Ini semua berkat kekaguman saya pada Naruto. Apa lagi paire favorit saya, Gaara-Hinata. Happy reading.
Eyes
Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Langit kota Tokyo sempurna tertutup awan
hitam. Bukan hanya awan yang menyelimuti, hujanpun ikut turun di seantero kota.
Cuaca yang muram nan sendu di ibu kota negara tersebut.
Langit kelabu diikuti derasnya sang hujan
representatif sekali dengan suasana di pemakaman ini. Hari ini, tepat tanggal
19 Januari, keluarga Sabaku yang terkenal kaya, terhormat, dan terpandang,
kehilangan salah satu anggotanya. Ya, kini Sabaku Karura telah pergi.
Meninggalkan suaminya, Sabaku Rei, beserta ketiga buah hati mereka dalam duka.
Prosesi pemakaman berlangsung khidmat.
Sabaku Rei nampak tegar. Temari dan Kankurou berusaha mengikuti sikap ayah
mereka. Justru si bungsu yang tidak bisa menerima kepergian sang ibu.
Tanpa diduga, usai pemakaman, si bungsu
berambut merah dan bermata Aquamarine itu menghambur ke sisi nisan. Memeluk
erat nisan yang mengukirkan nama Sabaku Karura. Menangis seraya mengeratkan
pelukkannya pada nisan pualam. Terenyuh hati Temari, Kankurou, dan Sabaku Rei
melihatnya.
“Sudahlah Gaara-kun, ayo kita pulang...”
ajak Temari lembut. Berlutut di sisi adiknya. Membelai rambut kanak-kanak
berusia tujuh tahun itu.
“Gaara ingin tetap di sini...menemani
Ibu.” Lirihnya tanpa menatap Temari.
Sabaku Rei dan Kankurou tak tinggal
diam. Merekapun berlutut di kanan-kiri Gaara. Perlahan Sabaku Rei berucap.
“Pulanglah bersama Ayah, Nak. Cuaca sedingin ini tak baik untukmu. Ingat pesan
Ibu sebelum meninggal? Ibu ingin...”
“Tidak! Ibu belum meninggal! Kalian
semua mengubur jenazah yang salah!”
Tanpa diduga, Gaara berseru marah.
Menatap murka ayah dan kedua kakaknya. Bernafas cepat di tengah deraan emosi.
“Ibu pasti masih hidup! Ibu tak mungkin
meninggalkan Gaara sendirian! Ibu...”
Sesaat Gaara kehilangan kata-kata.
Helaan nafasnya semakin tak terkendali. Ekspresi kemarahan di wajahnya sontak
bertransformasi menjadi kesakitan. Sedetik kemudian kedua tangan Gaara
mencengkeram kuat dada kirinya, tepat di jantungnya.
“Astaga! Ayo kita ke rumah sakit,
Gaara!” Kata Kankurou panik. Bergegas menggendong tubuh adik semata wayangnya.
Pada saat bersamaan, Gaara terjatuh pingsan tepat di pelukan Kankurou.
**
“Sudah saya katakan, satu-satunya jalan
hanyalah transplantasi jantung.” Dr. Kabuto menjelaskan dengan sabar.
Sabaku Rei menghela nafas pasrah.
Menatap sosok putra bungsunya yang terbaring lemah di atas ranjang. Kankurou
memalingkan pandang, tak sampai hati melihat kondisi Gaara. Sementara itu,
Temari menangis. Menggenggam lembut tangan Gaara yang dipasangi jarum infus.
“Bukankah Anda tahu, mencari donor
jantung sangatlah susah? Kalaupun cocok dengan jantung Gaara, belum tentu sang
pendonor mau karena ini erat kaitannya dengan nyawa.” Sabaku Rei menanggapi
penjelasan Dr. Kabuto. Ada nada putus asa dalam suaranya.
“Saya mengerti. Untuk itulah saya akan
membantu mencarikan donor jantung semaksimal mungkin. Sementara Gaara harus
menjalani perawatan intensif di rumah sakit agar lebih mudah memonitor
kondisinya.”
Setelah mendapat persetujuan Sabaku Rei,
dokter muda berambut abu-abu itu mohon diri. Memberikan privacy bagi keluarga
Sabaku yang tengah dirundung cobaan bertubi-tubi.
Tak lama, Gaara tersadar. Lirih
memanggil nama Karura. Pilu hati mereka mendengarnya. Susah payah Temari,
Kankurou, dan Sabaku Rei menjelaskan tentang Karura. Mau dikatakan apa lagi,
Gaara harus menerima realita pahit kepergian ibundanya.
“Kenapa Ibu meninggalkan kita semua?
