itu siapa?” bisik Cecilia.
“Namanya Ayah Calvin. Beliau sahabat Yandamu. Sebentar lagi kamu harus ikut dengannya,” sahut Leikha serak.
Mata Cecilia membesar. Apa ibunya tak salah? Dia harus ikut dengan pria yang tak dikenal?
“Tapi, Ibun ... Ceci mau di rumah aja. Ceci mau temenin Ibun,” bantah gadis itu. Gelisah ia memilin-milin rambut coklatnya.
Rejeksi Cecilia disambuti gelengan kepala Leikha. Ia menatap putrinya tajam.
“Keluarga kita berutang budi padanya, Ceci.”
Pada saat bersamaan, pria metropolis itu berbalik. Iris kecoklatannya bertabrakan dengan sepasang mata biru Cecilia. Si mata biru mendengus dalam hati. Apa yang telah dilakukan pria itu hingga keluarga mereka berutang budi padanya? Dilihat dari tampangnya, laki-laki styllist itu senang menggunakan uang untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan.
“Ayo, Nak, salaman sama Ayah Calvin.”
Perlukah panggilan ‘Ayah’ itu disematkan? Dia bukan Ayahku, batin Cecilia sengit. Baginya, yang berhak dipanggil dengan sebutan untuk orang tua lelaki hanyalah Yuliet.
“Salam kenal, Pak Calvin.” Cecilia berkata kaku, menjabat tangan Calvin.
Ia pikir, Calvin akan membalasnya dengan kaku dan arogan. Asumsinya ambyar seketika ketika Calvin memberinya senyuman hangat.
“Salam kenal. Kamu Ceci, kan? Yuliet sering bercerita tentangmu.”
Cecilia mengangguk, rahangnya terkatup rapat. Laurel berbalik dari depan makam. Dia pun menyalami Calvin. Apa yang dikatakan sang kakak detik berikutnya membuat Cecilia makin ketar-ketir.
“Ceci, ikutlah ke rumah Calvin. Dia akan memerlukanmu. Kamu harus membalas kebaikannya.”

Jumat, 03 Juli 2020

Catatan Hati Seorang Princess: Saat Ayah Memutuskan Berhenti dari Media Itu


Well, barangkali inilah yang dinamakan patah hati. Patah hati platonik tentunya, karena aku bukan patah hati karena cinta ala-ala bucin gitu. Bermula dari kejadian di Jumat dini hari. Saat itu, Ayah angkatku sebut saja “Calvin Wan” memberi tahuku sesuatu. Ayah berkata begini sambil merendam kakinya di permukaan air hangat akibat infeksi.
“Aku mau berhenti nulis di media XXX.”
Aku tersentak kaget. Benarkah? Cepat sekali. Sebuah keputusan yang sangat mendadak. Kutanyakan apa penyebabnya. Kata Ayah, alasannya semata karena prinsip. Media citizen journalism itu menerapkan sistem akun premium. Siapa yang ingin menulis artikel tanpa iklan, harus membayar sejumlah nominal. Singkatnya, media tersebut menjadi media berbayar.
Kekagetanku makin bertambah setelah mendengar penjelasan Ayah. Aku sebagai kontributor di media tersebut, bahkan tahun lalu menjadi nomine kategori fiksi terbaik, tak kalah kecewanya. Media tersebut bagai kehilangan jati diri. Sistem penulis berbayar mirip seperti biaya publikasi di jurnal internasional yang mencapai jutaan. Atau biaya terbit buku di penerbit self publishing. Buat apa mempublikasikan tulisan dengan cara seperti itu? Tulisan naik karena penulis membayar, bukan karena kompetensi sang penulis.
Aku pun mulai menebak-nebak. Mengapa harus ada sistem penulis berbayar? Kalau penulis menghibahkan tulisannya untuk dibaca gratis, itu sah-sah saja dan malah ada nilai sosialnya. Namun, jika penulis diharuskan membayar untuk membuat tulisannya terpublikasi? Sungguh aneh. Mungkin saja, media tersebut punya alasan: masalah keuangan atau komersialisasi penulis. Tanpa penulis, platform media online tak ada apa-apanya. Bagaimana kalau para kontributornya kabur?
Ayah meyakinkanku untuk tidak bersedih. Kalau aku masih ingin menulis di media tersebut, Ayah akan selalu membantu seperti biasa. Aku takkan bisa memeluk Ayah lagi di media tersebut. Meski demikian, aku masih bisa memeluknya di rumah, kampus, kelas daring, atau tempat mana saja.
Terhentinya Ayah dari media itu sangat kusayangkan. Andai saja mereka tahu apa yang telah dilakukan Ayah di belakang layar. Mungkin memang tak berarti bagi sebagian besar orang, tetapi apa yang telah Ayah lakukan selama 3 tahun terakhir adalah bukti bahwa Ayah cerminan blogger yang humanis. Ayah mempropagandakan kampanye digitalisme yang ramah untuk orang berkebutuhan khusus lewat sebuah artikel tentang screen reader bagi mereka yang bermasalah dalam penglihatan. Ayah juga yang memegang akunku di media tersebut mengingat keterbatasanku. Ayah satu-satunya kontributor yang turun tangan mengurusi content creator minoritas sepertiku. Coba, siapa orang yang mau serepot itu? Saya yakin, satu banding lima ratus ribu kontributor yang terdaftar di media itu.
Sedihnya, sepertinya hanya aku yang kehilangan. Mereka yang lain menganggap Ayah bukan siapa-siapa. Padahal, bagi siapa pun yang pernah mengunjungi profil atau membaca tulisan Ayah, akan melihat kalau Ayahku mampu menuangkan pemikiran yang kritis dan analitis tentang ekonomi-bisnis dan bijak serta bermakna dalam bahasan humaniora. Jika Ayah tetap bertahan one day one article seperti 3 tahun lalu, peluang besar Ayah akan menjadi nomine bahkan awardee.
Ada yang lebih membuatku sedih ketimbang terhentinya Ayah menulis di media itu (sebab Ayahku masih akan tetap menulis walau entah kapan di tempat lain). Yaitu minimnya apresiasi terhadap Ayah. Betul bahwa selama 3 tahun terakhir Ayah hanya fokus menolong satu kontributor. Akan tetapi, tetap saja tulisan-tulisanku yang dinaikkan Ayah adalah bukti kepedulian Ayah terhadap kelangsungan berkarya kontributor minoritas yang punya banyak keterbatasan. Tangan Ayah hanya dua. Aku yakin, jika Ayah punya ratusan replika tangan seperti tangan perak buatan Voldemort untuk Wormtail, pasti akan lebih banyak kontributor sepertiku yang ditolongnya.
Sedikit sekali penghargaan untuk Ayah. Ayah yang selalu tepat waktu menaikkan tulisanku setiap pukul 6 pagi. Ayah yang mencarikan gambar, memasangkan video musik, dan mempercantik artikelku setiap hari. Tanpa dirinya, artikelku hanyalah serangkaian kata tak menarik sebab tidak dilengkapi gambar dan video.
Kebanyakan orang berpikir menulis hanya untuk diri sendiri. Kerja-kerja intelektual untuk menolong penulis minoritas sama sekali luput dari pikiran. Inilah kesalahan dalam budaya kerja di negeri kita: tak mau repot. Ayah, dengan keingintahuannya yang tinggi dan kepeduliannya yang tulus, membuka hatinya untuk menolongku. Ayah tak seperti rata-rata orang yang hanya bisa melemparkan kata-kata penyemangat yang cenderung bullshit. Take action, sedikit bicara banyak bekerja, itulah Ayahku. Bahkan, secara tak langsung, my angel my Ayah telah mengantarkanku menjadi nomine meski akhirnya tak jadi awardee. Kekalahanku waktu itu mungkin karena kurangnya dukungan komunitas. Yah, siapa sih yang benar-benar mendukung dan membersamaiku dari hari ke hari selain Ayah? Seleksi alam loh, seleksi alam: meninggalkan dan bertahan.
Walau Ayah masih bersedia membantuku, kurasa aku tak punya alasan untuk bertahan di situ. Satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan di sana hanya Ayah seorang. Aku dapat melewati apa pun asal bersama Ayah.
Tiap tulisan yang dinaikkan Ayah adalah bukti kasih sayang ayah pada putri yang berbeda darah dengannya. Kedua tangan Ayah diberkahi kelembutan, kehangatan, dan inisiatif. Bila tak ada yang mengapresiasi Ayah, biar aku yang melakukannya. Bila tiada yang memuji, biar akulah yang memberi pujian.

