Rabu, 18 Maret 2020

Retret, Rest, Love Ayat 12

Di tengah segala keterbatasan karena pandemi virus Covid-19, masih bisa menulis cantik adalah sesuatu yang layak disyukuri. Sebagian dari novel Retret, Rest, Love.
**   

Ayat 12
Tasbih Memeluk Salib
Membuatmu tersenyum
Walau tak pernah berbalas
Bahagiamu juga bahagiaku
Saat kau terlalu rapuh
Pundak siapa yang tersandar?
Tangan siapa yang tak melepas?
'Ku yakin aku
Bahkan saat kau memilih
Untuk meninggalkan aku
Tak pernah lelah menanti
Karena ku yakin kau akan kembali (Fiersa-April).
Biskuit itu nyaris mematahkan giginya. Keras sekali. Ini biskuit kesebelas percobaan Laras. Ia terus dan terus mencoba.
Walau terlalu keras, Steven tetap tersenyum lembut pada istrinya. Menatap Laras yang bersemangat melakukan percobaan keduabelas. Tatapan Steven teduh penuh kasih sayang.
“Kak Steven suka?” tanya Laras penuh harap.
“Suka sekali,” jawab Steven, mengangkat kedua ibu jarinya.
Wajah lugu itu bercahaya. Senyum manis terkulum. Tangan pucatnya sigap mengaduk adonan. Laras menakar bahan sekenanya. Otaknya tak cukup lapang untuk mengingat takaran yang telah diberi tahu Steven berkali-kali. Laras selalu mencoba puluhan kali tiap kali belajar sesuatu.
Ya, Laras memang payah dalam banyak hal. Itu bukan salahnya. Takdir menyusun struktur kimiawi sel otak Laras berbeda dengan kebanyakan manusia normal.
Pedulikah Steven dengan fakta itu? Tidak. Angka-angka IQ Laras tak sebanding dengan besarnya cinta Steven untuknya. Steven mencintai Laras tanpa syarat apa pun. Ditatapnya lekat wanita pendamping hidupnya. Wanita yang pernah menjadi adik angkatnya, wanita yang membersamainya sejak kecil, sepanjang tahun, dari pagi hingga malam.
“Laras Zita Hiang, aku mencintaimu.”
**   
“Ayah, aku ingin tidur di pelukan Ayah malam ini.”
Kamar tidur utama temaram. Ruangan luas itu hanya diterangi dua lampu tidur. Berbeda dengan kamar Nata, lantai berkeramik abu-abunya tak dilapisi karpet. Pendingin udara menyala, begitu juga televisi. Musik mengalun lembut.
“Sini, Sayangku.” Sambut Calvin. Menggendong Nata ke ranjang queen size, lalu memeluknya.
Berapa pun umur Nata, bagi Calvin gadis itu adalah baby girlnya. Pria orientalis itu melingkarkan lengan, mengunci tubuh Nata dalam kenyamanan. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas berpadu dengan wangi Escada Moon Sparkel.
Sudah hampir pukul sebelas malam. Namun, Nata dan Calvin tak terlelap juga. Mereka malah mengobrol. Bicara dari hati ke hati.
Lagi-lagi virus Louissa bagai dua mata pisau. Satu sisi virus ini melemahkan kegiatan ekonomi dan menimbulkan ancaman lockdown sebagai kemungkinan terburuk. Di sisi lain, virus ini mendekatkan kembali orang-orang yang lama merenggang karena kesibukan.
Tak jemu Calvin menikmati keindahan mata biru putri angkatnya. Mata biru yang teduh. Nata cantik, sangat cantik. Pada saat yang sama, Nata menatap lurus ke dalam mata sipit Calvin. Matanya bergerak naik, mengagumi ketampanan sang ayah. Ketampanan Calvin Wan belum pudar meski tahun ini usianya menginjak angka 48.
Ketakjuban Nata buyar. Dia lihat hidung Calvin berdarah. Cairan merah segar mengalir dari hidung pria tanpa istri itu.
“Ya ampun Ayah mimisan...” desis Nata.
