**
Ayat 12
Tasbih Memeluk Salib
Membuatmu tersenyum
Walau tak pernah berbalas
Bahagiamu juga bahagiaku
Saat kau terlalu rapuh
Pundak siapa yang tersandar?
Tangan siapa yang tak melepas?
'Ku yakin aku
Bahkan saat kau memilih
Untuk meninggalkan aku
Tak pernah lelah menanti
Karena ku yakin kau akan kembali
(Fiersa-April).
Biskuit itu nyaris mematahkan giginya.
Keras sekali. Ini biskuit kesebelas percobaan Laras. Ia terus dan terus
mencoba.
Walau terlalu keras, Steven tetap
tersenyum lembut pada istrinya. Menatap Laras yang bersemangat melakukan
percobaan keduabelas. Tatapan Steven teduh penuh kasih sayang.
“Kak Steven suka?” tanya Laras penuh
harap.
“Suka sekali,” jawab Steven, mengangkat
kedua ibu jarinya.
Wajah lugu itu bercahaya. Senyum manis
terkulum. Tangan pucatnya sigap mengaduk adonan. Laras menakar bahan sekenanya.
Otaknya tak cukup lapang untuk mengingat takaran yang telah diberi tahu Steven
berkali-kali. Laras selalu mencoba puluhan kali tiap kali belajar sesuatu.
Ya, Laras memang payah dalam banyak hal.
Itu bukan salahnya. Takdir menyusun struktur kimiawi sel otak Laras berbeda
dengan kebanyakan manusia normal.
Pedulikah Steven dengan fakta itu?
Tidak. Angka-angka IQ Laras tak sebanding dengan besarnya cinta Steven
untuknya. Steven mencintai Laras tanpa syarat apa pun. Ditatapnya lekat wanita
pendamping hidupnya. Wanita yang pernah menjadi adik angkatnya, wanita yang
membersamainya sejak kecil, sepanjang tahun, dari pagi hingga malam.
“Laras Zita Hiang, aku mencintaimu.”
**
“Ayah, aku ingin tidur di pelukan Ayah
malam ini.”
Kamar tidur utama temaram. Ruangan luas
itu hanya diterangi dua lampu tidur. Berbeda dengan kamar Nata, lantai
berkeramik abu-abunya tak dilapisi karpet. Pendingin udara menyala, begitu juga
televisi. Musik mengalun lembut.
“Sini, Sayangku.” Sambut Calvin.
Menggendong Nata ke ranjang queen size, lalu memeluknya.
Berapa pun umur Nata, bagi Calvin gadis
itu adalah baby girlnya. Pria orientalis itu melingkarkan lengan, mengunci
tubuh Nata dalam kenyamanan. Wangi Blue Seduction Antonio Banderas berpadu
dengan wangi Escada Moon Sparkel.
Sudah hampir pukul sebelas malam. Namun,
Nata dan Calvin tak terlelap juga. Mereka malah mengobrol. Bicara dari hati ke
hati.
Lagi-lagi virus Louissa bagai dua mata
pisau. Satu sisi virus ini melemahkan kegiatan ekonomi dan menimbulkan ancaman
lockdown sebagai kemungkinan terburuk. Di sisi lain, virus ini mendekatkan
kembali orang-orang yang lama merenggang karena kesibukan.
Tak jemu Calvin menikmati keindahan mata
biru putri angkatnya. Mata biru yang teduh. Nata cantik, sangat cantik. Pada
saat yang sama, Nata menatap lurus ke dalam mata sipit Calvin. Matanya bergerak
naik, mengagumi ketampanan sang ayah. Ketampanan Calvin Wan belum pudar meski
tahun ini usianya menginjak angka 48.
Ketakjuban Nata buyar. Dia lihat hidung
Calvin berdarah. Cairan merah segar mengalir dari hidung pria tanpa istri itu.
“Ya ampun Ayah mimisan...” desis Nata.
Raut wajah itu tetap tenang. Jangan
harap menemukan kepanikan di sana. Calvin bangkit duduk, mengambil tissue, dan
menyeka darahnya.
“Ayah, Ayah kenapa?” Kekhawatiran
menerkam hati gadis itu. Ia pernah beberapa kali melihat Calvin mimisan.
Perasaan khawatir yang lebih besar mencengkeram jiwa.
“Ayah, aku panggilkan Daddy Martino dan
Papa Steven ya...”
Sepasang tangan menahan gerakannya.
Dengan lembut, Calvin mendorong kepala Nata bersandar di dadanya. Diciuminya
rambut dan kening putri satu-satunya. Diisyaratkannya pada Nata kalau Calvin
hanya ingin dirinya. Saat ini, Calvin tak butuh siapa pun kecuali Nata.
**
Hari terburuk dalam hidup Martino adalah
saat dia terpisah dengan Elsy. Setelah prahara itu berlalu, dia berharap takkan
ada hari lain yang paling buruk. Ekspektasi dikurangi realita hanya
menghasilkan kekecewaan dalam rumus psikologi.
Realitanya, Martino kembali dihadapkan
pada hari buruk. Hari ini tepatnya, ketika Elsy tergesa-gesa mendatanginya di
pinggir kolam renang sambil berkata,
“Tino, Garry sakit.”
Martino menengadah menatap istrinya.
Tidakkah Elsy salah informasi? Kata Garry dan sakit nampak ganjil bila disandingkan.
Garry, putra angkatnya yang berambut semerah darah itu, jarang sekali sakit.
Tanpa bicara, Martino meraih tangan
Elsy. Melangkah setengah berlari ke kamar putra mereka.
Garry demam tinggi. Separo tubuhnya
tersembunyi di balik selimut tebal. Kulitnya yang memang kelewat putih, kini
memucat serupa perkamen.
“Garry, apa yang terjadi padamu? Kenapa
bisa begini, Sayang?” Martino naik ke kaki ranjang, menempelkan tangan di
kening komikus muda itu.
Rumah besar geger. Para penghuninya
tumpah ke kamar Garry. Kepanikan menebar. Hunian termewah milik Calvin, bekas
rumah retret itu, tak lagi damai. Mereka bersembilan dicekam ketakutan.
Gejala awal yang ditampakkan Garry mirip
gejala virus Louissa. Dokter dipanggil. Serangkaian tes dilakukan. Mudah bagi
Calvin mendatangkan petugas kesehatan beserta alat medisnya.
Hasil rapid test, serum darah, dan PCR
sungguh mengejutkan. Apa yang ditakutkan terjadi. Garry terinfeksi virus
Louissa.
Mereka terpukul, amat terpukul.
Semaksimal mungkin mereka menghindari kegiatan massal dan keluar rumah.
Ternyata ada di antara mereka yang terinfeksi. Martino dan Elsy yang paling
terguncang atas kenyataan ini.
“Ayah...Ayah harus sehat! Ayah jangan
sakit seperti Garry!”
Persetan dengan sikap anggun nan cantik.
Lihatlah, Nata menangis keras-keras. Menjatuhkan diri di pelukan Calvin.
Laras, yang tak tahu apa-apa, hanya
menggenggam tangan Steven erat. Yuke dan Yune shock. Tak menyangka teman baik
mereka terinfeksi virus Louissa.
“Tuhan, pulihkan Garry.” Yune membuat
tanda salib. Lirih menggumamkan doa.
Tanpa sadar, Yuke mencengkeram tasbih
yang terselip di saku bajunya. Memohon perlindungan Allah.
Elsy tersedu. Martino melupakan segala
aturan dan social distancing. Dia peluk anak semata wayangnya erat. Steven dan
Calvin bertindak bijaksana. Mereka menenangkan anak-anak yang terpukul.
Kondisi Garry melemah. Virus Louissa
mengalami perburukan dengan cepat. 80% kasus ini ringan. Mengapa virus ini
harus mengganas di tubuh Garry?
“Tidak, Daddy.” Garry menolak dengan
suara melemah saat Martino akan membawanya ke rumah sakit.
“Ini langkah terbaik, Sayang. Kamu harus
dirawat di rumah sakit.” Bujuk Martino sabar.
Dua permata hijau jernih milik Garry
menatap nanar Daddynya. “Tidak semua pasien yang terinfeksi harus dirawat di
rumah sakit. Untuk apa memenuhi rumah sakit, Daddy? Isolasi mandiri di sini
bukankah bisa?”
Ingin Martino mendebat lagi, namun
pandangan lembut Elsy menahannya. Calvin menengahi. Garry tetap bisa dirawat di
rumah karena dialah yang akan mendatangkan tim medis beserta peralatannya.
Di antara tiga sahabat itu, ayah angkat
Natalah yang paling berada. Reputasi Calvin sebagai pengusaha memudahkannya
mengakses sejumlah fasilitas first class. Garry segera mendapat penanganan
terbaik.
Sulit sekali untuk mematuhi anjuran
isolasi. Berkali-kali Yuke, Yune, dan Nata ingin berada satu ruangan dengan
Garry. Steven susah payah menjauhkan istrinya dari kamar Garry. Nata dan Calvin
pada akhirnya hanya bisa menatap pemuda tampan berambut merah itu dari balik
kaca. Martino? Kasih sayangnya pada si rambut merah jauh lebih besar dari
ketakutan akan virus Louissa. Elsy sama saja. Beruntungnya Garry diadopsi orang
tua super penyayang.
Putra peneliti dan pendeta itu tak
kunjung membaik. Tim dokter mencoba berbagai langkah medis untuk menyembuhkan
Garry. Virus itu jahat menggerogoti tubuhnya. Hingga membuatnya kehilangan
banyak darah di hari keempat.
Garry butuh transfusi darah. Perasaan
tak berguna menggumpal di dada Elsy. Golongan darahnya berbeda. Calvin? Pria
kelahiran 9 Desember itu tak mungkin memberikan darahnya pada Garry. Nata, si
kembar Yuke-Yune, Steven, dan Laras sama saja. Martino putus asa. Hampir saja
ia mengontak ayah kandung Garry jika tak dicegah sang anak.
“Aku tidak mau dia datang. Ayahku hanya
satu, ayahku hanya Daddy Martino.”
Ujaran anak itu membuat Martino trenyuh.
Segitu sayangnya Garry padanya. Hingga tak ada yang bisa menggantikan Martino.
Termasuk Aryo yang telah menyia-nyiakannya selama hampir dua puluh tahun.
Masih tersisa bintik cerah di kaki
langit. Di luar dugaan, Martino dan Garry memiliki golongan darah yang sama.
Warna rambut mereka boleh berbeda. Ikatan genetik boleh tak serupa. Namun, ayah
dan anak itu sama eratnya seperti ayah dan anak yang terikat darah.
“Kau benar-benar anakku, Garry. Lihat
Sayang, bahkan golongan darah kita sama.” Martino berujar lirih, memeluk dan
menciumi wajah anaknya.
Mata Elsy berkaca-kaca. Pengorbanan,
kali kedua dia melihat suaminya berkorban untuk orang yang dia cintai.
Pengorbanan berbeda dengan kompromi. Ada hal besar yang diberikan, bukan
sekedar mengalah atau menyisihkan waktu. Benak Elsy memutar ingatan. Bagai rol
film, sebuah kenangan terputar.
**
13 Mei, hari itu takkan pernah terlupa.
Tanggal itu pernah merekam peristiwa berdarah yang menjadi trauma kolektif bagi
komunitas bermata segaris dan berkulit putih. Tapi itu dulu. 20 tahun berlalu,
ada peristiwa berdarah lain di tanggal yang sama.
Martino membangunkan Elsy. Membelai
lembut rambutnya. Dengan satu elusan, Elsy terbangun. Tersadar kalau ini hari
Minggu.
Minggu pagi, saatnya Martino mendampingi
Elsy. Berdua mereka berjalan dengan tangan bertautan menuju mobil. SUV merah
itu meluncur di ruas jalan yang masih lengang.
“Tino, are you ok?” tanya Elsy.
Intuisinya membisikkan bila ada yang berbeda dengan pria pendamping hidupnya.
“I’m good,” jawab Martino,
berkonsentrasi pada jalanan yang dilewatinya.