Rabu, 18 Maret 2020

Retret, Rest, Love Ayat 12

Di tengah segala keterbatasan karena pandemi virus Covid-19, masih bisa menulis cantik adalah sesuatu yang layak disyukuri. Sebagian dari novel Retret, Rest, Love.
**   

Ayat 12
Tasbih Memeluk Salib
Membuatmu tersenyum
Walau tak pernah berbalas
Bahagiamu juga bahagiaku
Saat kau terlalu rapuh
Pundak siapa yang tersandar?
Tangan siapa yang tak melepas?
'Ku yakin aku
Bahkan saat kau memilih
Untuk meninggalkan aku
Tak pernah lelah menanti
Karena ku yakin kau akan kembali (Fiersa-April).
Biskuit itu nyaris mematahkan giginya. Keras sekali. Ini biskuit kesebelas percobaan Laras. Ia terus dan terus mencoba.
Walau terlalu keras, Steven tetap tersenyum lembut pada istrinya. Menatap Laras yang bersemangat melakukan percobaan keduabelas. Tatapan Steven teduh penuh kasih sayang.
“Kak Steven suka?” tanya Laras penuh harap.
“Suka sekali,” jawab Steven, mengangkat kedua ibu jarinya.
Wajah lugu itu bercahaya. Senyum manis terkulum. Tangan pucatnya sigap mengaduk adonan. Laras menakar bahan sekenanya. Otaknya tak cukup lapang untuk mengingat takaran yang telah diberi tahu Steven berkali-kali. Laras selalu mencoba puluhan kali tiap kali belajar sesuatu.
Ya, Laras memang payah dalam banyak hal. Itu bukan salahnya. Takdir menyusun struktur kimiawi sel otak Laras berbeda dengan kebanyakan manusia normal.
Pedulikah Steven dengan fakta itu? Tidak. Angka-angka IQ Laras tak sebanding dengan besarnya cinta Steven untuknya. Steven mencintai Laras tanpa syarat apa pun. Ditatapnya lekat wanita pendamping hidupnya. Wanita yang pernah menjadi adik angkatnya, wanita yang membersamainya sejak kecil, sepanjang tahun, dari pagi hingga malam.
“Laras Zita Hiang, aku mencintaimu.”
**   
“Ayah, aku ingin tidur di pelukan Ayah malam ini.”
Kamar tidur utama temaram. Ruangan luas itu hanya diterangi dua lampu tidur. Berbeda dengan kamar Nata, lantai berkeramik abu-abunya tak dilapisi karpet. Pendingin udara menyala, begitu juga televisi. Musik mengalun lembut.
“Sini, Sayangku.” Sambut Calvin. Menggendong Nata ke ranjang queen size, lalu memeluknya.
Berapa pun umur Nata, bagi Calvin gadis itu adalah baby girlnya. Pria orientalis itu melingkarkan lengan, mengunci tubuh Nata dalam kenyamanan. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas berpadu dengan wangi Escada Moon Sparkel.
Sudah hampir pukul sebelas malam. Namun, Nata dan Calvin tak terlelap juga. Mereka malah mengobrol. Bicara dari hati ke hati.
Lagi-lagi virus Louissa bagai dua mata pisau. Satu sisi virus ini melemahkan kegiatan ekonomi dan menimbulkan ancaman lockdown sebagai kemungkinan terburuk. Di sisi lain, virus ini mendekatkan kembali orang-orang yang lama merenggang karena kesibukan.
Tak jemu Calvin menikmati keindahan mata biru putri angkatnya. Mata biru yang teduh. Nata cantik, sangat cantik. Pada saat yang sama, Nata menatap lurus ke dalam mata sipit Calvin. Matanya bergerak naik, mengagumi ketampanan sang ayah. Ketampanan Calvin Wan belum pudar meski tahun ini usianya menginjak angka 48.
Ketakjuban Nata buyar. Dia lihat hidung Calvin berdarah. Cairan merah segar mengalir dari hidung pria tanpa istri itu.
“Ya ampun Ayah mimisan...” desis Nata.
Raut wajah itu tetap tenang. Jangan harap menemukan kepanikan di sana. Calvin bangkit duduk, mengambil tissue, dan menyeka darahnya.
“Ayah, Ayah kenapa?” Kekhawatiran menerkam hati gadis itu. Ia pernah beberapa kali melihat Calvin mimisan. Perasaan khawatir yang lebih besar mencengkeram jiwa.
“Ayah, aku panggilkan Daddy Martino dan Papa Steven ya...”
Sepasang tangan menahan gerakannya. Dengan lembut, Calvin mendorong kepala Nata bersandar di dadanya. Diciuminya rambut dan kening putri satu-satunya. Diisyaratkannya pada Nata kalau Calvin hanya ingin dirinya. Saat ini, Calvin tak butuh siapa pun kecuali Nata.
**  
Hari terburuk dalam hidup Martino adalah saat dia terpisah dengan Elsy. Setelah prahara itu berlalu, dia berharap takkan ada hari lain yang paling buruk. Ekspektasi dikurangi realita hanya menghasilkan kekecewaan dalam rumus psikologi.
Realitanya, Martino kembali dihadapkan pada hari buruk. Hari ini tepatnya, ketika Elsy tergesa-gesa mendatanginya di pinggir kolam renang sambil berkata,
“Tino, Garry sakit.”
Martino menengadah menatap istrinya. Tidakkah Elsy salah informasi? Kata Garry dan sakit nampak ganjil bila disandingkan. Garry, putra angkatnya yang berambut semerah darah itu, jarang sekali sakit.
Tanpa bicara, Martino meraih tangan Elsy. Melangkah setengah berlari ke kamar putra mereka.
Garry demam tinggi. Separo tubuhnya tersembunyi di balik selimut tebal. Kulitnya yang memang kelewat putih, kini memucat serupa perkamen.
“Garry, apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa begini, Sayang?” Martino naik ke kaki ranjang, menempelkan tangan di kening komikus muda itu.
Rumah besar geger. Para penghuninya tumpah ke kamar Garry. Kepanikan menebar. Hunian termewah milik Calvin, bekas rumah retret itu, tak lagi damai. Mereka bersembilan dicekam ketakutan.
Gejala awal yang ditampakkan Garry mirip gejala virus Louissa. Dokter dipanggil. Serangkaian tes dilakukan. Mudah bagi Calvin mendatangkan petugas kesehatan beserta alat medisnya.
Hasil rapid test, serum darah, dan PCR sungguh mengejutkan. Apa yang ditakutkan terjadi. Garry terinfeksi virus Louissa.
Mereka terpukul, amat terpukul. Semaksimal mungkin mereka menghindari kegiatan massal dan keluar rumah. Ternyata ada di antara mereka yang terinfeksi. Martino dan Elsy yang paling terguncang atas kenyataan ini.
“Ayah...Ayah harus sehat! Ayah jangan sakit seperti Garry!”
Persetan dengan sikap anggun nan cantik. Lihatlah, Nata menangis keras-keras. Menjatuhkan diri di pelukan Calvin.
Laras, yang tak tahu apa-apa, hanya menggenggam tangan Steven erat. Yuke dan Yune shock. Tak menyangka teman baik mereka terinfeksi virus Louissa.
“Tuhan, pulihkan Garry.” Yune membuat tanda salib. Lirih menggumamkan doa.
Tanpa sadar, Yuke mencengkeram tasbih yang terselip di saku bajunya. Memohon perlindungan Allah.
Elsy tersedu. Martino melupakan segala aturan dan social distancing. Dia peluk anak semata wayangnya erat. Steven dan Calvin bertindak bijaksana. Mereka menenangkan anak-anak yang terpukul.
Kondisi Garry melemah. Virus Louissa mengalami perburukan dengan cepat. 80% kasus ini ringan. Mengapa virus ini harus mengganas di tubuh Garry?
“Tidak, Daddy.” Garry menolak dengan suara melemah saat Martino akan membawanya ke rumah sakit.
“Ini langkah terbaik, Sayang. Kamu harus dirawat di rumah sakit.” Bujuk Martino sabar.
Dua permata hijau jernih milik Garry menatap nanar Daddynya. “Tidak semua pasien yang terinfeksi harus dirawat di rumah sakit. Untuk apa memenuhi rumah sakit, Daddy? Isolasi mandiri di sini bukankah bisa?”
Ingin Martino mendebat lagi, namun pandangan lembut Elsy menahannya. Calvin menengahi. Garry tetap bisa dirawat di rumah karena dialah yang akan mendatangkan tim medis beserta peralatannya.
Di antara tiga sahabat itu, ayah angkat Natalah yang paling berada. Reputasi Calvin sebagai pengusaha memudahkannya mengakses sejumlah fasilitas first class. Garry segera mendapat penanganan terbaik.
Sulit sekali untuk mematuhi anjuran isolasi. Berkali-kali Yuke, Yune, dan Nata ingin berada satu ruangan dengan Garry. Steven susah payah menjauhkan istrinya dari kamar Garry. Nata dan Calvin pada akhirnya hanya bisa menatap pemuda tampan berambut merah itu dari balik kaca. Martino? Kasih sayangnya pada si rambut merah jauh lebih besar dari ketakutan akan virus Louissa. Elsy sama saja. Beruntungnya Garry diadopsi orang tua super penyayang.
Putra peneliti dan pendeta itu tak kunjung membaik. Tim dokter mencoba berbagai langkah medis untuk menyembuhkan Garry. Virus itu jahat menggerogoti tubuhnya. Hingga membuatnya kehilangan banyak darah di hari keempat.
Garry butuh transfusi darah. Perasaan tak berguna menggumpal di dada Elsy. Golongan darahnya berbeda. Calvin? Pria kelahiran 9 Desember itu tak mungkin memberikan darahnya pada Garry. Nata, si kembar Yuke-Yune, Steven, dan Laras sama saja. Martino putus asa. Hampir saja ia mengontak ayah kandung Garry jika tak dicegah sang anak.
“Aku tidak mau dia datang. Ayahku hanya satu, ayahku hanya Daddy Martino.”
Ujaran anak itu membuat Martino trenyuh. Segitu sayangnya Garry padanya. Hingga tak ada yang bisa menggantikan Martino. Termasuk Aryo yang telah menyia-nyiakannya selama hampir dua puluh tahun.
Masih tersisa bintik cerah di kaki langit. Di luar dugaan, Martino dan Garry memiliki golongan darah yang sama. Warna rambut mereka boleh berbeda. Ikatan genetik boleh tak serupa. Namun, ayah dan anak itu sama eratnya seperti ayah dan anak yang terikat darah.
“Kau benar-benar anakku, Garry. Lihat Sayang, bahkan golongan darah kita sama.” Martino berujar lirih, memeluk dan menciumi wajah anaknya.
Mata Elsy berkaca-kaca. Pengorbanan, kali kedua dia melihat suaminya berkorban untuk orang yang dia cintai. Pengorbanan berbeda dengan kompromi. Ada hal besar yang diberikan, bukan sekedar mengalah atau menyisihkan waktu. Benak Elsy memutar ingatan. Bagai rol film, sebuah kenangan terputar.
**   
13 Mei, hari itu takkan pernah terlupa. Tanggal itu pernah merekam peristiwa berdarah yang menjadi trauma kolektif bagi komunitas bermata segaris dan berkulit putih. Tapi itu dulu. 20 tahun berlalu, ada peristiwa berdarah lain di tanggal yang sama.
Martino membangunkan Elsy. Membelai lembut rambutnya. Dengan satu elusan, Elsy terbangun. Tersadar kalau ini hari Minggu.
Minggu pagi, saatnya Martino mendampingi Elsy. Berdua mereka berjalan dengan tangan bertautan menuju mobil. SUV merah itu meluncur di ruas jalan yang masih lengang.
“Tino, are you ok?” tanya Elsy. Intuisinya membisikkan bila ada yang berbeda dengan pria pendamping hidupnya.
“I’m good,” jawab Martino, berkonsentrasi pada jalanan yang dilewatinya.
Ada yang berbeda, Elsy membatin. Martino tampak resah. Dia bahkan tak bisa menyembunyikan pancaran kekhawatiran di matanya.
Mobil menepi di kompleks gereja. Tiga gereja menjulang indah dilatarbelakangi siluet matahari terbit: satu gereja Katolik, satu gereja Protestan, dan satu gereja Pantekosta. Martino dan Elsy bergandengan tangan memasuki salah satunya. Mereka tersenyum ramah dan menyalami para jemaat. Umat gereja ini kenal baik dengan Martino dan Elsy, begitu pun tahu kisah cinta mereka yang melampaui tembok pembeda.
Ibadah Minggu pagi ini bertemakan “Roh Kudus dicurahkan bagi pembaharuan hidup”. Setelah saat teduh, jemaat dipanggil beribadah dan mereka berdiri. Martino mendampingi Elsy, lekat memperhatikan wanita yang dicintainya memimpin prosesi.
“Datanglah roh kudus...”
“Masukilah keheningan kami.”
Seisi gereja khidmat. Martino mengedarkan pandang ke sekeliling. Mengamati jemaat yang begitu khusyuk.
“Datanglah roh kudus.”
“Masukilah kerinduan kami.”
“Datanglah roh kudus.”
“Sahabat dan kekasih kami.”
Ia hanya mendampingi, tidak mengikuti. Perannya sampai di sini. Tujuannya bukan untuk ikut mengimani, hanya menunjukkan bukti cintanya pada Elsy. Bukti jika Martino mencintai semua tentang Elsy.
“Suburkanlah gurun hati kami.”
“Sembuhkanlah luka hati kami.”
“Datanglah roh kudus...”
Duar!
Kekhusyukan berantakan. Jemaat terlempar. Kursi-kursi terbalik. Lantai gereja bergetar hebat.
“Elsy...”
“Tino...”
Mereka saling mencari. Tangan mereka menggapai-gapai satu sama lain. Di antara kepulan debu dan benda-benda yang berserakan, Elsy menemukan tangan Martino. Tangan mereka saling genggam, erat sekali.
Siapa pembuat ledakan bom ini? Siapa orang jahat yang begitu tega meledakkan rumah Tuhan saat semua orang di dalamnya tengah beribadah? Kejahatan seakan belum puas melahap gereja itu.
“Elsy, awas!”
Datang ledakan kedua. Lebih dahsyat dari yang pertama. Gereja dipenuhi teriakan kesakitan. Kedamaian pagi di hari Minggu robek oleh peristiwa terorisme.
Tangan-tangan Tuhan melindungi. Hanya sedikit luka goresan di wajah cantiknya. Elsy menoleh ke samping, ke tempat semula dia berdiri.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Martino terkulai di lengan Elsy. Bukan itu yang mengejutkan. Melainkan pecahan-pecahan kaca yang menghujam punggungnya.
“Aku...” Martino terbatuk di sela ucapannya.
“Aku senang kamu tidak apa-apa, Elsy.”
Martino terbatuk lagi. Darah segar menyembur ke bagian depan jas hitamnya.
**   
Habataitara modoranai to itte
Mezashita no wa aoi aoi ano sora
Kanashimi wa mada oboerarezu
Setsunasa wa ima tsukami hajimeta
Anata e to idaku kono kanjou mo
Ima kotoba ni kawatteku
Michinaru sekai no yume kara mezamete
Kono hane wo hiroge tobidatsu
Habataitara modorenai to itte
Mezashita no wa shiroi shiroi ano kumo
Tsuki nuketara mitsukaru to shitte
Furikiru hodo aoi aoi ano sora
Aoi aoi ano sora
Aoi aoi ano sora
Aisou tsukita you na oto de
Sabireta furui mado wa kowareta
Miakita kago wa hora soteteiku
Furikaeru koto wa mou nai
Takanaru kodou ni kokyuu wo azukete
Kono mado wo kette tobitatsu
Kakedashitara te ni dekiru to itte
Izanau no wa tooi tooi ano koe
Mabushi sugita anata no te mo nigitte
Motomeru hodo aoi aoi ano sora
Ochite iku to wakatteita
Soredemo hikari wo oi tsuduketeiku yo
Jika dapat terbang maka kau takkan kembali
Dan tujuanmu adalah langit, langit yang biru itu
Kau masih belum mengenal arti kesedihan
Sekarang coba rasakanlah kepedihan itu
Perasaan yang ingin kusampaikan padamu
Kini kuungkapkan dengan kata-kata
Ketika kau terbangun dari mimpi dunia yang lain
Kembangkanlah sayap itu dan pergi jauh
Jika dapat terbang maka kau takkan kembali
Dan tujuanmu adalah awan yang, awan yang putih itu
Jika kau berhasil maka kau akan menemukannya
Terus terbang tinggi di langit, langit yang biru itu
Di langit, langit yang biru itu
Di langit, langit yang biru itu
Dengan suara bagaikan tanpa kelembutan
Jendela tua yang berkarat itu telah hancur
Lihatlah, kau pun muak di kurungan itu
Kau ingin pergi tanpa menoleh ke belakang
Denyut yang berdebar membawa pergi nafasmu

