Adriana melangkah tergesa memasuki rumah. Melempar tas dan
sepatunya. Dua benda mahal itu terlempar ke karpet. Ia lalu membanting tubuhnya
di sofa. Tersedu. Bulir-bulir air mata berjatuhan membasahi pipi.
“Sayang, ada apa? Lho...kamu menangis?”
Andini, sang Bunda, membuka pintu ruang tamu. Berseru cemas
mendapati putri semata wayangnya menangis.
“What’s wrong, Dear?”
tanya Andini lembut seraya mengusap rambut Adriana.
“Bunda, apa benar Ayah
sakit keras? Apa benar Ayah akan meninggal?” Adriana balik bertanya. Suaranya
bergetar, tertelan isak.
Mendengar pertanyaan
itu, Andini menghela nafas. Hatinya serasa memberat oleh kenyataan pilu.
“Adriana tahu dari
mana?”
“Dari Ernest. Kata
Mamanya Ernest, Ayah sakit keras. Ayah nggak akan lama lagi sama kita, Bunda.”
jelas Adriana.
Ternyata Ernest yang
memberi tahu putri kecilnya. Andini tak tahu bagaimana itu semua bisa terjadi.
Arina, Mama Ernest, memang seorang dokter spesialis Onkologi. Dialah dokter
pribadi Albert, suami Andini, sejak beberapa tahun terakhir. Ya Allah, dengan
cara apa ia mesti menjelaskan segalanya pada Adriana? Ia yakin, Albert pun
belum mempersiapkan cara jika sewaktu-waktu Adriana tahu tentang kondisinya.
Suara isak tangis
Adriana memecah lamunan Andini. Lembut didekapnya kanak-kanak delapan tahun
itu. Diusap rambut panjangnya. Dicium keningnya beberapa kali.
“Sayang...Bunda dan
Ayah akan jawab pertanyaan Adriana. Tapi nanti, habis buka puasa ya? Toh Ayah
juga belum pulang dari kantor. Sekarang Adriana tenang dulu, oke?” hibur
Andini.
**
Fortuner silver itu
menepi di halaman rumah. Seorang pria tampan berpostur tinggi dan berjas hitam
turun dari mobil. Tak dapat disamarkan ekspresi kesakitan di wajahnya. Beberapa
kali ia terhuyung nyaris jatuh. Anak-anak tangga di depan teras dinaikinya.
Dapat ia lihat sesosok wanita cantik menanti di sana.
“Assalamualaikum,
Andini.” Pria itu tersenyum, mengecup pipi istrinya.
Andini balas tersenyum
dan mengecup pipi sang suami. “Waalaikumsalam, Albert.”
“Dimana Adriana?”
Mendengar Albert
menyebut nama buah hati mereka, senyum Andini sedikit memudar. Albert langsung
menangkap perubahan wajah wanitanya.
“Ada apa, Andini?”
“Adriana...sudah tahu
kalau kamu sakit Leukemia.”
Albert terperangah.
“Bagaimana dia bisa tahu?”
“Ernest yang cerita.
Aku juga tidak tahu bagaimana awalnya. Tapi...”
Kalimat Andini
menggantung di udara. Wajah cantiknya seketika kembali sendu. Matanya
berkaca-kaca.
Albert menarik nafas
panjang. Meraih tubuh Andini. Memeluknya hangat. Andini terenyak. Selalu hangat
dan nyaman tiap kali suaminya memeluknya seperti ini. Harum Calvin Klein dari
tubuh Albert menyejukkan indera penciumannya.
“Jangan khawatir,
Andini. Aku akan jelaskan semuanya pada Adriana.” Albert berkata menenangkan.
“Kenapa harus kamu,
Albert? Kenapa harus kamu yang menanggung semua ini? Pria baik sepertimu tak
pantas menerimanya.” Andini terisak.
“Andini, aku...”
Tes. Tes.
Tetesan darah segar
terjatuh dari hidung Albert. Andini tersentak, cepat-cepat melepas pelukan
Albert. Membantu membersihkan dan menghentikan aliran darah.
“Ya Allah...apa
sebaiknya kita ke rumah sakit saja?” gumam Andini.
“Tidak usah, Andini.
Aku ingin menghabiskan sisa hari ini bersama kau dan Adriana. Di sini, bukan di
rumah sakit.” tolak Albert halus.
Tak kuasa Andini
mendebat. Ia hanya berharap Albert baik-baik saja. Pria baik hati itu sudah
terlalu banyak menderita dan merasakan sakit.
**
“Hey Sayang...lagi
nulis apa?”
Albert memasuki kamar
bernuansa soft pink itu. Mendekati Adriana yang sedang duduk di depan meja
belajar. Mengguratkan pensil dengan cermat di buku catatannya.
Adriana berbalik.
Melompat dari kursi dan memeluk erat ayahnya. Menghadiahinya kecupan hangat di
pipi seperti biasa.
“Adriana habis bikin
PR, Ayah.”
“Sudah selesai? Atau
mau Ayah bantu?” tawar Albert.
Murid Al Irsyad Satya
Islamic School itu menggelengkan kepala. “Sudah selesai, Ayah.”
“Pintar...” Albert
memuji, mendaratkan belaian hangat di rambut putrinya.
Sesaat hening. Hanya terdengar
desis AC di kamar itu.
“Adriana kenapa? Dari
tadi Ayah perhatiin kayaknya Adriana sedih banget. Coba cerita sama Ayah...”
“Hmm...tadi Ernest
cerita sama Adriana.” Anak kecil itu mulai mengungkapkan isi hatinya.
“Cerita apa?”
“Katanya, Ayah sakit.
Sakitnya parah banget. Kanker darah. Bentar lagi Ayah meninggal.”
Albert mengangguk
paham. Meneruskan membelai-belai rambut Adriana.
“Adriana sedih.
Adriana nggak mau Ayah sakit. Ayah...Ayah yang baik banget masa dikasih
penyakit sama Allah?”
Suara Adriana mengecil
lalu menghilang. Tak tampak lagi air mata. Namun raut wajahnya menampakkan
kesedihan mendalam.
“Maaf Sayang, Ayah
tidak sempurna. Beda sama ayah teman-temannya Adriana. Tapi Adriana harus tahu
satu hal: Ayah sayang banget sama Adriana.” ujar Albert lembut.
“Iya Ayah, Adriana
juga sayang sama Ayah.”
Dalam gerakan slow
motion, Albert memeluk Adriana. Membuainya pelan.
“Adriana masih ingat
nggak, apa yang dibilang Ustaz Rizal pas Tarawih kemarin malam?” Albert menguji
ingatan permata hatinya. “Ingat, Ayah.”
“Apa coba?”
“Kata Ustaz Rizal,
takdir ada di tangan Allah. Rezeki, jodoh, kematian, udah ditentuin sama Allah.”
“Benar Adriana, pintar
sekali anak Ayah. Allah selalu sayang sama hamba-Nya. Allah tahu mana yang
terbaik buat kita semua. Semua yang ditentukan Allah buat kita jadi yang
terbaik. Makanya, kita harus ikhlas pada setiap takdir Allah. Ayah ikhlas kok
kena kanker darah. Ayah nggak keberatan harus rasain sakit.”
“Tapi Ayah...”
“Kalo kita ikhlas,
insya Allah nggak akan terasa berat dan sakitnya. Dari pada kita terus mengeluh
dan menyesali diri, lebih baik kita ikhlas. Hati lebih ringan, perasaan
bahagia, dan tubuh kita lebih sehat. Karena apa? Karena ada energi positif yang
membantu menyehatkan kita. Adriana paham?”
Kata demi kata
terserap dalam benak Adriana. Gadis cerdas ini meresapinya, memahaminya
dalam-dalam. Perlahan ia mengangguk. Bibirnya mengguratkan senyum.
“Iya, Ayah. Adriana
mau ikhlas kayak Ayah. Adriana pasti dampingin Ayah terus. Karena Adriana
sayang Ayah.”