Ada yang berbeda, Elsy membatin. Martino
tampak resah. Dia bahkan tak bisa menyembunyikan pancaran kekhawatiran di
matanya.
Mobil menepi di kompleks gereja. Tiga
gereja menjulang indah dilatarbelakangi siluet matahari terbit: satu gereja
Katolik, satu gereja Protestan, dan satu gereja Pantekosta. Martino dan Elsy
bergandengan tangan memasuki salah satunya. Mereka tersenyum ramah dan
menyalami para jemaat. Umat gereja ini kenal baik dengan Martino dan Elsy,
begitu pun tahu kisah cinta mereka yang melampaui tembok pembeda.
Ibadah Minggu pagi ini bertemakan “Roh
Kudus dicurahkan bagi pembaharuan hidup”. Setelah saat teduh, jemaat dipanggil
beribadah dan mereka berdiri. Martino mendampingi Elsy, lekat memperhatikan
wanita yang dicintainya memimpin prosesi.
“Datanglah roh kudus...”
“Masukilah keheningan kami.”
Seisi gereja khidmat. Martino
mengedarkan pandang ke sekeliling. Mengamati jemaat yang begitu khusyuk.
“Datanglah roh kudus.”
“Masukilah kerinduan kami.”
“Datanglah roh kudus.”
“Sahabat dan kekasih kami.”
Ia hanya mendampingi, tidak mengikuti.
Perannya sampai di sini. Tujuannya bukan untuk ikut mengimani, hanya
menunjukkan bukti cintanya pada Elsy. Bukti jika Martino mencintai semua
tentang Elsy.
“Suburkanlah gurun hati kami.”
“Sembuhkanlah luka hati kami.”
“Datanglah roh kudus...”
Duar!
Kekhusyukan berantakan. Jemaat
terlempar. Kursi-kursi terbalik. Lantai gereja bergetar hebat.
“Elsy...”
“Tino...”
Mereka saling mencari. Tangan mereka
menggapai-gapai satu sama lain. Di antara kepulan debu dan benda-benda yang
berserakan, Elsy menemukan tangan Martino. Tangan mereka saling genggam, erat
sekali.
Siapa pembuat ledakan bom ini? Siapa
orang jahat yang begitu tega meledakkan rumah Tuhan saat semua orang di dalamnya
tengah beribadah? Kejahatan seakan belum puas melahap gereja itu.
“Elsy, awas!”
Datang ledakan kedua. Lebih dahsyat dari
yang pertama. Gereja dipenuhi teriakan kesakitan. Kedamaian pagi di hari Minggu
robek oleh peristiwa terorisme.
Tangan-tangan Tuhan melindungi. Hanya
sedikit luka goresan di wajah cantiknya. Elsy menoleh ke samping, ke tempat
semula dia berdiri.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Martino
terkulai di lengan Elsy. Bukan itu yang mengejutkan. Melainkan pecahan-pecahan
kaca yang menghujam punggungnya.
“Aku...” Martino terbatuk di sela
ucapannya.
“Aku senang kamu tidak apa-apa, Elsy.”
Martino terbatuk lagi. Darah segar
menyembur ke bagian depan jas hitamnya.