Raut wajah itu tetap tenang. Jangan harap menemukan kepanikan di sana. Calvin bangkit duduk, mengambil tissue, dan menyeka darahnya.
“Ayah, Ayah kenapa?” Kekhawatiran menerkam hati gadis itu. Ia pernah beberapa kali melihat Calvin mimisan. Perasaan khawatir yang lebih besar mencengkeram jiwa.
“Ayah, aku panggilkan Daddy Martino dan Papa Steven ya...”
Sepasang tangan menahan gerakannya. Dengan lembut, Calvin mendorong kepala Nata bersandar di dadanya. Diciuminya rambut dan kening putri satu-satunya. Diisyaratkannya pada Nata kalau Calvin hanya ingin dirinya. Saat ini, Calvin tak butuh siapa pun kecuali Nata.
**  
Hari terburuk dalam hidup Martino adalah saat dia terpisah dengan Elsy. Setelah prahara itu berlalu, dia berharap takkan ada hari lain yang paling buruk. Ekspektasi dikurangi realita hanya menghasilkan kekecewaan dalam rumus psikologi.
Realitanya, Martino kembali dihadapkan pada hari buruk. Hari ini tepatnya, ketika Elsy tergesa-gesa mendatanginya di pinggir kolam renang sambil berkata,
“Tino, Garry sakit.”
Martino menengadah menatap istrinya. Tidakkah Elsy salah informasi? Kata Garry dan sakit nampak ganjil bila disandingkan. Garry, putra angkatnya yang berambut semerah darah itu, jarang sekali sakit.
Tanpa bicara, Martino meraih tangan Elsy. Melangkah setengah berlari ke kamar putra mereka.
Garry demam tinggi. Separo tubuhnya tersembunyi di balik selimut tebal. Kulitnya yang memang kelewat putih, kini memucat serupa perkamen.
“Garry, apa yang terjadi padamu? Kenapa bisa begini, Sayang?” Martino naik ke kaki ranjang, menempelkan tangan di kening komikus muda itu.
Rumah besar geger. Para penghuninya tumpah ke kamar Garry. Kepanikan menebar. Hunian termewah milik Calvin, bekas rumah retret itu, tak lagi damai. Mereka bersembilan dicekam ketakutan.
Gejala awal yang ditampakkan Garry mirip gejala virus Louissa. Dokter dipanggil. Serangkaian tes dilakukan. Mudah bagi Calvin mendatangkan petugas kesehatan beserta alat medisnya.
Hasil rapid test, serum darah, dan PCR sungguh mengejutkan. Apa yang ditakutkan terjadi. Garry terinfeksi virus Louissa.
Mereka terpukul, amat terpukul. Semaksimal mungkin mereka menghindari kegiatan massal dan keluar rumah. Ternyata ada di antara mereka yang terinfeksi. Martino dan Elsy yang paling terguncang atas kenyataan ini.
“Ayah...Ayah harus sehat! Ayah jangan sakit seperti Garry!”
Persetan dengan sikap anggun nan cantik. Lihatlah, Nata menangis keras-keras. Menjatuhkan diri di pelukan Calvin.
Laras, yang tak tahu apa-apa, hanya menggenggam tangan Steven erat. Yuke dan Yune shock. Tak menyangka teman baik mereka terinfeksi virus Louissa.
“Tuhan, pulihkan Garry.” Yune membuat tanda salib. Lirih menggumamkan doa.
Tanpa sadar, Yuke mencengkeram tasbih yang terselip di saku bajunya. Memohon perlindungan Allah.
Elsy tersedu. Martino melupakan segala aturan dan social distancing. Dia peluk anak semata wayangnya erat. Steven dan Calvin bertindak bijaksana. Mereka menenangkan anak-anak yang terpukul.
Kondisi Garry melemah. Virus Louissa mengalami perburukan dengan cepat. 80% kasus ini ringan. Mengapa virus ini harus mengganas di tubuh Garry?
“Tidak, Daddy.” Garry menolak dengan suara melemah saat Martino akan membawanya ke rumah sakit.
“Ini langkah terbaik, Sayang. Kamu harus dirawat di rumah sakit.” Bujuk Martino sabar.
Dua permata hijau jernih milik Garry menatap nanar Daddynya. “Tidak semua pasien yang terinfeksi harus dirawat di rumah sakit. Untuk apa memenuhi rumah sakit, Daddy? Isolasi mandiri di sini bukankah bisa?”
Ingin Martino mendebat lagi, namun pandangan lembut Elsy menahannya. Calvin menengahi. Garry tetap bisa dirawat di rumah karena dialah yang akan mendatangkan tim medis beserta peralatannya.
Di antara tiga sahabat itu, ayah angkat Natalah yang paling berada. Reputasi Calvin sebagai pengusaha memudahkannya mengakses sejumlah fasilitas first class. Garry segera mendapat penanganan terbaik.
Sulit sekali untuk mematuhi anjuran isolasi. Berkali-kali Yuke, Yune, dan Nata ingin berada satu ruangan dengan Garry. Steven susah payah menjauhkan istrinya dari kamar Garry. Nata dan Calvin pada akhirnya hanya bisa menatap pemuda tampan berambut merah itu dari balik kaca. Martino? Kasih sayangnya pada si rambut merah jauh lebih besar dari ketakutan akan virus Louissa. Elsy sama saja. Beruntungnya Garry diadopsi orang tua super penyayang.
Putra peneliti dan pendeta itu tak kunjung membaik. Tim dokter mencoba berbagai langkah medis untuk menyembuhkan Garry. Virus itu jahat menggerogoti tubuhnya. Hingga membuatnya kehilangan banyak darah di hari keempat.
Garry butuh transfusi darah. Perasaan tak berguna menggumpal di dada Elsy. Golongan darahnya berbeda. Calvin? Pria kelahiran 9 Desember itu tak mungkin memberikan darahnya pada Garry. Nata, si kembar Yuke-Yune, Steven, dan Laras sama saja. Martino putus asa. Hampir saja ia mengontak ayah kandung Garry jika tak dicegah sang anak.
“Aku tidak mau dia datang. Ayahku hanya satu, ayahku hanya Daddy Martino.”
Ujaran anak itu membuat Martino trenyuh. Segitu sayangnya Garry padanya. Hingga tak ada yang bisa menggantikan Martino. Termasuk Aryo yang telah menyia-nyiakannya selama hampir dua puluh tahun.
Masih tersisa bintik cerah di kaki langit. Di luar dugaan, Martino dan Garry memiliki golongan darah yang sama. Warna rambut mereka boleh berbeda. Ikatan genetik boleh tak serupa. Namun, ayah dan anak itu sama eratnya seperti ayah dan anak yang terikat darah.
“Kau benar-benar anakku, Garry. Lihat Sayang, bahkan golongan darah kita sama.” Martino berujar lirih, memeluk dan menciumi wajah anaknya.
Mata Elsy berkaca-kaca. Pengorbanan, kali kedua dia melihat suaminya berkorban untuk orang yang dia cintai. Pengorbanan berbeda dengan kompromi. Ada hal besar yang diberikan, bukan sekedar mengalah atau menyisihkan waktu. Benak Elsy memutar ingatan. Bagai rol film, sebuah kenangan terputar.
**   
13 Mei, hari itu takkan pernah terlupa. Tanggal itu pernah merekam peristiwa berdarah yang menjadi trauma kolektif bagi komunitas bermata segaris dan berkulit putih. Tapi itu dulu. 20 tahun berlalu, ada peristiwa berdarah lain di tanggal yang sama.
Martino membangunkan Elsy. Membelai lembut rambutnya. Dengan satu elusan, Elsy terbangun. Tersadar kalau ini hari Minggu.
Minggu pagi, saatnya Martino mendampingi Elsy. Berdua mereka berjalan dengan tangan bertautan menuju mobil. SUV merah itu meluncur di ruas jalan yang masih lengang.
“Tino, are you ok?” tanya Elsy. Intuisinya membisikkan bila ada yang berbeda dengan pria pendamping hidupnya.
