Good Bye Yanda Yuliet, Wellcome Ayah Calvin
Rest in Peace
Telah berpulang Yanda tercinta, Yuliet Mueler.
Yanda Yuliet meninggal dunia pada pukul 20.10 malam.
Jenazah akan dimakamkan di Cemitiere Park pukul 09.00 pagi.
Dengan segala kerendahan hati, kami mewakili Yanda Yuliet
memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan yang telah dilakukan Yanda selama
hidupnya, baik disengaja maupun tidak disengaja.
Unggahan bernapaskan duka itu merobek hati Calvin. Layar iPad seolah berkabut. Seluruh
perhatiannya tersita oleh postingan yang diunggah akun @LaurelYuliet
“Ya, Tuhan, benarkah ini?” Calvin mendesah tak percaya.
Yuliet pergi secepat itu. Apa yang terjadi dengannya? Penyakit,
kecelakaan, atau semata takdir hidupkah yang merenggut nyawanya? Bagai racun,
kesedihan menyebar cepat ke ruang-ruang hampa di jiwa.
Ibu jari Calvin menutup aplikasi Instagram dalam hitungan
detik. Secepat kilat, ia melesat ke garasi. Bukan waktunya bertanya-tanya. Ia
harus tiba di rumah duka secepatnya.
**
Kau tinggalkan aku di saat
'Ku merasa t'lah temukan belahan jiwaku
Selamat tinggal bila kau ingin pergi
Tak mungkin lagi 'ku memaksamu di sini
Lupakan aku bila tak cinta lagi
Doakan saja 'ku mendapatkan pengganti lebih baik darimu (Rey
Mbayang-Selamat Tinggal).
**
Gadis cantik itu jatuh berlutut. Kosong matanya memandangi
peti jenazah yang tertutup rapat. Sesuai wasiat terakhirnya, Yuliet dimakamkan
tak kurang dari dua puluh empat jam sejak ia menghembuskan napas terakhir.
Pelupuk mata gadis itu lebam seperti petinju kena hantam.
Air bening mengalir tanpa henti dari kedua iris kebiruannya. Sesaat, matanya
nampak seperti kolam renang biru nan bening. Bahunya berguncang dalam isak
tanpa suara. Sepasang tangan putihnya mencengkeram erat peti kayu itu, seolah
tak rela melepasnya.
“Sudahlah, Ceci. Tolong menyingkir dari situ. Kita harus
segera memakamkan Yanda,” pinta Laurel.
Cecilia menggeleng kuat. Makin banyak embun jernih yang
menggenangi netranya.
“Nggak, nggak. Yanda nggak boleh dibawa pergi!” tolaknya
frustrasi.
Lembut tapi tegas, Laurel menuntun adiknya menjauh dari
peti. Empat lelaki kekar bergegas menggotong peti ke mobil ambulans. Cecilia
berteriak histeris melihat kotak kayu besar yang membawa jasad Yuliet melenyap
ditelan pintu mobil.
“BERHENTI! BERHENTI! JANGAN BAWA YANDA!”
“Ceci, tenanglah. Ayo kita naik. Kalau tidak, kita bisa
ditinggal.”
Kali ini Laurel menggandeng lengan Cecilia masuk ke
ambulans. Di dalam, telah duduk ibu mereka. Wanita uzur yang belum kehilangan
sisa kecantikannya itu terduduk lesu. Matanya merah dan sembap.
“Ibun ....” Cecilia menyandarkan kepala ke bahu ibunya,
terisak-isak.
Leika membelai-belai rambut putrinya tanpa bicara. Kesedihan
ini membungkam suaranya. Ibu dua anak pemilik rumah makan itu terlarut dalam
kebisuan yang panjang. Lidahnya seakan terkunci sejak dokter mengabarkan jika
Yuliet telah bergandengan mesra dengan Izrail.
Sirine meraung kencang. Lampunya menyorot galak, mengusir
kendaraan-kendaraan yang menghalangi. Perjalanan ke pemakaman berlangsung
lancar. Cecilia begitu sibuk menangis hingga tak menyadari sebuah Toyota Camry
hitam lekat membuntuti.
Seperempat jam kemudian, ambulans menepi di dekat gerbang
pemakaman. Peti jenazah diturunkan. Ekor mata Laurel menangkap kelebatan sosok
pria berjas dan berdasi hitam yang melangkah turun dari Toyota Camry.
“Biar saya bantu,” tawar pria itu lembut saat orang-orang
bersiap menurunkan peti.
Para pelayat berjalan pelan memasuki taman makam. Semuanya
diam dan hening. Masing-masing tak lupa menjaga jarak sekitar satu setengah meter.
Masker menutup mulut dan hidung mereka. Beginilah prosesi pemakaman di era
normal baru.
Jenazah dimasukkan ke liang lahat. Tanpa diduga, si pria berjas
rapi ikut menggali kubur. Ia tak peduli kegiatan itu dapat mengotori jas
mahalnya.
Di balik pantulan air mata, akhirnya Cecilia melihat pria
itu. Pria perlente bermata sipit, berparas oriental, dan bertubuh setinggi 175
senti yang ikut menggerakkan sekop untuk menggali lubang dalam. Siapakah pria
itu? Punggungnya berkilau tertimpa sinar mentari.
“Ibun, itu siapa?” bisik Cecilia.
“Namanya Ayah Calvin. Beliau sahabat Yandamu. Sebentar lagi
kamu harus ikut dengannya,” sahut Leikha serak.
Mata Cecilia membesar. Apa ibunya tak salah? Dia harus ikut
dengan pria yang tak dikenal?
“Tapi, Ibun ... Ceci mau di rumah aja. Ceci mau temenin
Ibun,” bantah gadis itu. Gelisah ia memilin-milin rambut coklatnya.
Rejeksi Cecilia disambuti gelengan kepala Leikha. Ia menatap
putrinya tajam.
“Keluarga kita berutang budi padanya, Ceci.”
Pada saat bersamaan, pria metropolis itu berbalik. Iris
kecoklatannya bertabrakan dengan sepasang mata biru Cecilia. Si mata biru
mendengus dalam hati. Apa yang telah dilakukan pria itu hingga keluarga mereka
berutang budi padanya? Dilihat dari tampangnya, laki-laki styllist itu senang menggunakan uang untuk mendapatkan apa pun yang
dia inginkan.
“Ayo, Nak, salaman sama Ayah Calvin.”
Perlukah panggilan ‘Ayah’ itu disematkan? Dia bukan Ayahku, batin Cecilia sengit.
Baginya, yang berhak dipanggil dengan sebutan untuk orang tua lelaki hanyalah
Yuliet.
“Salam kenal, Pak Calvin.” Cecilia berkata kaku, menjabat
tangan Calvin.
Ia pikir, Calvin akan membalasnya dengan kaku dan arogan. Asumsinya
ambyar seketika ketika Calvin memberinya senyuman hangat.
“Salam kenal. Kamu Ceci, kan? Yuliet sering bercerita
tentangmu.”
Cecilia mengangguk, rahangnya terkatup rapat. Laurel
berbalik dari depan makam. Dia pun menyalami Calvin. Apa yang dikatakan sang
kakak detik berikutnya membuat Cecilia makin ketar-ketir.
“Ceci, ikutlah ke rumah Calvin. Dia akan memerlukanmu. Kamu
harus membalas kebaikannya.”