Fanfiksi, ungkapan cinta untuk godfather Sirius Black.
Disclaimer: Harry Potter milik J. K. Rowling
**
“Avada Kedavra!”
Kilatan cahaya hijau itu, telak menghantam dadanya. Sirius
jatuh, jatuh menembus selubung. Tubuhnya melengkung anggun. Memasuki relung
pintu kuno itu, lalu lenyap.
Tidak, tidak sepenuhnya lenyap. Harry berlari mengejar. Di
saat seperti ini, mana mungkin ia lepaskan ayah baptisnya begitu saja?
Mengabaikan seruan tertahan Lupin dan gemuruh pertempuran di sekitarnya.
Semuanya serasa tak penting lagi. Kilatan cahaya merah-hijau, derai tawa
Pelahap Maut, pecahan bola kaca ramalan, dan debam tubuh-tubuh yang terjatuh.
Demi nama Merlin, semuanya tak penting lagi.
“Sirius!” Harry berteriak.
Ia berharap, sangat berharap walinya bertahan hidup. Seperti
dirinya yang berhasil lolos dari kutukan kematian Lord Voldemort enam belas
tahun lalu.
**
Kucinta dirimu
Bagiku kau pahlawan hidupku
Kusayang dirimu
Ku berjanji bahagiakanmu
I love you my daddy
Kau pahlawan hidupku
I love you my daddy...
^Song by Rio, Alvin, Ray, Keke, and Zevana^
**
Tapi...kegentingan itu telah berlalu. Doa Harry tepat
menyentuh langit ketujuh, didengar langsung oleh Tuhan. Kutukan Kematian yang
diluncurkan Bellatrix Lestrange tak berhasil membunuh Sirius. Ayah baptisnya
selamat!
Mantra penangkal yang manjur. Apakah mantra penangkal itu?
Cinta. Ya, cinta. Tiada lain cinta Harry yang teramat kuat untuk Sirius.
Seperti cinta Lily yang membuat Harry terselamatkan dari Kutukan Kematian.
Sirius bertahan karena cinta.
Sungguh karena cinta.
Lihatlah, kini Animagus tampan itu terbaring di ruang rawat
ST Mungo. Tubuhnya melemah, wajahnya sepucat mayat, tetapi ia hidup. Ia masih
di sini. Ia tidak meninggalkan Harry.
Lunaslah janji itu. Janji godfather untuk selalu ada di sisi
godson. Akumulasi janji dan kekuatan cinta mempertahankan nyawa Sirius tetap di
dalam raga.
“Mana yang sakit?” tanya Harry perlahan.
Tangan kurus itu bergetar menunjuk dadanya. Tempat kutukan
itu terhantam. Harry menggenggam tangan Sirius, menguatkannya.
“Semoga sakitnya pindah padaku...”
“Nope...” Sirius menggeleng lemah.
“Big no, son. Cukup aku yang rasakan.”
Sedetik Harry memalingkan wajah. Tidak, ia tidak tega
melihat Sirius sakit. Jika diizinkan, biarlah rasa sakit itu pindah ke
tubuhnya.
Hening. Tak lama, keheningan itu dipecahkan bunyi jam saku
emas milik Harry. Jam itu seperti milik mantan Menteri Sihir, Cornelius Fudge.
Fudge telah dilempar dari kursi Menteri sejak kejadian di Departemen Misteri.
Dunia sihir menganggapnya tak sanggup mengatasi situasi gelap ini.
“Waktunya minum obat...” gumam Harry.
Sejurus kemudian, ia dorong kursinya ke belakang. Berjalan
menyamping ke nakas, mengambil beberapa piala berisi ramuan. Entah apa khasiat
obat-obat itu, Harry tak tahu. Dia bukan healer. Tak pernah terlintas di
benaknya untuk menjadi Penyembuh.
Dibawanya piala-piala itu ke tepi ranjang. Sirius menolak
meminum obatnya.
“Kenapa, Sirius? Ini demi kesembuhanmu...” bujuk Harry.
“Aku tak akan sembuh lagi,” lirih Sirius.
“Kau akan sembuh. Kau harus sembuh.”
Namun, Sirius masih saja menolak. Harry mendesah letih.
Mungkin saja ramuannya tak enak. Sampai-sampai Sirius enggan meminumnya.
“Sirius, sakit ada untuk menghargai sehat. Sekaranglah
saatnya kesehatan itu diraih dan dihargai...”
“Kau tak tahu rasanya, Harry.”
“Untuk memahami sesuatu, kita tak perlu merasakannya. Kita
hanya perlu berempati. Aku sangat, sangat berempati pada...”
“Kau mengasihaniku?”
Harry menggeleng kuat. Sadar betul nada suara Sirius naik
satu oktaf.
“Aku tidak mengasihanimu. Aku menyayangimu...sangat
menyayangiku. Lebih dari aku menyayangi diriku sendiri, menyayangi Ron dan
Hermione.”
Percayalah, itu bukan kebohongan. Kata-kata cinta datang
dari hati terdalam. Cinta anak untuk ayahnya.
