Rabu, 05 Oktober 2016

Saat Emosi Membebani: Ungkapkan Atau Diam?

Salahkah bila anak mengungkapkan isi hatinya pada orang tua? Salahkah bila seorang gadis mengungkapkan perasaan kecewa pada pemuda yang dicintainya?
Itulah dua pertanyaan besar yang masih mengganggu pikiran saya. Bagaimana tidak, saya harus berpikir ratusan kali apakah mengatakan saja hasrat hati saya atau lebih baik diam dan menyimpannya sendiri.
Beberapa jam lalu, saya sempat mengungkapkan salah satu hasrat hati saya yang terbesar pada keluarga. Efeknya sudah dapat diduga: respon negatif. Mereka marah dan melabeli pribadi saya secara negatif. Lagi-lagi mereka mengungkit seputar masa lalu. Mereka malah sempat memberikan ultimatum. Nada bicara mereka intimidatif.
Saya pun menyerah dan memutuskan tidak pernah lagi mengatakan apa pun yang menjadi hasrat terdalam di hati saya. Lebih baik saya simpan dan kelak saya wujudkan sendiri. Butuh waktu sekitar dua jam bagi saya untuk menenangkan diri dan menetralisir rasa sakit hati yang muncul.
Kasus ini bukannya baru satu-dua kali terjadi. Melainkan sudah sering saya alami. Tak sedikit pula anak-anak yang mengalaminya dalam keluarga. Ada rasa takut mengungkapkan keinginan, hasrat hati, perasaan, mengeluarkan pendapat, menanggapi permasalahan, dan sebagainya. Risiko kemarahan dan respon negatif terlalu besar. Maka jalan satu-satunya adalah tetap diam dan memendamnya sendiri.
Terkadang, anak merasakan sikap orang tua begitu keras dan tidak toleran. Orang tua tidak memahami perasaan mereka. Orang tua tidak mengerti passion, ekspektasi, ambisi, dan perasaan mereka. Menurut orang tua, pilihan mereka adalah pilihan yang terbaik. Sementara anak dilarang menentukan pilihan hidupnya sendiri. Bukankah yang menjalani semuanya adalah anak itu sendiri? Bagaimana jika si anak merasa berat dengan pilihan orang tuanya? Bagaimana jika si anak mempunyai idealisme dan pandangan lain atas suatu pilihan?
Tidak sedikit pula anak yang memiliki harapan tertentu pada sikap orang tuanya. Ada beberapa poin dalam sikap dan perlakuan orang tua yang tidak sejalan dengan karakter mereka. Bagi orang tua yang demokratis dan terbuka pada kritik serta saran, hal ini mungkin mudah. Tapi bagaimana dengan orang tua yang otoriter dan tidak bisa menerima pendapat dari anak? Ini akan menyulitkan. Anak akan selamanya merasakan betapa tidak enaknya sikap-sikap orang tua yang berada di luar harapan mereka.
Anak yang awalnya terbuka bisa menjadi tertutup lantaran menerima reaksi negatif dari orang tuanya. Reaksi negatif itu bermacam-macam, bisa berupa perlakuan kasar, hardikan, atau label negatif. Akibatnya, anak akan lebih memilih diam dan menutup diri. Menyembunyikan perasaan, menumpuknya di dalam hati, dan risiko terparah adalah keinginan kuat untuk memberontak. Anak yang pendiam justru lebih sulit ditebak. Bisa saja mereka berpotensi untuk memberontak dan melakukan hal-hal tak terduga. Wajar bila banyak anak yang lebih mempercayakan isi hati pada teman-temannya dibandingkan pada orang tuanya.
Kasus memendam emosi tidak hanya antara anak dengan orang tua. Melainkan bisa terjadi pada semua orang. Saya pribadi pun tidak hanya memendam rasa pada orang tua dan keluarga. Saya merasa kecewa pada seseorang, namun lebih baik saya pendam. Semua ini demi menjaga perasaannya dan menghindari pertengkaran.
Sebenarnya, saya lebih suka terbuka. Mudah bagi saya mengekspresikan perasaan. Namun saya melihat situasi dan kondisinya. Saya rasa, momen dan waktunya kurang tepat. Saya pun tidak ingin terjadi pertengkaran. Bisa-bisa nanti dia marah dan meninggalkan saya. Meski dapat saya rasakan kecewa ini semakin lama semakin dalam, saya mencoba sabar dan bertahan.
