Well, barangkali inilah yang dinamakan patah hati. Patah
hati platonik tentunya, karena aku bukan patah hati karena cinta ala-ala bucin
gitu. Bermula dari kejadian di Jumat dini hari. Saat itu, Ayah angkatku sebut
saja “Calvin Wan” memberi tahuku sesuatu. Ayah berkata begini sambil merendam
kakinya di permukaan air hangat akibat infeksi.
“Aku mau berhenti nulis di media XXX.”
Aku tersentak kaget. Benarkah? Cepat sekali. Sebuah
keputusan yang sangat mendadak. Kutanyakan apa penyebabnya. Kata Ayah,
alasannya semata karena prinsip. Media citizen journalism itu menerapkan sistem
akun premium. Siapa yang ingin menulis artikel tanpa iklan, harus membayar
sejumlah nominal. Singkatnya, media tersebut menjadi media berbayar.
Kekagetanku makin bertambah setelah mendengar penjelasan Ayah.
Aku sebagai kontributor di media tersebut, bahkan tahun lalu menjadi nomine
kategori fiksi terbaik, tak kalah kecewanya. Media tersebut bagai kehilangan
jati diri. Sistem penulis berbayar mirip seperti biaya publikasi di jurnal
internasional yang mencapai jutaan. Atau biaya terbit buku di penerbit self
publishing. Buat apa mempublikasikan tulisan dengan cara seperti itu? Tulisan
naik karena penulis membayar, bukan karena kompetensi sang penulis.
Aku pun mulai menebak-nebak. Mengapa harus ada sistem
penulis berbayar? Kalau penulis menghibahkan tulisannya untuk dibaca gratis,
itu sah-sah saja dan malah ada nilai sosialnya. Namun, jika penulis diharuskan
membayar untuk membuat tulisannya terpublikasi? Sungguh aneh. Mungkin saja,
media tersebut punya alasan: masalah keuangan atau komersialisasi penulis.
Tanpa penulis, platform media online tak ada apa-apanya. Bagaimana kalau para
kontributornya kabur?
Ayah meyakinkanku untuk tidak bersedih. Kalau aku masih
ingin menulis di media tersebut, Ayah akan selalu membantu seperti biasa. Aku
takkan bisa memeluk Ayah lagi di media tersebut. Meski demikian, aku masih bisa
memeluknya di rumah, kampus, kelas daring, atau tempat mana saja.
Terhentinya Ayah dari media itu sangat kusayangkan. Andai
saja mereka tahu apa yang telah dilakukan Ayah di belakang layar. Mungkin
memang tak berarti bagi sebagian besar orang, tetapi apa yang telah Ayah
lakukan selama 3 tahun terakhir adalah bukti bahwa Ayah cerminan blogger yang
humanis. Ayah mempropagandakan kampanye digitalisme yang ramah untuk orang
berkebutuhan khusus lewat sebuah artikel tentang screen reader bagi mereka yang
bermasalah dalam penglihatan. Ayah juga yang memegang akunku di media tersebut
mengingat keterbatasanku. Ayah satu-satunya kontributor yang turun tangan
mengurusi content creator minoritas sepertiku. Coba, siapa orang yang mau
serepot itu? Saya yakin, satu banding lima ratus ribu kontributor yang
terdaftar di media itu.
Sedihnya, sepertinya hanya aku yang kehilangan. Mereka yang
lain menganggap Ayah bukan siapa-siapa. Padahal, bagi siapa pun yang pernah
mengunjungi profil atau membaca tulisan Ayah, akan melihat kalau Ayahku mampu
menuangkan pemikiran yang kritis dan analitis tentang ekonomi-bisnis dan bijak
serta bermakna dalam bahasan humaniora. Jika Ayah tetap bertahan one day one
article seperti 3 tahun lalu, peluang besar Ayah akan menjadi nomine bahkan
awardee.
Ada yang lebih membuatku sedih ketimbang terhentinya Ayah
menulis di media itu (sebab Ayahku masih akan tetap menulis walau entah kapan
di tempat lain). Yaitu minimnya apresiasi terhadap Ayah. Betul bahwa selama 3
tahun terakhir Ayah hanya fokus menolong satu kontributor. Akan tetapi, tetap
saja tulisan-tulisanku yang dinaikkan Ayah adalah bukti kepedulian Ayah
terhadap kelangsungan berkarya kontributor minoritas yang punya banyak
keterbatasan. Tangan Ayah hanya dua. Aku yakin, jika Ayah punya ratusan replika
tangan seperti tangan perak buatan Voldemort untuk Wormtail, pasti akan lebih banyak
kontributor sepertiku yang ditolongnya.
Sedikit sekali penghargaan untuk Ayah. Ayah yang selalu
tepat waktu menaikkan tulisanku setiap pukul 6 pagi. Ayah yang mencarikan
gambar, memasangkan video musik, dan mempercantik artikelku setiap hari. Tanpa
dirinya, artikelku hanyalah serangkaian kata tak menarik sebab tidak dilengkapi
gambar dan video.
Kebanyakan orang berpikir menulis hanya untuk diri sendiri.
Kerja-kerja intelektual untuk menolong penulis minoritas sama sekali luput dari
pikiran. Inilah kesalahan dalam budaya kerja di negeri kita: tak mau repot.
Ayah, dengan keingintahuannya yang tinggi dan kepeduliannya yang tulus, membuka
hatinya untuk menolongku. Ayah tak seperti rata-rata orang yang hanya bisa
melemparkan kata-kata penyemangat yang cenderung bullshit. Take action, sedikit
bicara banyak bekerja, itulah Ayahku. Bahkan, secara tak langsung, my angel my
Ayah telah mengantarkanku menjadi nomine meski akhirnya tak jadi awardee.
Kekalahanku waktu itu mungkin karena kurangnya dukungan komunitas. Yah, siapa
sih yang benar-benar mendukung dan membersamaiku dari hari ke hari selain Ayah?
Seleksi alam loh, seleksi alam: meninggalkan dan bertahan.
Walau Ayah masih bersedia membantuku, kurasa aku tak punya
alasan untuk bertahan di situ. Satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan di
sana hanya Ayah seorang. Aku dapat melewati apa pun asal bersama Ayah.
Tiap tulisan yang dinaikkan Ayah adalah bukti kasih sayang
ayah pada putri yang berbeda darah dengannya. Kedua tangan Ayah diberkahi
kelembutan, kehangatan, dan inisiatif. Bila tak ada yang mengapresiasi Ayah,
biar aku yang melakukannya. Bila tiada yang memuji, biar akulah yang memberi
pujian.
Numpang promo ya gan
BalasHapuskami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*