Kau pun menerjang jendela dan pergi jauhJika dapat berlari maka kau akan mendapatkannya
Yang kauinginkan adalah suara yang, suara yang jauh itu
Begitu menyilaukan, tanganmu pun mencoba meraihnya
Hingga dapat tiba di langit, langit yang biru itu
Aku tahu bahwa kau akan jatuh
Namun tetaplah mengikuti arah cahaya itu (Ikimono Gakari-Bluebird).
Elsy mengenal arti kesedihan. Kesedihan adalah ketika ia mendampingi Martino selama proses pengeluaran pecahan kaca itu. Kesedihan tercipta di kala ia bermimpi buruk dan mendengar Martino takkan kembali lagi.
Hancur. Hati Elsy sama hancurnya seperti pecahan kaca yang dikeluarkan dari punggung prianya. Martino terluka karena menyelamatkan Elsy.
“Elsy...” erang Martino, tubuhnya serasa dijejali busa panas yang lembut dan empuk.
Kian lama, busa panas berubah menjadi tusukan menyakitkan. Belasan jarum besar serasa menusuk-nusuk punggungnya. Sakit, sakitnya tak tertahankan.
Bertahanlah, bisik hati kecil Elsy berulang-ulang. Bertahanlah demi aku, batinnya perih, memohon. Bertahanlah seperti kau menyelamatkanku waktu itu.
Itu menyakitkan, sangat menyakitkan. Sesaat Martino ingin menyerah saja. Ingin mencukupkan saja deritanya sampai di sini. Tapi...
“Tapi ini hanya mimpi, kan? Tino, saat menungguimu aku tertidur dan bermimpi buruk. Kau bilang kau akan pergi jauh dan takkan kembali.”
Genggaman tangan ini, isak tangis ini, hangat yang mengalir di tangannya...ah, tidak. Tidak boleh berakhir.
Tirai hitam yang menutup pandangan matanya perlahan tersingkap. Martino tahu jika dia membuka mata, hanya kesakitan yang akan terasa. Namun itu lebih baik, sungguh lebih baik selama ia bersama Elsy.
Rasa sakit menjalar, dari punggung ke dada. Ia akan menahan sakit ini demi belahan jiwanya. Ia tak boleh menyerah, tak boleh.
Martino merasakan tangannya basah. Bukan darah, tapi air mata. Air mata wanitanya. Oh tidak, jangan. Air mata itu tidak boleh tumpah karena dia.
“Sudah berlalu.”
Rasanya ia dapat mendengar bisikan seseorang. Apanya yang sudah berlalu?
“Tino, kau tidak akan pergi, kan? Jangan...jangan pergi.”
Tidak akan ada yang pergi. Martino tidak meninggalkan. Pun demikian dengan Elsy. Elsy untuk Martino, Martino untuk Elsy.

Sabtu, 07 Maret 2020

PK 159, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini Ya


“Gardhika Khatulistiwa...kami dari bangsa yang besar. Beragam suku budaya satukan kita.”
Penggalan refrein lagu angkatan itu terus terngiang di benak Young Lady. Walau sudah berlalu, rasanya Young Lady masih kangen dengan PK 159. Apaan sih PK? Itu loh, program persiapan keberangkatan buat para penerima beasiswa LPDP. PK berlangsung selama 5 hari di Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta Utara.
To be honest, awalnya Young Lady cantik menyimpan banyak ketakutan tentang PK. Terlebih setelah mendengar cerita orang. Kegiatan super padatlah, nggak boleh pegang handphonelah, harus bangun pagi dan tidur malamlah, aduh pokoknya yang didengar Young Lady tentang PK seram-seram semua. Jujur saja, yang terberat buat Young Lady adalah terpisah tak bisa komunikasi dengan malaikat tampan bermata sipitku “Calvin Wan” selama beberapa hari. Itu sebabnya saat pra PK Young Lady kurang antusias dan pasif di grup.
Tapi...tapi...tapiii, kesan itu ambyar begitu bertemu seluruh peserta PK 159. Orang pertama yang ditemui Young Lady adalah Kak Nana, dosen penerima beasiswa BUDI tujuan IPB. Kak Nana orang pertama yang meraih tangan Young Lady cantik setiba di lokasi PK. Ehm...tapi, sebenarnya sejak pra PK, telah ada seseorang yang membuat Young Lady penasaran. His name’s Martino. Dia salah satu perwakilan angkatan, yang mau berlelah-lelah membantu menghubungkan kami dengan tim LPDP. Nantinya Kak Martino ini akan Young Lady tarik jadi anggota keluarga Calvin Wan series...yeaaaay.
Ok, back to focus. PK diawali dengan cantik. Kurang cantik apa coba? Kami berdiri sambil menyanyikan lagu Melompat Lebih Tinggi dan Sahabat Sejati. Ada pula dua MC yang menemani kami dan mencairkan kebekuan dengan cara mereka.
Oh ya, karena tema PK 159 adalah pariwisata Indonesia, Young Lady masuk ke kelompok Wakatobi. Wakatobi hebat. May kwa Wakatobi. Ada Kak Azis sebagai ketuanya.
Mungkin kalian berpikir PK ini membuang-buang waktu dan menguras tenaga. Ya, benar. PK memang melelahkan karena kami harus mulai beraktivitas sejak pukul lima pagi dan baru selesai pukul sepuluh malam. Itu pun belum tentu langsung tidur. Tiap kelompok harus mengerjakan daily report, dan Young Lady kebagian jatah di hari ketiga. Waktu tidur kami sangat sedikit. Terlebih Young Lady harus bangun pukul empat pagi agar masih punya waktu untuk menelepon “Calvin Wan” malaikat tampan bermata sipitku.
Namun, kelelahan kami terbayar. Rasanya waktu tidur kami yang sedikit dapat terbayar dengan bertemu narasumber hebat, orang-orang inspiratif sesama peserta PK, sesi by you for you, tukar kado, outbound, dan serangkaian keasyikan lainnya yang hanya ada di PK. Makanya kalau mau PK, jadi bagian keluarga besar LPDP.
Narasumber dari tim internal LPDP adalah Direktur Utama Pak Rionald Silaban, Pak Rafi (PIC PK yang membawakan materi dengan jokes di sana-sini), Ibu Ratna Prabandari, serta satu orang lagi yang mengambil bagian di sesi keuangan. Untuk dua yang terakhir, Young Lady tak begitu ingat sebab Young Lady tidur saat mereka berceramah...ups, ketahuan.
Sebuah keberuntungan buat Young Lady bisa bertemu penulis Negeri 5 Menara, Pak Ahmad Fuadi. Ada exercise menulisnya lagi. Saat sesi berfoto bersama, Pak Ahmad Fuadi menanyai buku-buku yang dihasilkan Young Lady.
Selain Pak Ahmad Fuadi, ada pula narasumber lain yang nggak kalah kece badai. Di antaranya Direktur Pencegahan BNPT, Prof Terry Mark, Ibu Amalia Maulana yang menjelaskan tentang personal branding, Andreas Sanjaya, Gubernur Ganjar Pranowo, dan Komisioner KPK 2011-2015 yang memaparkan tentang integritas (lagi-lagi Young Lady lupa namanya). Tapi, di antara sekian narasumber, tiada yang lebih menginspirasi selain Edwin Manansang atau yang lebih dikenal sebagai Edwin Libels. Ya, dialah yang membuat Young Lady paling terinspirasi di antara narasumber lainnya. Seorang penyanyi sekaligus doktor. PNS pejabat eselon dua tetapi pernah aktif menjadi entertainer di sela kesibukannya. Pria tampan yang mahir bernyanyi, yang menenangkan Young Lady bahwa PNS pun masih bisa terjun ke dunia entertain. Dan...jujur saja, Edwin Libels ini mengingatkan Young Lady pada “Calvin Wan” my second father also my future husband. Tipikal pria-pria di usia middle life yang masih terlihat tampan, bersuara bagus, dan sukses dalam karier.
Keasyikan lainnya yang hanya ada di PK adalah by you for you. Ternyata selain pintar secara akademis, peserta PK 159 juga kreatif dan bertalenta. Buktinya, sesi by you for you mereka bagus-bagus. Ada games Mencari Kawan, tebak lagu, PK 159 Got Tallent, dan kuis Yes or Know. Senang rasanya Young Lady memenangkan Yes or Know. Kalau kalian tanya kenapa Young Lady lumayan mengerti tentang pariwisata, mungkin jawabannya karena beberapa kali Young Lady ikut ajang pageants sejenis putri kampus atau duta wisata pelajar. So, Young Lady cantik pernah beberapa kali mempelajari pariwisata walau masih merasa ilmunya belum banyak.
Tiga hari dijejali segepok materi, waktunya outing di hari keempat. Yah, tapi Young Lady nggak ikut. Jadinya Young Lady staycation aja di hotel. Bukan tidur bukan pula istirahat, Young Lady malah merenung dan merencanakan ingin menulis novel baru. Sampai hari ini, novelnya sudah on going chapter 4. Dari ceritanya, kelihatannya sesi outing di hari keempat cukup seru. Peserta PK diajak rafting dengan perahu. Ada seorang dokter yang tenggelam atau entah apa, tetapi berhasil selamat. Hari keempat ditutup dengan PK 159 Got Tallent. Young Lady berkesempatan membawakan story telling tentang kisah Jose Gabriel Calvin.
Kalian tahu dosa terbesar PK? Mempertemukan untuk memisahkan. Tak terasa, tibalah hari kelima atau hari terakhir. Entah kenapa, di malam terakhir Young Lady galau sampai tak bisa tidur. Dulu saat pra PK, Young Lady ogah mengikuti prosesnya. Sekarang saat akan selesai, Young Lady ogah pulang. Young Lady mulai merasa nyaman dengan teman-teman PK. Padahal biasanya Young Lady tak mudah menjalin keakraban dengan orang lain. Perasaan ini makin galau ketika Kak Alef meminta Young Lady memberi kesan dan pesan di acara penutupan.
Hari kelima dibuka dengan integrity sport seperti biasa. Disusul pematerian tentang nasionalisme dan menangkal radikalisme. Setelah makan siang, kami bertukar kado dan awarding. Ada kejadian lucu saat tukar kado. Dua orang awardee pria mendapat kerudung sebagai kado. Lalu teman di sebelah Young Lady terlanjur percaya bila temannya benar-benar membawa radio, tahunya ia malah dapat kotak bento. Awarding diberikan pada pemenang sesi by you for you, ketua kelompok, dan para perwakilan angkatan. Yeeeay, di situ ada PA favorit Young Lady. Ada satu ketua kelompok yang sedikit diperhatikan Young Lady: Kak Steven Tandiono, ketua kelompok Derawan.
Saatnya memberi kesan dan pesan. Young Lady berbicara dengan tulus dari hati terdalam. PK diawali dengan cantik, dan akan diakhiri dengan cantik. Young Lady pun menyarankan agar 10-15 tahun kami bisa berkumpul lagi di sini untuk reuni. Nanti kita cerita tentang hari ini, ya.
5 hari yang penuh makna telah berakhir. Seperti lagunya Melly Goeslaw dan Marthino Lio, biar jauh jarak pandang kita namun hati dan jiwaku selalu merasa di sisimu. Walau peserta PK 159 telah terpencar ke berbagai penjuru dunia, semoga hati dan jiwa selalu dekat. Young Lady galau sekali saat harus terpisah.
Terima kasih untuk Kak Martino, selamat datang di keluarga Calvin Wan series. Terima kasih untuk Putry yang memberi pin dan menemani dengan setia di hari terakhir. Terima kasih Barki untuk atensi dan e-mailnya. Terima kasih untuk dr. Hilmi yang telah menyebut namaku di sesi kesan dan pesan. Terima kasih untuk Kak Akhir yang telah membantu soal database dengan sabar tanpa keluhan dan omelan sedikit pun. Terima kasih untuk Kak Irmadra yang begitu menenangkan dengan cara bicaranya yang lembut dan pelan. Terima kasih untuk Bu Erni dengan rangkulan dan belaiannya di hari kedua saat Young Lady lelah. Kalau lelah atau sedih, Young Lady jadi lebih manja. Tau aja Young Lady suka dipeluk. Terima kasih untuk Kak Elsy untuk kehangatannya saat games Mencari Kawan. Terima kasih buat Kak Yoni dan Kak Rinto yang membantu my mom di hari sebelum PK. Thank you Kak Ainun, sudah begitu peduli dengan Young Lady di hari keempat pas kita nggak ikutan outing. Terima kasih Kak Alef untuk pengertiannya karena Young Lady tak bisa ikut tim paduan suara. Terima kasih untuk Pak Sofwan Effendi, Direktur Beasiswa LPDP yang telah memanggil saya untuk berdiri di sampingnya saat penutupan dan menyebut saya model. Mungkin Bapak lihat foto atau jejak modelingku di borang prestasi. Terima kasih untuk ke196 peserta PK 159 untuk segala tarian, nyanyian, dan kebersamaan selama 5 hari. Kalau kelak kalian sudah jadi menteri, pejabat publik, atau apa pun yang kalian inginkan, ingatlah bahwa kita pernah menari dan menyanyi bersama.
PK 159 Gardhika Khatulistiwa, Siap Berkarya, Indonesia Jaya!
Torang samua basudara.
Dari Young Lady cantik bermata biru.