Banyak faktor yang membuat seseorang memendam emosinya. Pertama, karena takut menerima respon negatif. Kedua, khawatir mendapat kritikan. Ketiga, takut orang-orang di sekitarnya tidak bisa menerima perilakunya. Keempat, tidak ingin mencari masalah. Kelima, tidak ingin membesar-besarkan masalah.
Dari sisi psikologis dan kesehatan, memendam emosi berdampak negatif. Seseorang rentan mengalami stress dan Psikosomatis jika terlalu banyak menumpuk masalah. Depresi dan ketegangan menjadi dampak lainnya yang tidak kalah menakutkan.
Irma Rahayu, Soul Healer dari Emotional Healing Indonesia, menyebutkan beberapa dampak negatif dari memendam emosi. Di antaranya sistem kekebalan tubuh menurun, pernafasan tidak teratur, depresi, dan penuaan dini. Penyakit-penyakit yang berisiko diderita orang yang suka memendam emosi antara lain:
1. Alergi, penyebabnya penyangkalan pada kekuatan dan potensi diri.
2. Radang sendi, sebab perasaan tidak dicintai, ditolak, dan perasaan dikorbankan.
3. Demam, pemicunya karena rasa marah yang tidak diekspresikan.
4. Penyakit ginjal, disebabkan oleh perasaan gagal, rasa malu yang ditekan, dan kekecewaan.
5. Gastritis, penyebabnya karena rasa takut, kecemasan, dan ketidakpuasan pada diri sendiri.
6. Sakit pinggang, pemicunya adalah rasa tidak dicintai dan kekurangan kasih sayang.
7. Penyakit jantung, faktor utamanya karena rasa kesepian, rasa takut akan kegagalan, dan kemarahan.
8. Penyakit paru-paru, penyebabnya adalah rasa putus asa, lelah secara emosional, dan luka batin.
9. Kanker, penyebab utamanya adalah kebencian dan dendam.
10. Diabetes, sebab ada rasa keras kepala dan penolakan untuk disalahkan.
Dengan banyaknya risiko yang ditimbulkan akibat memendam emosi, manakah yang akan kita pilih? Tetap diam atau mengungkapkannya?
Bila pun kita tidak bisa mengungkapkannya secara maksimal, ada beberapa cara agar perasaan kita lebih tenang.
1. Mencari waktu dan ruang untuk sendiri
Bukan hanya Tulus yang butuh Ruang Sendiri, kita pun memerlukannya. Saat kita sendiri, kita bisa menenangkan diri dan melepaskan segala emosi yang berkecamuk dalam hati. Kita juga bisa melakukan self-talk (dialog pada diri sendiri) guna evaluasi, introspeksi, dan memperbaiki apa yang salah dari diri kita.
2. Curhat pada orang-orang yang bisa dipercaya
Saya pribadi suka opsi yang kedua ini. Carilah orang-orang terdekat. Bisa teman, sahabat, guru, dosen, psikolog, terapyst, konselor, atau seseorang yang dengan kata lain telah membuka kunci hati kita (seperti yang dikatakan Afgan dalam lagunya). Lalu kita utarakan emosi dan isi hati kita. Berbicara dengan mereka sedikit-banyak dapat melepaskan beban dan melegakan perasaan.
3. Menulis diary
Walau pun kesannya sudah bukan trend lagi, tak ada salahnya dicoba. Terkadang saya suka melakukannya. Terlebih hadirnya perangkat teknologi makin memudahkan saya. Saya bisa menuliskan apa saja di diary. Tak ada yang perlu ditutupi.
Dengan menulis, kita bisa mengekspresikan perasaan. Kita bisa mentransliterasikan emosi negatif ke dalam kata-kata.