Kenapa juga Ibu meninggalkan penyakit ini untuk Gaara?” Tanya kanak-kanak itu
entah pada siapa.
“Apa Kami-sama tidak suka melihat aku
bahagia?”
“Gaara, anakku, jangan berkata begitu.
Kami-sama justru sayang sekali sama Gaara, juga menyayangi kita semua. Cobaan
ini adalah bukti cinta Kami-sama untuk kita.” Sabaku Rei mencoba memberi
pengertian pada putra bungsunya.
Sekilas diliriknya Temari dan Kankurou.
Bermaksud meminta bantuan. Kakak-beradik itu saling berbisik beberapa saat,
lalu menemukan ide cemerlang.
“Gaara, hujan sudah berhenti. Bagaimana
kalau kita ke taman rumah sakit?” Ajak Temari riang. “Temari, kau ini...”
Sabaku Rei hendak memprotes. Meski demikian,
tatapan Temari dan Kankurou bagai menghipnotisnya untuk berhenti melontarkan
komplain.
“Ayo kita ke taman! Temari-nee dan
Kankurou-nii mau menemaniku, kan?” Sambut Gaara excited. “Tentu.”
Pelan-pelan Kankurou menuntun Gaara
bangun dari tempat tidur. Temari membantu membawakan tiang infus. Ketiganya
berpamitan pada Sabaku Rei, kemudian meninggalkan ruang perawatan.
**
Ayunan ini menjadi permainan favorit
Gaara saat diwajibkan menjalani perawatan di rumah sakit. Perawatan intensif
berikut rasa sakit sempurna menstimulasi berbagai perasaan tidak menyenangkan.
Setiap kali deraan emosi datang, hal pertama yang Gaara lakukan ialah
menyendiri ke taman rumah sakit dan bermain ayunan sepuasnya. Sering kali
tindakannya ini menuai kepanikan keluarga Sabaku. Mereka menduga Gaara berniat
kabur dari rumah sakit.
Dan di sinilah Gaara kini berada.
Bermain ayunan, sementara Temari dan Kankurou bergantian mendorongnya sambil
menceritakan kisah-kisah lucu. Berharap Gaara bisa menemukan kembali
keceriaannya lewat sejumlah kisah yang mereka ceritakan. Akan tetapi usaha
mereka nihil. Wajah imut yang sebenarnya menawan itu tetap datar tanpa
ekspresi. Sepasang matanya yang didominasi lingkaran hitam tetap dingin tanpa
sorot kehangatan ataupun keceriaan.
“Gaara, berhentilah bersikap begini.”
Akhirnya Temari tak bisa menahan diri lagi. Miris hatinya menyaksikan sang adik
terjerumus dalam lembah kesedihan.
“Temari-nee, Kankurou-nii, seharusnya
kalian yang berhenti menghiburku! Kalian tak tahu bagaimana perasaanku!” Sahut
Gaara frustasi.
“Justru kami sangat paham.” Bantah
Kankurou. Membelai halus dagu adiknya dengan telunjuknya.
Gaara tak suka diperlakukan begitu.
Dikibaskannya tangan Kankurou, membuat si pemilik tangan terperangah. “Pergi!
Aku ingin sendiri!”
Terperangkap dilema, Temari dan Kankurou
memutuskan meninggalkan Gaara. Bila mereka tetap di sana, emosi Gaara akan
memuncak dan berakibat fatal pada jantungnya. Namun mereka tidak pergi terlalu
jauh. Setidaknya mereka ingin mengawasi anak laki-laki berambut merah itu demi menghindari
risiko-risiko yang lebih buruk.
Gaara leluasa meluapkan frustasi dan
dukanya. Beruntung saat itu taman rumah sakit sepi, sehingga ia tak perlu
waswas mengganggu ketenangan pasien maupun pengguna rumah sakit lain. Dalam
kesendiriannya, tiba-tiba Gaara dikejutkan oleh sepasang tangan halus yang
memegang tiang ayunan. Pemilik tangan itu terkejut, buru-buru menarik tangannya
dari tiang besi ayunan yang sedang dipegangi Gaara.
“A-ano...kukira ayunan ini kosong
seperti hari kemarin.”
Demi mendengar suara lembut itu, Gaara
mengangkat wajah. Tatapannya tertumbuk pada figur gadis kecil berambut indigo
dan bermata lavender pucat. Ia mengenakan pakaian rumah sakit, hanya saja tidak
ada peralatan medis menempel di tubuhnya.
“Memangnya kau tidak melihat kehadiranku
tadi? Ceroboh!” Gaara memaki, menatap tajam mata sang gadis.
Detik berikutnya ia dilanda keheranan.
Mata lavender itu memang teduh bercahaya, namun tatapannya kosong. Gadis itu
sama sekali tak membalas tatapan Gaara. Mungkinkah...?
