Ada yang beranggapan memaafkan itu mudah. Ada pula yang
berpendapat memaafkan itu susah. Mudah-tidaknya memaafkan sesungguhnya datang
dari diri sendiri. Mesti ada kemauan dan niat yang tulus untuk memaafkan
kesalahan orang lain.
Manusia bukanlah makhluk tanpa cela. Dalam hidupnya, selalu
saja ada kesalahan yang diperbuat. Baik sengaja atau tidak. Karena kodrat
manusia itulah, pintu maaf semestinya dibuka lebar.
Tak dinyana, ternyata memaafkan dapat pula diaplikasikan
dalam hipnoterapi. Tekniknya dinamakan forgiveness
therapy.
Dari percakapan telepon saya dengan seorang hipnoterapist
yang telah banyak mengajari saya selama dua bulan ini, forgiveness therapy ini bermanfaat bagi psikologis orang yang
memaafkan. Manfaatnya bukan terletak pada orang yang dimaafkan. Kondisi
psikologis mereka akan lebih baik. Rasa benci, kesal, marah, dan kecewa akan
lenyap. Praktis berbagai emosi negatif tak lagi dirasakan. Sebagai gantinya,
perasaan positif yang akan mengisi jiwa dan pikiran kita.
Sayangnya, terdapat kendala dalam menjalankan terapi
memaafkan. Seberapa besar kemauan si klien untuk memaafkan? Apakah presentase
kemauannya besar, kecil, atau tidak ada sama sekali. Harus ada kesadaran dan
kemauan kuat dari klien untuk memaafkan.
Cara membangkitkan kemauan untuk memaafkan yakni dengan
melihatnya dari sisi positif. Banyak sisi positif dari memaafkan. Pertama,
menghapus pikiran dan emosi negatif. Kedua, meringankan perasaan yang awalnya
diberati kebencian dan permusuhan. Ketiga, menyembuhkan sakit hati. Keempat,
memupuk keikhlasan.
Dr. Frederic Luskin dalam bukunya, Forgive for Good,
memaparkan keuntungan dari sifat pemaaf. Terbukti sifat pemaaf menjadi resep
ampuh untuk kesehatan dan kebahagiaan. Sifat pemaaf dapat memicu kondisi
positif berupa kepercayaan diri, kesabaran, dan harapan. Keadaan positif itu
bisa tercipta setelah dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, menurunnya
semangat, dan stress.
Masih menurut Dr. Luskin, kemarahan yang terpelihara dapat
berdampak buruk pada kesehatan fisik. Bila kita terus-menerus merasakan amarah,
maka adrenalin akan terbakar dan membuat kita sulit berpikir jernih. Keadaan
tersebut baru teratasi dengan sifat pemaaf.
Saya pribadi setuju dengan pendapat Dr. Luskin. Terlebih
setelah menerapi seorang kawan saya. Ia sulit memaafkan orang lain dan
terus-menerus menumpuk dendam dalam hatinya. Lalu saya tanyakan apa reaksi
fisik yang dia rasakan. Dia menjawab, kepala sangat sakit bahkan terasa mau
pecah. Hati pun tak tenang. Dari sini, pelan-pelan saya mengajaknya untuk
merenungi dampak negatif dari menumpuk dendam dan menolak memaafkan. Saya juga
mengajaknya melihat, adakah dampak positif dari menyimpan dendam itu? Dia
menjawab tidak ada. Saya pun mencoba menarik kesimpulan dari dirinya sendiri,
bahwa menyimpan dendam, kebencian, dan kemarahan hanya menimbulkan dampak
negatif. Dampak negatifnya bukan hanya secara psikologis, melainkan juga secara
fisik. Sebaliknya, jika sifat pemaaf dimunculkan dan dendam dihilangkan, yang
dirasakan ialah dampak positif.
So, di sini saya mengajak Anda semua untuk memaafkan. Memang
tak mudah pada awalnya. Apa lagi bila masalah yang dialami tergolong besar.
Namun percayalah, jika ada niat dan kemauan yang tulus, semuanya akan menjadi
mudah. Mari tumbuhkan sifat pemaaf dalam diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar