Selasa, 14 Juli 2020

Good Bye Yanda Yuliet, Wellcome Ayah Calvin


Good Bye Yanda Yuliet, Wellcome Ayah Calvin
Rest in Peace
Telah berpulang Yanda tercinta, Yuliet Mueler.
Yanda Yuliet meninggal dunia pada pukul 20.10 malam.
Jenazah akan dimakamkan di Cemitiere Park pukul 09.00 pagi.
Dengan segala kerendahan hati, kami mewakili Yanda Yuliet memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan yang telah dilakukan Yanda selama hidupnya, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Unggahan bernapaskan duka itu merobek hati Calvin. Layar iPad seolah berkabut. Seluruh perhatiannya tersita oleh postingan yang diunggah akun @LaurelYuliet
“Ya, Tuhan, benarkah ini?” Calvin mendesah tak percaya.
Yuliet pergi secepat itu. Apa yang terjadi dengannya? Penyakit, kecelakaan, atau semata takdir hidupkah yang merenggut nyawanya? Bagai racun, kesedihan menyebar cepat ke ruang-ruang hampa di jiwa.
Ibu jari Calvin menutup aplikasi Instagram dalam hitungan detik. Secepat kilat, ia melesat ke garasi. Bukan waktunya bertanya-tanya. Ia harus tiba di rumah duka secepatnya.
**   
Kau tinggalkan aku di saat
'Ku merasa t'lah temukan belahan jiwaku
Selamat tinggal bila kau ingin pergi
Tak mungkin lagi 'ku memaksamu di sini
Lupakan aku bila tak cinta lagi
Doakan saja 'ku mendapatkan pengganti lebih baik darimu (Rey Mbayang-Selamat Tinggal).
**   
Gadis cantik itu jatuh berlutut. Kosong matanya memandangi peti jenazah yang tertutup rapat. Sesuai wasiat terakhirnya, Yuliet dimakamkan tak kurang dari dua puluh empat jam sejak ia menghembuskan napas terakhir.
Pelupuk mata gadis itu lebam seperti petinju kena hantam. Air bening mengalir tanpa henti dari kedua iris kebiruannya. Sesaat, matanya nampak seperti kolam renang biru nan bening. Bahunya berguncang dalam isak tanpa suara. Sepasang tangan putihnya mencengkeram erat peti kayu itu, seolah tak rela melepasnya.
“Sudahlah, Ceci. Tolong menyingkir dari situ. Kita harus segera memakamkan Yanda,” pinta Laurel.
Cecilia menggeleng kuat. Makin banyak embun jernih yang menggenangi netranya.
“Nggak, nggak. Yanda nggak boleh dibawa pergi!” tolaknya frustrasi.
Lembut tapi tegas, Laurel menuntun adiknya menjauh dari peti. Empat lelaki kekar bergegas menggotong peti ke mobil ambulans. Cecilia berteriak histeris melihat kotak kayu besar yang membawa jasad Yuliet melenyap ditelan pintu mobil.
“BERHENTI! BERHENTI! JANGAN BAWA YANDA!”
“Ceci, tenanglah. Ayo kita naik. Kalau tidak, kita bisa ditinggal.”
Kali ini Laurel menggandeng lengan Cecilia masuk ke ambulans. Di dalam, telah duduk ibu mereka. Wanita uzur yang belum kehilangan sisa kecantikannya itu terduduk lesu. Matanya merah dan sembap.
“Ibun ....” Cecilia menyandarkan kepala ke bahu ibunya, terisak-isak.
Leika membelai-belai rambut putrinya tanpa bicara. Kesedihan ini membungkam suaranya. Ibu dua anak pemilik rumah makan itu terlarut dalam kebisuan yang panjang. Lidahnya seakan terkunci sejak dokter mengabarkan jika Yuliet telah bergandengan mesra dengan Izrail.
Sirine meraung kencang. Lampunya menyorot galak, mengusir kendaraan-kendaraan yang menghalangi. Perjalanan ke pemakaman berlangsung lancar. Cecilia begitu sibuk menangis hingga tak menyadari sebuah Toyota Camry hitam lekat membuntuti.
Seperempat jam kemudian, ambulans menepi di dekat gerbang pemakaman. Peti jenazah diturunkan. Ekor mata Laurel menangkap kelebatan sosok pria berjas dan berdasi hitam yang melangkah turun dari Toyota Camry.
“Biar saya bantu,” tawar pria itu lembut saat orang-orang bersiap menurunkan peti.
Para pelayat berjalan pelan memasuki taman makam. Semuanya diam dan hening. Masing-masing tak lupa menjaga jarak sekitar satu setengah meter. Masker menutup mulut dan hidung mereka. Beginilah prosesi pemakaman di era normal baru.
Jenazah dimasukkan ke liang lahat. Tanpa diduga, si pria berjas rapi ikut menggali kubur. Ia tak peduli kegiatan itu dapat mengotori jas mahalnya.
Di balik pantulan air mata, akhirnya Cecilia melihat pria itu. Pria perlente bermata sipit, berparas oriental, dan bertubuh setinggi 175 senti yang ikut menggerakkan sekop untuk menggali lubang dalam. Siapakah pria itu? Punggungnya berkilau tertimpa sinar mentari.
“Ibun, itu siapa?” bisik Cecilia.
“Namanya Ayah Calvin. Beliau sahabat Yandamu. Sebentar lagi kamu harus ikut dengannya,” sahut Leikha serak.
Mata Cecilia membesar. Apa ibunya tak salah? Dia harus ikut dengan pria yang tak dikenal?
“Tapi, Ibun ... Ceci mau di rumah aja. Ceci mau temenin Ibun,” bantah gadis itu. Gelisah ia memilin-milin rambut coklatnya.
Rejeksi Cecilia disambuti gelengan kepala Leikha. Ia menatap putrinya tajam.
“Keluarga kita berutang budi padanya, Ceci.”
Pada saat bersamaan, pria metropolis itu berbalik. Iris kecoklatannya bertabrakan dengan sepasang mata biru Cecilia. Si mata biru mendengus dalam hati. Apa yang telah dilakukan pria itu hingga keluarga mereka berutang budi padanya? Dilihat dari tampangnya, laki-laki styllist itu senang menggunakan uang untuk mendapatkan apa pun yang dia inginkan.
“Ayo, Nak, salaman sama Ayah Calvin.”
Perlukah panggilan ‘Ayah’ itu disematkan? Dia bukan Ayahku, batin Cecilia sengit. Baginya, yang berhak dipanggil dengan sebutan untuk orang tua lelaki hanyalah Yuliet.
“Salam kenal, Pak Calvin.” Cecilia berkata kaku, menjabat tangan Calvin.
Ia pikir, Calvin akan membalasnya dengan kaku dan arogan. Asumsinya ambyar seketika ketika Calvin memberinya senyuman hangat.
“Salam kenal. Kamu Ceci, kan? Yuliet sering bercerita tentangmu.”
Cecilia mengangguk, rahangnya terkatup rapat. Laurel berbalik dari depan makam. Dia pun menyalami Calvin. Apa yang dikatakan sang kakak detik berikutnya membuat Cecilia makin ketar-ketir.
“Ceci, ikutlah ke rumah Calvin. Dia akan memerlukanmu. Kamu harus membalas kebaikannya.”

1 komentar:

  1. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    BalasHapus