“I’m good,” jawab Martino, berkonsentrasi pada jalanan yang dilewatinya.
Ada yang berbeda, Elsy membatin. Martino tampak resah. Dia bahkan tak bisa menyembunyikan pancaran kekhawatiran di matanya.
Mobil menepi di kompleks gereja. Tiga gereja menjulang indah dilatarbelakangi siluet matahari terbit: satu gereja Katolik, satu gereja Protestan, dan satu gereja Pantekosta. Martino dan Elsy bergandengan tangan memasuki salah satunya. Mereka tersenyum ramah dan menyalami para jemaat. Umat gereja ini kenal baik dengan Martino dan Elsy, begitu pun tahu kisah cinta mereka yang melampaui tembok pembeda.
Ibadah Minggu pagi ini bertemakan “Roh Kudus dicurahkan bagi pembaharuan hidup”. Setelah saat teduh, jemaat dipanggil beribadah dan mereka berdiri. Martino mendampingi Elsy, lekat memperhatikan wanita yang dicintainya memimpin prosesi.
“Datanglah roh kudus...”
“Masukilah keheningan kami.”
Seisi gereja khidmat. Martino mengedarkan pandang ke sekeliling. Mengamati jemaat yang begitu khusyuk.
“Datanglah roh kudus.”
“Masukilah kerinduan kami.”
“Datanglah roh kudus.”
“Sahabat dan kekasih kami.”
Ia hanya mendampingi, tidak mengikuti. Perannya sampai di sini. Tujuannya bukan untuk ikut mengimani, hanya menunjukkan bukti cintanya pada Elsy. Bukti jika Martino mencintai semua tentang Elsy.
“Suburkanlah gurun hati kami.”
“Sembuhkanlah luka hati kami.”
“Datanglah roh kudus...”
Duar!
Kekhusyukan berantakan. Jemaat terlempar. Kursi-kursi terbalik. Lantai gereja bergetar hebat.
“Elsy...”
“Tino...”
Mereka saling mencari. Tangan mereka menggapai-gapai satu sama lain. Di antara kepulan debu dan benda-benda yang berserakan, Elsy menemukan tangan Martino. Tangan mereka saling genggam, erat sekali.
Siapa pembuat ledakan bom ini? Siapa orang jahat yang begitu tega meledakkan rumah Tuhan saat semua orang di dalamnya tengah beribadah? Kejahatan seakan belum puas melahap gereja itu.
“Elsy, awas!”
Datang ledakan kedua. Lebih dahsyat dari yang pertama. Gereja dipenuhi teriakan kesakitan. Kedamaian pagi di hari Minggu robek oleh peristiwa terorisme.
Tangan-tangan Tuhan melindungi. Hanya sedikit luka goresan di wajah cantiknya. Elsy menoleh ke samping, ke tempat semula dia berdiri.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Martino terkulai di lengan Elsy. Bukan itu yang mengejutkan. Melainkan pecahan-pecahan kaca yang menghujam punggungnya.
“Aku...” Martino terbatuk di sela ucapannya.
“Aku senang kamu tidak apa-apa, Elsy.”
Martino terbatuk lagi. Darah segar menyembur ke bagian depan jas hitamnya.