Kamis, 06 Februari 2020

Tentang Hinata yang Merindukan Gaara


Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
Sabaku Gaara adalah pria terbaik di antara Naruto dan teman-temannya.
.
.
Jangan salahkan rintik air mata yang jatuh dari langit
Karena itulah air mata rinduku untukmu
.
.
Hinata berdiri di puncak tangga. Membiarkan angin nakal mengurai ikatan rambutnya yang terikat longgar. Surai indigo itu berkibaran, menjatuhi punggung. Biarlah nanti ada tangan kokoh nan hangat yang menguncirkan kembali rambutnya.
Ironis, pemilik tangan itu tak ada di sini. Entah dimana ia sekarang. Mungkin di kantor Suna Corp, atau di rumah sakit. Opsi pertama mungkin tidak benar. Baru sepuluh menit lalu Hinata menelepon Matsuri. Sekretaris bohai berambut coklat itu melaporkan kalau suaminya telah meninggalkan kantor.
“Gaara-kun? Kau dimana?” desah Hinata pasrah.
Petir menggeletar. Rintik hujan terdengar ringan di telinga. Dalam bayangan Hinata, langit sore ini teramat gelap. Gulungan awan Nimbus setebal kitab suci menghiasinya.
Ya, mantan heirres Hyuuga itu hanya bisa membayangkan. Sepasang manik lavender itu buta. Silakan menyalahkan retinanya yang telah rusak akibat kecelakaan mobil bertahun-tahun silam.
Kami-sama Maha Adil. Selepas kecelakaan yang merenggut penglihatan dan kedua orang tuanya, Hinata tak lagi sendiri. Gaara mengulurkan tangan dengan penuh kasih bagai malaikat pelindung. Ia menikahi Hinata, lalu membawa wanita cantik itu tinggal bersamanya.
Jika dirunut ke belakang, sesungguhnya Gaara bukanlah orang baru dalam hidup Hinata. Kehadiran pria berambut marun itu telah mendominasi separuh lembar buku hidupnya. Pertama kali Hinata mengenal Gaara dalam usia enam tahun.
.
.
.
Todoke todoke tooku e
Ima wo kishikaisei namida azukete
Kono tobira no mukou ni
Mada minu asu ga otozureru kara
Hajimare
Nagai nagai kimi monogatari
Gapailah, gapailah, sejauh mungkin
Kini kupercayakan air mata ini kepadamu
Karena dari sisi lain pintu ini
Ada hari esok yang akan menghampiri
Telah dimulai
Cerita yang panjang tentang dirimu
.
.
.
Hari sudah sore ketika taman bermain itu dipenuhi anak-anak. Mereka membentuk kelompok kecil. Ada yang bermain bola, berkejaran, memanjat naik ke rumah pohon, memainkan jungkat-jungkit, dan meluncur di perosotan. Satu-satunya permainan anak yang sepi hanyalah ayunan.
Ayunan itu hanya dimainkan seorang diri. Anak lelaki berambut merah, bermata jade, dan berkulit pucat duduk di ayunan biru. Lengannya mendekap Teddy Bear. Matanya sayu menatap kawan-kawan sepantarannya yang larut dalam keceriaan.
Buk!
Kulit bundar berwarna orange melayang. Tepat mengenai sisi kanan tubuh anak pucat itu. Diambilnya bola seraya ditimang. Perlahan ia bangkit, bermaksud mengembalikan bola.
“Hmmm, tidak usah.” Tolak anak pemilik bola dengan gusar.
Anak bersurai merah itu terdiam, menggenggam bola erat-erat.
“Buatmu saja. Aku tidak mau menerima benda dari anak berpenyakit sepertimu.”
Little Gaara mengerjap. Dia tidak selemah itu. Kalau perlu, dia bahkan bisa bermain bola dengan lincah seperti mereka. Sejurus kemudian Gaara menjejalkan bola ke tangan pemiliknya. Alih-alih senang, si anak malah mendorong Gaara sambil berteriak,
“Minggir anak penyakitan! Jangan harap aku mau berteman denganmu!”
Tubuh Gaara tersungkur mencium rumput. Seisi taman meneriakinya. Sampai...
“Kamu tidak apa-apa?”
Sepasang tangan pucat terulur. Lembut, mulus, dan menenangkan. Refleks Gaara menyambut tangan itu. Sekali lihat saja ia tahu kalau tangan itu milik anak perempuan.
“Hei, Hinata! Ngapain kamu bantu anak lemah itu?” teriak seorang gadis kecil berambut sewarna bubble gum.
“Kurasa Naruto lebih cakep!” Anak pirang dan bermata aquamarine tersenyum mengejek.
“Hinata suka Gaara! Hinata suka Gaara!” Gadis berambut cempol berkoar, disusul jerit nyaring anak lainnya.
Tak peduli, Hinata menggandeng Gaara meninggalkan taman. Berdua mereka menyusuri trotoar. Lelampu jalan mulai menyala, pertanda senja kian dekat.
“Abaikan mereka,” gumam Hinata lembut.
Hari itu menjadi hari pertama yang indah untuk Gaara dan Hinata.
.
.
.
“Aku merindukanmu, Gaara-kun. Rindu tubuhmu, cintamu, kasih sayangmu.”
Derit halus pintu disusul derap sepatu membuyarkan kenangan Hinata. Hatinya melonjak gembira.
“Tadaima...”
“Ayah!”
Ah, itu suara-suara yang dinantinya. Gaara pulang. Shinki, anak tunggal mereka, menyambutnya.
Tangan Hinata menggapai-gapai pagar tangga. Ia ingin turun, ingin menyambut belahan jiwanya.
“Sini, Sayangku. Kau tak perlu turun untuk menyambutku.”
Suara barithon itu teramat menenteramkan. Hinata disekap kehangatan. Detik berikutnya, bibir Gaara menyapu kening Hinata. Ciuman kening dari Gaara adalah sesuatu yang selalu dinantikan Hinata dan Shinki.
“Gaara-kun sudah minum obat?” tanya Hinata saat Gaara membimbingnya ke kamar utama.
“Sudah, Princess. Bagaimana harimu? Matamu tidak perih lagi, kan?”
“Sedikit..”
Langkah mereka terhenti. Mereka telah sampai di kamar bernuansa broken white itu. Gaara membungkuk, mencium mata Hinata.
“Semoga sakitnya pindah padaku,” ujarnya tulus.
Hati Hinata berdesir hangat. Gaara menghangatkan pernikahan mereka dengan kelembutannya. Ia cintai Hinata apa adanya. Tak pernah sekalipun ia menuntut Hinata melayaninya. Bahkan...oh, demi Tuhan, Gaara tidak meminta pelayanan Hinata di tempat tidur. Shinki mereka dapatkan lewat jalan adopsi.
“Gaara-kun tidak boleh sakit,” lirih Hinata.
“Tidak, Hinata. Aku...uhuk.”
Ujung kalimatnya terpotong. Hati Hinata mencelos. Didengarnya langkah-langkah menjauh.
.
.
.
Sayonara to te wo futta ano ko
Wa ichido mo ushiro wo furikaerazu ni
Hitonami nomarete kieta
Kokoro no renzu wo kumoraseru no wa
Jibun ga tsuiteta tameiki sa
Mabataki sae mo oshii bamen wo
Nakushiteta
Berkata "selamat tinggal" dan melambai
Gadis itu tak akan menoleh ke belakang lagi
Kemudian ia menghilang di dalam keramaian orang