**
Habataitara modoranai to itte
Mezashita no wa aoi aoi ano sora
Kanashimi wa mada oboerarezu
Setsunasa wa ima tsukami hajimeta
Anata e to idaku kono kanjou mo
Ima kotoba ni kawatteku
Michinaru sekai no yume kara mezamete
Kono hane wo hiroge tobidatsu
Habataitara modorenai to itte
Mezashita no wa shiroi shiroi ano kumo
Tsuki nuketara mitsukaru to shitte
Furikiru hodo aoi aoi ano sora
Aoi aoi ano sora
Aoi aoi ano sora
Aisou tsukita you na oto de
Sabireta furui mado wa kowareta
Miakita kago wa hora soteteiku
Furikaeru koto wa mou nai
Takanaru kodou ni kokyuu wo azukete
Kono mado wo kette tobitatsu
Kakedashitara te ni dekiru to itte
Izanau no wa tooi tooi ano koe
Mabushi sugita anata no te mo nigitte
Motomeru hodo aoi aoi ano sora
Ochite iku to wakatteita
Soredemo hikari wo oi tsuduketeiku yo
Jika dapat terbang maka kau takkan
kembali
Dan tujuanmu adalah langit, langit yang
biru itu
Kau masih belum mengenal arti kesedihan
Sekarang coba rasakanlah kepedihan itu
Perasaan yang ingin kusampaikan padamu
Kini kuungkapkan dengan kata-kata
Ketika kau terbangun dari mimpi dunia
yang lain
Kembangkanlah sayap itu dan pergi jauh
Jika dapat terbang maka kau takkan
kembali
Dan tujuanmu adalah awan yang, awan yang
putih itu
Jika kau berhasil maka kau akan
menemukannya
Terus terbang tinggi di langit, langit
yang biru itu
Di langit, langit yang biru itu
Di langit, langit yang biru itu
Dengan suara bagaikan tanpa kelembutan
Jendela tua yang berkarat itu telah
hancur
Lihatlah, kau pun muak di kurungan itu
Kau ingin pergi tanpa menoleh ke
belakang
Denyut yang berdebar membawa pergi
nafasmu
Kau pun menerjang jendela dan pergi jauhJika
dapat berlari maka kau akan mendapatkannya
Yang kauinginkan adalah suara yang,
suara yang jauh itu
Begitu menyilaukan, tanganmu pun mencoba
meraihnya
Hingga dapat tiba di langit, langit yang
biru itu
Aku tahu bahwa kau akan jatuh
Namun tetaplah mengikuti arah cahaya itu
(Ikimono Gakari-Bluebird).
Elsy mengenal arti kesedihan. Kesedihan
adalah ketika ia mendampingi Martino selama proses pengeluaran pecahan kaca
itu. Kesedihan tercipta di kala ia bermimpi buruk dan mendengar Martino takkan
kembali lagi.
Hancur. Hati Elsy sama hancurnya seperti
pecahan kaca yang dikeluarkan dari punggung prianya. Martino terluka karena
menyelamatkan Elsy.
“Elsy...” erang Martino, tubuhnya serasa
dijejali busa panas yang lembut dan empuk.
Kian lama, busa panas berubah menjadi
tusukan menyakitkan. Belasan jarum besar serasa menusuk-nusuk punggungnya.
Sakit, sakitnya tak tertahankan.
Bertahanlah, bisik hati kecil Elsy
berulang-ulang. Bertahanlah demi aku, batinnya perih, memohon. Bertahanlah
seperti kau menyelamatkanku waktu itu.
Itu menyakitkan, sangat menyakitkan.
Sesaat Martino ingin menyerah saja. Ingin mencukupkan saja deritanya sampai di
sini. Tapi...
“Tapi ini hanya mimpi, kan? Tino, saat
menungguimu aku tertidur dan bermimpi buruk. Kau bilang kau akan pergi jauh dan
takkan kembali.”
Genggaman tangan ini, isak tangis ini,
hangat yang mengalir di tangannya...ah, tidak. Tidak boleh berakhir.
Tirai hitam yang menutup pandangan
matanya perlahan tersingkap. Martino tahu jika dia membuka mata, hanya kesakitan
yang akan terasa. Namun itu lebih baik, sungguh lebih baik selama ia bersama
Elsy.
Rasa sakit menjalar, dari punggung ke
dada. Ia akan menahan sakit ini demi belahan jiwanya. Ia tak boleh menyerah,
tak boleh.
Martino merasakan tangannya basah. Bukan
darah, tapi air mata. Air mata wanitanya. Oh tidak, jangan. Air mata itu tidak
boleh tumpah karena dia.
“Sudah berlalu.”
Rasanya ia dapat mendengar bisikan
seseorang. Apanya yang sudah berlalu?
“Tino, kau tidak akan pergi, kan?
Jangan...jangan pergi.”
Tidak akan ada yang pergi. Martino tidak
meninggalkan. Pun demikian dengan Elsy. Elsy untuk Martino, Martino untuk Elsy.