**   
Habataitara modoranai to itte
Mezashita no wa aoi aoi ano sora
Kanashimi wa mada oboerarezu
Setsunasa wa ima tsukami hajimeta
Anata e to idaku kono kanjou mo
Ima kotoba ni kawatteku
Michinaru sekai no yume kara mezamete
Kono hane wo hiroge tobidatsu
Habataitara modorenai to itte
Mezashita no wa shiroi shiroi ano kumo
Tsuki nuketara mitsukaru to shitte
Furikiru hodo aoi aoi ano sora
Aoi aoi ano sora
Aoi aoi ano sora
Aisou tsukita you na oto de
Sabireta furui mado wa kowareta
Miakita kago wa hora soteteiku
Furikaeru koto wa mou nai
Takanaru kodou ni kokyuu wo azukete
Kono mado wo kette tobitatsu
Kakedashitara te ni dekiru to itte
Izanau no wa tooi tooi ano koe
Mabushi sugita anata no te mo nigitte
Motomeru hodo aoi aoi ano sora
Ochite iku to wakatteita
Soredemo hikari wo oi tsuduketeiku yo
Jika dapat terbang maka kau takkan kembali
Dan tujuanmu adalah langit, langit yang biru itu
Kau masih belum mengenal arti kesedihan
Sekarang coba rasakanlah kepedihan itu
Perasaan yang ingin kusampaikan padamu
Kini kuungkapkan dengan kata-kata
Ketika kau terbangun dari mimpi dunia yang lain
Kembangkanlah sayap itu dan pergi jauh
Jika dapat terbang maka kau takkan kembali
Dan tujuanmu adalah awan yang, awan yang putih itu
Jika kau berhasil maka kau akan menemukannya
Terus terbang tinggi di langit, langit yang biru itu
Di langit, langit yang biru itu
Di langit, langit yang biru itu
Dengan suara bagaikan tanpa kelembutan
Jendela tua yang berkarat itu telah hancur
Lihatlah, kau pun muak di kurungan itu
Kau ingin pergi tanpa menoleh ke belakang
Denyut yang berdebar membawa pergi nafasmu

Kau pun menerjang jendela dan pergi jauhJika dapat berlari maka kau akan mendapatkannya
Yang kauinginkan adalah suara yang, suara yang jauh itu
Begitu menyilaukan, tanganmu pun mencoba meraihnya
Hingga dapat tiba di langit, langit yang biru itu
Aku tahu bahwa kau akan jatuh
Namun tetaplah mengikuti arah cahaya itu (Ikimono Gakari-Bluebird).
Elsy mengenal arti kesedihan. Kesedihan adalah ketika ia mendampingi Martino selama proses pengeluaran pecahan kaca itu. Kesedihan tercipta di kala ia bermimpi buruk dan mendengar Martino takkan kembali lagi.
Hancur. Hati Elsy sama hancurnya seperti pecahan kaca yang dikeluarkan dari punggung prianya. Martino terluka karena menyelamatkan Elsy.
“Elsy...” erang Martino, tubuhnya serasa dijejali busa panas yang lembut dan empuk.
Kian lama, busa panas berubah menjadi tusukan menyakitkan. Belasan jarum besar serasa menusuk-nusuk punggungnya. Sakit, sakitnya tak tertahankan.
Bertahanlah, bisik hati kecil Elsy berulang-ulang. Bertahanlah demi aku, batinnya perih, memohon. Bertahanlah seperti kau menyelamatkanku waktu itu.
Itu menyakitkan, sangat menyakitkan. Sesaat Martino ingin menyerah saja. Ingin mencukupkan saja deritanya sampai di sini. Tapi...
“Tapi ini hanya mimpi, kan? Tino, saat menungguimu aku tertidur dan bermimpi buruk. Kau bilang kau akan pergi jauh dan takkan kembali.”
Genggaman tangan ini, isak tangis ini, hangat yang mengalir di tangannya...ah, tidak. Tidak boleh berakhir.
Tirai hitam yang menutup pandangan matanya perlahan tersingkap. Martino tahu jika dia membuka mata, hanya kesakitan yang akan terasa. Namun itu lebih baik, sungguh lebih baik selama ia bersama Elsy.
Rasa sakit menjalar, dari punggung ke dada. Ia akan menahan sakit ini demi belahan jiwanya. Ia tak boleh menyerah, tak boleh.
Martino merasakan tangannya basah. Bukan darah, tapi air mata. Air mata wanitanya. Oh tidak, jangan. Air mata itu tidak boleh tumpah karena dia.
“Sudah berlalu.”
Rasanya ia dapat mendengar bisikan seseorang. Apanya yang sudah berlalu?
“Tino, kau tidak akan pergi, kan? Jangan...jangan pergi.”
Tidak akan ada yang pergi. Martino tidak meninggalkan. Pun demikian dengan Elsy. Elsy untuk Martino, Martino untuk Elsy.

1 komentar:

  1. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    BalasHapus