Lensa hatiku berubah menjadi berkabut
Kemudian aku pun menghela nafas
Saat menutup mata, adegan yang disesalkan itu
Telah menghilang (Little by Little-Kimi Monogatari).
.
.
.
Pandangan mata Gaara berkabut. Komisaris utama Suna Corp itu merasakan tusukan sakit luar biasa di dadanya. Sejenak dia tatapi pantulan wajahnya di cermin wastafel.
Pucat. Paras yang bertambah pucat dari hari ke hari. Lingkaran hitam kian menebal. Berbanding terbalik dengan rambut merahnya yang kian menipis.
Percik-percik darah mengotori wastafel. Hidung Gaara mengeluarkan banyak darah. Dia terbatuk. Membuat genangan kecil di bidang putih persegi itu.
“Tuhan...aku ikhlas dengan masa kecilku yang kelam,” rintih Gaara, seraya menutup matanya sejenak.
“Aku ikhlas ditakdirkan dalam keadaan double minority, kesepian, dan tanpa teman. Tapi aku belum rela bila nyawaku dilepas sekarang. Shinki dan Hinata masih memerlukanku.”
Ayah satu anak itu resah. Bagaimana Hinata dan Shinki bila tanpa dirinya? Sewaktu ia dirawat di rumah sakit selama dua minggu, Hinata tak bisa berhenti menangis. Shinki terus memanggil Ayahnya dan menolak masuk sekolah. Hidup istri dan anaknya akan berantakan tanpa Gaara. Bungsu Sabaku itu pelangi cinta mereka.
.
.
.
“Princess,” panggil Gaara lembut.
Hinata meringkuk di ranjang besar. Matanya berkaca-kaca. Ia cemas, cemas sekali pada kondisi sang suami.
Kedua tangan hangat Gaara melingkari tubuh Hinata. Hidung mancungnya merendah, tepat menyentuh surai istrinya. Menghirup dalam-dalam aroma lavender. Sementara itu, ketenangan menyeruak ke hati Hinata tatkala mencium wangi Calvin Klein dari tubuh Gaara.
“Kamu tidak akan kehilanganku...” hibur Gaara.
“Gaara,” kata Hinata serak.
“Lebih baik aku buta selamanya dari pada kehilangan cinta kasihmu.”
Sontak Gaara mengeratkan pelukannya. Diciuminya ubun-ubun dan dahi Hinata penuh cinta.
“Kau takkan kehilanganku. Pakailah bahuku untuk menangis sepuasmu. Gunakan telingaku untuk menampung curahan hatimu, sepanjang apa pun yang kaumau. Hinata, aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu.”