Sirius adalah sosok pengganti ayah yang sangat sempurna.
Sudah berkali-kali dia membuktikan kesetiaannya pada Harry. Dari tempat
persembunyiannya yang jauh, Sirius pernah kembali ke Hogsmeade dan bersembunyi
di gua agar lebih dekat dengan Harry. Sirius mempertaruhkan segalanya,
segalanya, demi Harry.
“Kalau kau menyayangiku, jangan paksa aku minum ramuan itu!”
bentak Sirius marah.
“Justru sekaranglah saatnya kubalas semua kasih sayangmu.
Aku akan merawatmu, Sirius. Merawatmu sampai kau sembuh. Lalu kita akan tinggal
bersama lagi di Grimmauld Place.”
Mendengar itu, Sirius tertawa getir. Sebutir air mata
membasahi iris kelabunya. Kegetiran dan air mata berpadu, melagukan mada
kepedihan.
“Sembuh? Kau lupa apa kata Penyembuh semalam? Aku...takkan
sama lagi.”
Dan...jatuhlah kristal-kristal bening dari matanya. Lebih
banyak, lebih banyak lagi. Air mata datang dari hati yang tulus. Hati yang
telah lama menderita, hati yang terluka dalam, hati yang tersiksa selama dua
belas tahun di dalam penjara dan dua tahun dalam pelarian. Hati yang kesepian
karena tak dipercaya banyak orang.
Harry tahu, Sirius pria yang tangguh.
Setangguh-tangguhnya seorang penyihir,
ia tetap punya sisi rapuh. Kerapuhan menunjukkan bahwa dirinya masih manusia.
Sepersekian menit kesedihan itu tertumpah. Dada Sirius
naik-turun menahan kepedihan. Helaan napasnya memberat. Ia terbatuk. Darah
mengalir dari mulut dan hidungnya. Sirius muntah darah.
Kepanikan menjalari sekujur tubuh Harry. Tidak, dia harus
kuat di depan walinya. Janji telah terpatri kuat di hati untuk merawat Sirius,
apa pun yang terjadi.
“Sirius...kaupikir rasa sayangku padamu akan berkurang
setelah kondisimu begini?” Harry mendekat, mengusap bercak-bercak darah.
“Tidak.” lanjut Harry, menjawab sendiri pertanyaannya.
“Aku takkan meninggalkanmu...apa pun yang terjadi.”
Ya, itu janjinya. Janji yang sekarang harus ditepati. Harry
menghela napas, mengutarakan keputusannya.
“Bila aku harus keluar dari Hogwarts untuk merawatmu, akan
kulakukan. Bila peranku memerangi Voldemort harus terhenti, aku takkan
keberatan. Kau lebih penting. Kau segalanya bagiku. Hanya kau satu-satunya
keluarga yang kumiliki.”
Kepala Sirius tertunduk dalam. Wajah tegarnya berubah sendu.
Ada luka di sana, ada pedih yang membayangi.
“Dunia sihir membutuhkanmu, Harry. Kau Sang Terpilih. Egois
sekali jika aku memaksamu tetap bertahan di sini untuk merawatku...”
“Aku tak peduli.” sela Harry.
“Biarlah dunia sihir dan seisinya runtuh, asalkan aku masih
bisa bersamamu. Aku akan merawatmu sebisaku.”
**
Untaian kabut tebal melayang-layang di luar sana. Seluruh
kota London gelap dan suram. Kabut dingin, di bulan Juli. Tekanan, kesedihan,
dan depresi melanda. Semuanya gegara Dementor. Iblis pengisap kebahagiaan yang
membelot dari Kementerian Sihir dan bergabung dengan Voldemort. Dulu,
setan-setan berkeropeng itu menjaga tempat dimana Sirius menderita.
Teringat Sirius, tekadnya menguat. Malam membubung. Sirius
telah jatuh tertidur. Harry meraih sehelai perkamen, sebotol tinta, dan
sebatang pena-bulu. Dicelupkannya pena-bulu ke botol tinta, lalu dia mulai
menulis.
Menit-menit berlalu lambat. Surat itu selesai. Tersenyum
puas, Harry berjalan ke pelataran rumah sakit. Ia memanggil Hedwig, burung
hantu cantik yang tak pernah gagal mengantarkan surat.
“Ini untuk Profesor Dumbledore, ok?” ucap Harry.
Hedwig ber-uhu sekali, mematuk sayang tangan Harry, lalu
terbang pergi. Sehelai surat terikat di kakinya.
Keputusannya sudah bulat. Harry berbalik, kembali ke kamar
rawat Sirius.
“Sirius...Snuffles...Padfoot, I love you.”
**
Dear Profesor Dumbledore,
Bersama surat ini, saya, Harry James Potter, menyatakan diri
keluar dari Hogwarts. Saya takkan melanjutkan dua tahun pendidikan sihir yang
tersisa, dikarenakan saya harus merawat satu-satunya keluarga yang masih saya
miliki. Segala urusan yang terkait dengan administrasi dan pengunduran diri
akan segera dibereskan.
Salam hormat,
Harry James Potter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar