Kamis, 06 Februari 2020

Tentang Hinata yang Merindukan Gaara


Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
Sabaku Gaara adalah pria terbaik di antara Naruto dan teman-temannya.
.
.
Jangan salahkan rintik air mata yang jatuh dari langit
Karena itulah air mata rinduku untukmu
.
.
Hinata berdiri di puncak tangga. Membiarkan angin nakal mengurai ikatan rambutnya yang terikat longgar. Surai indigo itu berkibaran, menjatuhi punggung. Biarlah nanti ada tangan kokoh nan hangat yang menguncirkan kembali rambutnya.
Ironis, pemilik tangan itu tak ada di sini. Entah dimana ia sekarang. Mungkin di kantor Suna Corp, atau di rumah sakit. Opsi pertama mungkin tidak benar. Baru sepuluh menit lalu Hinata menelepon Matsuri. Sekretaris bohai berambut coklat itu melaporkan kalau suaminya telah meninggalkan kantor.
“Gaara-kun? Kau dimana?” desah Hinata pasrah.
Petir menggeletar. Rintik hujan terdengar ringan di telinga. Dalam bayangan Hinata, langit sore ini teramat gelap. Gulungan awan Nimbus setebal kitab suci menghiasinya.
Ya, mantan heirres Hyuuga itu hanya bisa membayangkan. Sepasang manik lavender itu buta. Silakan menyalahkan retinanya yang telah rusak akibat kecelakaan mobil bertahun-tahun silam.
Kami-sama Maha Adil. Selepas kecelakaan yang merenggut penglihatan dan kedua orang tuanya, Hinata tak lagi sendiri. Gaara mengulurkan tangan dengan penuh kasih bagai malaikat pelindung. Ia menikahi Hinata, lalu membawa wanita cantik itu tinggal bersamanya.
Jika dirunut ke belakang, sesungguhnya Gaara bukanlah orang baru dalam hidup Hinata. Kehadiran pria berambut marun itu telah mendominasi separuh lembar buku hidupnya. Pertama kali Hinata mengenal Gaara dalam usia enam tahun.
.
.
.
Todoke todoke tooku e
Ima wo kishikaisei namida azukete
Kono tobira no mukou ni
Mada minu asu ga otozureru kara
Hajimare
Nagai nagai kimi monogatari
Gapailah, gapailah, sejauh mungkin
Kini kupercayakan air mata ini kepadamu
Karena dari sisi lain pintu ini
Ada hari esok yang akan menghampiri
Telah dimulai
Cerita yang panjang tentang dirimu
.
.
.
Hari sudah sore ketika taman bermain itu dipenuhi anak-anak. Mereka membentuk kelompok kecil. Ada yang bermain bola, berkejaran, memanjat naik ke rumah pohon, memainkan jungkat-jungkit, dan meluncur di perosotan. Satu-satunya permainan anak yang sepi hanyalah ayunan.
Ayunan itu hanya dimainkan seorang diri. Anak lelaki berambut merah, bermata jade, dan berkulit pucat duduk di ayunan biru. Lengannya mendekap Teddy Bear. Matanya sayu menatap kawan-kawan sepantarannya yang larut dalam keceriaan.
Buk!
Kulit bundar berwarna orange melayang. Tepat mengenai sisi kanan tubuh anak pucat itu. Diambilnya bola seraya ditimang. Perlahan ia bangkit, bermaksud mengembalikan bola.
“Hmmm, tidak usah.” Tolak anak pemilik bola dengan gusar.
Anak bersurai merah itu terdiam, menggenggam bola erat-erat.
“Buatmu saja. Aku tidak mau menerima benda dari anak berpenyakit sepertimu.”
Little Gaara mengerjap. Dia tidak selemah itu. Kalau perlu, dia bahkan bisa bermain bola dengan lincah seperti mereka. Sejurus kemudian Gaara menjejalkan bola ke tangan pemiliknya. Alih-alih senang, si anak malah mendorong Gaara sambil berteriak,
“Minggir anak penyakitan! Jangan harap aku mau berteman denganmu!”
Tubuh Gaara tersungkur mencium rumput. Seisi taman meneriakinya. Sampai...
“Kamu tidak apa-apa?”
Sepasang tangan pucat terulur. Lembut, mulus, dan menenangkan. Refleks Gaara menyambut tangan itu. Sekali lihat saja ia tahu kalau tangan itu milik anak perempuan.
“Hei, Hinata! Ngapain kamu bantu anak lemah itu?” teriak seorang gadis kecil berambut sewarna bubble gum.
“Kurasa Naruto lebih cakep!” Anak pirang dan bermata aquamarine tersenyum mengejek.
“Hinata suka Gaara! Hinata suka Gaara!” Gadis berambut cempol berkoar, disusul jerit nyaring anak lainnya.
Tak peduli, Hinata menggandeng Gaara meninggalkan taman. Berdua mereka menyusuri trotoar. Lelampu jalan mulai menyala, pertanda senja kian dekat.
“Abaikan mereka,” gumam Hinata lembut.
Hari itu menjadi hari pertama yang indah untuk Gaara dan Hinata.
.
.
.
“Aku merindukanmu, Gaara-kun. Rindu tubuhmu, cintamu, kasih sayangmu.”
Derit halus pintu disusul derap sepatu membuyarkan kenangan Hinata. Hatinya melonjak gembira.
“Tadaima...”
“Ayah!”
Ah, itu suara-suara yang dinantinya. Gaara pulang. Shinki, anak tunggal mereka, menyambutnya.
Tangan Hinata menggapai-gapai pagar tangga. Ia ingin turun, ingin menyambut belahan jiwanya.
“Sini, Sayangku. Kau tak perlu turun untuk menyambutku.”
Suara barithon itu teramat menenteramkan. Hinata disekap kehangatan. Detik berikutnya, bibir Gaara menyapu kening Hinata. Ciuman kening dari Gaara adalah sesuatu yang selalu dinantikan Hinata dan Shinki.
“Gaara-kun sudah minum obat?” tanya Hinata saat Gaara membimbingnya ke kamar utama.
“Sudah, Princess. Bagaimana harimu? Matamu tidak perih lagi, kan?”
“Sedikit..”
Langkah mereka terhenti. Mereka telah sampai di kamar bernuansa broken white itu. Gaara membungkuk, mencium mata Hinata.
“Semoga sakitnya pindah padaku,” ujarnya tulus.
Hati Hinata berdesir hangat. Gaara menghangatkan pernikahan mereka dengan kelembutannya. Ia cintai Hinata apa adanya. Tak pernah sekalipun ia menuntut Hinata melayaninya. Bahkan...oh, demi Tuhan, Gaara tidak meminta pelayanan Hinata di tempat tidur. Shinki mereka dapatkan lewat jalan adopsi.
“Gaara-kun tidak boleh sakit,” lirih Hinata.
“Tidak, Hinata. Aku...uhuk.”
Ujung kalimatnya terpotong. Hati Hinata mencelos. Didengarnya langkah-langkah menjauh.
.
.
.
Sayonara to te wo futta ano ko
Wa ichido mo ushiro wo furikaerazu ni
Hitonami nomarete kieta
Kokoro no renzu wo kumoraseru no wa
Jibun ga tsuiteta tameiki sa
Mabataki sae mo oshii bamen wo
Nakushiteta
Berkata "selamat tinggal" dan melambai
Gadis itu tak akan menoleh ke belakang lagi
Kemudian ia menghilang di dalam keramaian orang

Lensa hatiku berubah menjadi berkabut
Kemudian aku pun menghela nafas
Saat menutup mata, adegan yang disesalkan itu
Telah menghilang (Little by Little-Kimi Monogatari).
.
.
.
Pandangan mata Gaara berkabut. Komisaris utama Suna Corp itu merasakan tusukan sakit luar biasa di dadanya. Sejenak dia tatapi pantulan wajahnya di cermin wastafel.
Pucat. Paras yang bertambah pucat dari hari ke hari. Lingkaran hitam kian menebal. Berbanding terbalik dengan rambut merahnya yang kian menipis.
Percik-percik darah mengotori wastafel. Hidung Gaara mengeluarkan banyak darah. Dia terbatuk. Membuat genangan kecil di bidang putih persegi itu.
“Tuhan...aku ikhlas dengan masa kecilku yang kelam,” rintih Gaara, seraya menutup matanya sejenak.
“Aku ikhlas ditakdirkan dalam keadaan double minority, kesepian, dan tanpa teman. Tapi aku belum rela bila nyawaku dilepas sekarang. Shinki dan Hinata masih memerlukanku.”
Ayah satu anak itu resah. Bagaimana Hinata dan Shinki bila tanpa dirinya? Sewaktu ia dirawat di rumah sakit selama dua minggu, Hinata tak bisa berhenti menangis. Shinki terus memanggil Ayahnya dan menolak masuk sekolah. Hidup istri dan anaknya akan berantakan tanpa Gaara. Bungsu Sabaku itu pelangi cinta mereka.
.
.
.
“Princess,” panggil Gaara lembut.
Hinata meringkuk di ranjang besar. Matanya berkaca-kaca. Ia cemas, cemas sekali pada kondisi sang suami.
Kedua tangan hangat Gaara melingkari tubuh Hinata. Hidung mancungnya merendah, tepat menyentuh surai istrinya. Menghirup dalam-dalam aroma lavender. Sementara itu, ketenangan menyeruak ke hati Hinata tatkala mencium wangi Calvin Klein dari tubuh Gaara.
“Kamu tidak akan kehilanganku...” hibur Gaara.
“Gaara,” kata Hinata serak.
“Lebih baik aku buta selamanya dari pada kehilangan cinta kasihmu.”
Sontak Gaara mengeratkan pelukannya. Diciuminya ubun-ubun dan dahi Hinata penuh cinta.
“Kau takkan kehilanganku. Pakailah bahuku untuk menangis sepuasmu. Gunakan telingaku untuk menampung curahan hatimu, sepanjang apa pun yang kaumau. Hinata, aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu.”