Sabtu, 13 April 2019

Always Love My Godfather

Fanfiksi, ungkapan cinta untuk godfather Sirius Black.
Disclaimer: Harry Potter milik J. K. Rowling
**    
“Avada Kedavra!”
Kilatan cahaya hijau itu, telak menghantam dadanya. Sirius jatuh, jatuh menembus selubung. Tubuhnya melengkung anggun. Memasuki relung pintu kuno itu, lalu lenyap.
Tidak, tidak sepenuhnya lenyap. Harry berlari mengejar. Di saat seperti ini, mana mungkin ia lepaskan ayah baptisnya begitu saja? Mengabaikan seruan tertahan Lupin dan gemuruh pertempuran di sekitarnya. Semuanya serasa tak penting lagi. Kilatan cahaya merah-hijau, derai tawa Pelahap Maut, pecahan bola kaca ramalan, dan debam tubuh-tubuh yang terjatuh. Demi nama Merlin, semuanya tak penting lagi.
“Sirius!” Harry berteriak.
Ia berharap, sangat berharap walinya bertahan hidup. Seperti dirinya yang berhasil lolos dari kutukan kematian Lord Voldemort enam belas tahun lalu.
**    
Kucinta dirimu
Bagiku kau pahlawan hidupku
Kusayang dirimu
Ku berjanji bahagiakanmu
I love you my daddy
Kau pahlawan hidupku
I love you my daddy...
^Song by Rio, Alvin, Ray, Keke, and Zevana^
**    
Tapi...kegentingan itu telah berlalu. Doa Harry tepat menyentuh langit ketujuh, didengar langsung oleh Tuhan. Kutukan Kematian yang diluncurkan Bellatrix Lestrange tak berhasil membunuh Sirius. Ayah baptisnya selamat!
Mantra penangkal yang manjur. Apakah mantra penangkal itu? Cinta. Ya, cinta. Tiada lain cinta Harry yang teramat kuat untuk Sirius. Seperti cinta Lily yang membuat Harry terselamatkan dari Kutukan Kematian.
Sirius bertahan karena cinta.
Sungguh karena cinta.
Lihatlah, kini Animagus tampan itu terbaring di ruang rawat ST Mungo. Tubuhnya melemah, wajahnya sepucat mayat, tetapi ia hidup. Ia masih di sini. Ia tidak meninggalkan Harry.
Lunaslah janji itu. Janji godfather untuk selalu ada di sisi godson. Akumulasi janji dan kekuatan cinta mempertahankan nyawa Sirius tetap di dalam raga.
“Mana yang sakit?” tanya Harry perlahan.
Tangan kurus itu bergetar menunjuk dadanya. Tempat kutukan itu terhantam. Harry menggenggam tangan Sirius, menguatkannya.
“Semoga sakitnya pindah padaku...”
“Nope...” Sirius menggeleng lemah.
“Big no, son. Cukup aku yang rasakan.”
Sedetik Harry memalingkan wajah. Tidak, ia tidak tega melihat Sirius sakit. Jika diizinkan, biarlah rasa sakit itu pindah ke tubuhnya.
Hening. Tak lama, keheningan itu dipecahkan bunyi jam saku emas milik Harry. Jam itu seperti milik mantan Menteri Sihir, Cornelius Fudge. Fudge telah dilempar dari kursi Menteri sejak kejadian di Departemen Misteri. Dunia sihir menganggapnya tak sanggup mengatasi situasi gelap ini.
“Waktunya minum obat...” gumam Harry.
Sejurus kemudian, ia dorong kursinya ke belakang. Berjalan menyamping ke nakas, mengambil beberapa piala berisi ramuan. Entah apa khasiat obat-obat itu, Harry tak tahu. Dia bukan healer. Tak pernah terlintas di benaknya untuk menjadi Penyembuh.
Dibawanya piala-piala itu ke tepi ranjang. Sirius menolak meminum obatnya.
“Kenapa, Sirius? Ini demi kesembuhanmu...” bujuk Harry.
“Aku tak akan sembuh lagi,” lirih Sirius.
“Kau akan sembuh. Kau harus sembuh.”
Namun, Sirius masih saja menolak. Harry mendesah letih. Mungkin saja ramuannya tak enak. Sampai-sampai Sirius enggan meminumnya.
“Sirius, sakit ada untuk menghargai sehat. Sekaranglah saatnya kesehatan itu diraih dan dihargai...”
“Kau tak tahu rasanya, Harry.”
“Untuk memahami sesuatu, kita tak perlu merasakannya. Kita hanya perlu berempati. Aku sangat, sangat berempati pada...”
“Kau mengasihaniku?”
Harry menggeleng kuat. Sadar betul nada suara Sirius naik satu oktaf.
“Aku tidak mengasihanimu. Aku menyayangimu...sangat menyayangiku. Lebih dari aku menyayangi diriku sendiri, menyayangi Ron dan Hermione.”
Percayalah, itu bukan kebohongan. Kata-kata cinta datang dari hati terdalam. Cinta anak untuk ayahnya.
Sirius adalah sosok pengganti ayah yang sangat sempurna. Sudah berkali-kali dia membuktikan kesetiaannya pada Harry. Dari tempat persembunyiannya yang jauh, Sirius pernah kembali ke Hogsmeade dan bersembunyi di gua agar lebih dekat dengan Harry. Sirius mempertaruhkan segalanya, segalanya, demi Harry.
“Kalau kau menyayangiku, jangan paksa aku minum ramuan itu!” bentak Sirius marah.
“Justru sekaranglah saatnya kubalas semua kasih sayangmu. Aku akan merawatmu, Sirius. Merawatmu sampai kau sembuh. Lalu kita akan tinggal bersama lagi di Grimmauld Place.”
Mendengar itu, Sirius tertawa getir. Sebutir air mata membasahi iris kelabunya. Kegetiran dan air mata berpadu, melagukan mada kepedihan.
“Sembuh? Kau lupa apa kata Penyembuh semalam? Aku...takkan sama lagi.”
Dan...jatuhlah kristal-kristal bening dari matanya. Lebih banyak, lebih banyak lagi. Air mata datang dari hati yang tulus. Hati yang telah lama menderita, hati yang terluka dalam, hati yang tersiksa selama dua belas tahun di dalam penjara dan dua tahun dalam pelarian. Hati yang kesepian karena tak dipercaya banyak orang.
Harry tahu, Sirius pria yang tangguh. Setangguh-tangguhnya  seorang penyihir, ia tetap punya sisi rapuh. Kerapuhan menunjukkan bahwa dirinya masih manusia.
Sepersekian menit kesedihan itu tertumpah. Dada Sirius naik-turun menahan kepedihan. Helaan napasnya memberat. Ia terbatuk. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Sirius muntah darah.
Kepanikan menjalari sekujur tubuh Harry. Tidak, dia harus kuat di depan walinya. Janji telah terpatri kuat di hati untuk merawat Sirius, apa pun yang terjadi.
“Sirius...kaupikir rasa sayangku padamu akan berkurang setelah kondisimu begini?” Harry mendekat, mengusap bercak-bercak darah.
“Tidak.” lanjut Harry, menjawab sendiri pertanyaannya.
“Aku takkan meninggalkanmu...apa pun yang terjadi.”
Ya, itu janjinya. Janji yang sekarang harus ditepati. Harry menghela napas, mengutarakan keputusannya.
“Bila aku harus keluar dari Hogwarts untuk merawatmu, akan kulakukan. Bila peranku memerangi Voldemort harus terhenti, aku takkan keberatan. Kau lebih penting. Kau segalanya bagiku. Hanya kau satu-satunya keluarga yang kumiliki.”
Kepala Sirius tertunduk dalam. Wajah tegarnya berubah sendu. Ada luka di sana, ada pedih yang membayangi.
“Dunia sihir membutuhkanmu, Harry. Kau Sang Terpilih. Egois sekali jika aku memaksamu tetap bertahan di sini untuk merawatku...”
“Aku tak peduli.” sela Harry.
“Biarlah dunia sihir dan seisinya runtuh, asalkan aku masih bisa bersamamu. Aku akan merawatmu sebisaku.”
**    
Untaian kabut tebal melayang-layang di luar sana. Seluruh kota London gelap dan suram. Kabut dingin, di bulan Juli. Tekanan, kesedihan, dan depresi melanda. Semuanya gegara Dementor. Iblis pengisap kebahagiaan yang membelot dari Kementerian Sihir dan bergabung dengan Voldemort. Dulu, setan-setan berkeropeng itu menjaga tempat dimana Sirius menderita.
Teringat Sirius, tekadnya menguat. Malam membubung. Sirius telah jatuh tertidur. Harry meraih sehelai perkamen, sebotol tinta, dan sebatang pena-bulu. Dicelupkannya pena-bulu ke botol tinta, lalu dia mulai menulis.
Menit-menit berlalu lambat. Surat itu selesai. Tersenyum puas, Harry berjalan ke pelataran rumah sakit. Ia memanggil Hedwig, burung hantu cantik yang tak pernah gagal mengantarkan surat.
“Ini untuk Profesor Dumbledore, ok?” ucap Harry.
Hedwig ber-uhu sekali, mematuk sayang tangan Harry, lalu terbang pergi. Sehelai surat terikat di kakinya.
Keputusannya sudah bulat. Harry berbalik, kembali ke kamar rawat Sirius.
“Sirius...Snuffles...Padfoot, I love you.”
**   
Dear Profesor Dumbledore,
Bersama surat ini, saya, Harry James Potter, menyatakan diri keluar dari Hogwarts. Saya takkan melanjutkan dua tahun pendidikan sihir yang tersisa, dikarenakan saya harus merawat satu-satunya keluarga yang masih saya miliki. Segala urusan yang terkait dengan administrasi dan pengunduran diri akan segera dibereskan.

Salam hormat,

Harry James Potter