4. Mencari mood buster
Tiap orang memiliki cara masing-masing untuk memperbaiki mood. Ada yang suka mengkonsumsi coklat dan es krim, traveling, hunting foto, membaca buku, mendengarkan musik, menonton film, shopping, dan berbagai aktivitas lainnya. Saya sendiri lebih memilih menyetel musik favorit saya sekeras-kerasnya, menyanyi sambil bermain piano, menyendiri, makan makanan favorit saya, atau memeluk boneka berbentuk kepala Hello Kitty saat saya ingin memperbaiki mood. Dengan mood yang baik, otomatis emosi negatif akan berkurang. Perasaan kita akan kembali netral meski sifatnya temporer. Menjaga mood tetap baik, itulah yang perlu dilakukan.
5. Memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri pada Tuhan
Saat kita jauh dari orang-orang terdekat, saat tak ada satu pun yang memahami kita, Tuhan akan selalu ada. Tuhan selalu memahami hamba-hamba-Nya. Tuhan memahami dan mengerti kesulitan kita. Jangan ragu meningkatkan komunikasi transendental kita pada Sang Pencipta. Tuhan sudah memiliki rencana yang terbaik untuk kita. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya. Berdoalah, memohonlah dengan sungguh-sungguh maka pintu kebahagiaan akan terbuka. Bukankah bila Tuhan berkata ‘kun fayakun’ maka akan terjadi? Apa yang tak mungkin menjadi mungkin? Dan bukankah semua ada waktunya? Sekarang kita mungkin terjebak dalam kesedihan dan keputusasaan. Tetapi nanti, kita akan mendapat anugerah yang luar biasa. Jalani dulu prosesnya, lalu kita akan merasakan hasilnya.
Pada orang tua saya, ingin saya ungkapkan bahwa saya tak ingin menjadi dosen seperti yang kalian harapkan. Saya ingin melangkah pada jalan yang saya cita-citakan dan sedang saya rintis: menjadi psikolog, terapyst, dan praktisi kesehatan. Bila kalian melabeli saya arogan dan setengah-setengah, saya terima. Namun label dari kalian akan membekas selamanya di memori saya. Allah lebih tahu, Allah yang paling tahu. Saya yang menjalani, bukan kalian. Jika kalian tak terima, saya lebih tak terima lagi ketika kalian setuju saat mobil itu dibawa kakak saya. Bukankah waktu itu tak satu pun yang mau repot-repot bertanya pendapat saya? Seakan takdir saya memang untuk mendengarkan orang lain, bukan untuk didengarkan orang lain.

Dan kepada dia yang diri dan waktu saya telah jadi miliknya, saya mengaku bila saya kecewa. Saya selalu ada untuk kamu, sesibuk apa pun saya. Kamu tak bisa selalu ada untuk saya. Waktu selalu saya coba sisihkan untuk kamu, tapi kamu tak pernah bisa menyisihkan waktu untuk saya. Padahal aktivitas, kesibukan, dan tugas saya cukup banyak. Saya selalu mengerti perasaan kamu, tapi kamu tak mengerti perasaan saya. Saya sering bertanya kepadamu, tapi kamu sering mengelak. Saya sering minta pendapat kamu terkait project yang ingin saya kerjakan, tapi kamu justru sibuk berbicara tentang tesismu tanpa pernah menjawab pertanyaan saya. Lalu setelah tesismu selesai nanti, apa lagi? Mungkin kamu akan meninggalkan saya dan lebih tidak peduli pada saya? Setelah tesismu selesai, kamu lulus, dan cita-citamu tercapai, lalu apa lagi sesudahnya? Kamu mau pergi tanpa memikirkan perasaan saya sedikit pun? Saya mengalami sendiri pernyataan Yura Yunita dalam single terbarunya, Intuisi. Saya selalu peduli padamu, tapi kamu tidak peduli pada saya. Kamu tidak mengerti jika saya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayangmu, tidak hanya kamu yang selalu saya curahi perhatian dan kasih sayang. Ada saat-saat saya rapuh, terluka, dan memerlukan seseorang. Ada saat saya kesepian dan tidak berdaya untuk membunuh kesepian itu karena semua orang tak memahami saya. Tapi kamu pun tidak tahu dan tidak mau peduli. Kamu mengulang-ulang kesalahan yang sama, selalu saya maafkan. Saya sering berkorban waktu untuk kamu, tapi kamu tidak pernah mau melakukannya demi saya. Kamu biarkan saya sendirian dan kesepian. Semoga Allah membuka mata hatimu, Dear.