“Kau...kau buta?” Tanya Gaara to the
point.
Tiga detik. Lima detik. Tujuh detik.
Anak perempuan itu mulai menangis. Tak menyangka anak lelaki di depannya
berkata setajam itu.
Entah mengapa, Gaara dirasuki rasa
bersalah. Dia sendiri tidak mengerti mengapa harus menyesali perbuatannya.
Bukankah selama ini Gaara dikenal dingin dan apatis? Inikah bentuk naluri
kemanusiaannya? Atau, adakah hal khusus dalam diri gadis kecil itu hingga Gaara
merasa demikian menyesal?
Sebelum mereka bisa berbuat apapun lagi,
sepasang pria dan wanita mendekat. Andai Gaara tahu, merekalah Hyuuga Hiashi
dan Hyuuga Hikaru, kedua orang tua gadis malang yang baru saja disakitinya.
“Hinata, kenapa kau menangis? Ayo
kembali ke kamar, Suster Shizune menunggumu. Katanya kau akan dilatih membaca
huruf Braille.”
Perkataan Hiashi membuat penyesalan
Gaara kian tajam menusuk hatinya. Ya Tuhan, ia baru saja menyakiti gadis
innocent. Kasihan Hinata, tak seharusnya ia menjadi tumpahan kekesalan Gaara.
“Ah, kau pasti kaget ya, Nak? Maafkan
Hinata ya, dia memang sering menangis sejak kecelakaan itu merenggut
penglihatannya.” Hikaru berpaling pada Gaara dan tersenyum lembut. “Saya...”
“Jangan khawatir, kini biar kami yang
mengurus Hinata.”
Oh, andai mereka tahu bahwa Gaaralah
penyebab Hinata meneteskan air mata. Dalam hati, Gaara membulatkan tekad untuk
meminta maaf. Apapun caranya, ia harus minta maaf.
**
Gaara menatap muram langit-langit kamar
rawatnya. Hingga hari berganti, ia masih bingung bagaimana cara meminta maaf
pada Hinata. Begitu tenggelam ia pada pikirannya sampai-sampai kedatangan
Temari dan Kankurou luput dari perhatiannya.
Pintu ruangan bergeser terbuka begitu
saja. Temari dan Kankurou melangkah gembira menerobos ambang pintu. Senyum
menghiasi wajah rupawan mereka.
“Morning Gaara! Coba tebak apa yang kami
bawakan untukmu?” tukas Temari ceria.
Gaara tak bergeming. Ia bahkan nyaris
tak memperhatikan ucapan kakak sulungnya. Kankurou yang menyadari sesuatu,
buru-buru mendekat. Naik ke kaki ranjang, duduk di atasnya. Mengusap pelan
rambut merah adik tercintanya.
“Are you ok, Gaara?” tanyanya hati-hati.
Melihat itu, senyuman Temari memudar.
Diletakkannya kotak berisi cup cake buatannya sendiri. Sejurus kemudian
bergabung dengan Kankurou di kaki tempat tidur.
“Iya, kau sepertinya tidak bahagia. Ada
apa?”
Hening. Kemarin Gaara telah menceritakan
kesalahannya pada Hinata. Temari dan Kankurou membenarkan niatnya yang ingin
meminta maaf. Tidakkah kini kedua kakaknya mengerti apa yang tengah ia
risaukan?
“Apa kau masih memikirkan Hinata?”
Seketika, seakan mampu membaca pikirannya, Temari kembali bertanya.
“Ya. Aku tak tahu bagaimana cara...”
Gaara menggantung kata-katanya begitu
saja. Mendadak tatapannya terfokus pada kotak cup cake yang diletakkan Temari.
Terlintas ide brilian di benaknya.
“Aku sudah tahu.” Dengan sepotong
kalimat ambigu itu, Gaara susah payah bangkit dari ranjang. Otomatis Temari dan
Kankurou membantunya. Bertanya cemas, menawarkan diri menemani Gaara. Namun
kanak-kanak berpipi chubby itu menolak. Ia ingin pergi sendiri.
Dua menit berselang, pintu ruang rawat
kembali menutup. Menyisakan Temari dan Kankurou di baliknya.
“Kankurou, bagaimana kalau dia
kenapa-napa? Sungguh, aku tak ingin kehilangan siapapun lagi.” desah Temari
kalut.
Kankurou menepuk-nepuk lembut pundak
kakaknya. Berbisik menenangkan. Meyakinkan segalanya baik-baik saja.
**
Sepasang mata aquamarine itu menatapi
sekeliling taman rumah sakit. Mencari-cari dara mungil nan jelita berambut
indigo dan bermata lavender. Dimanakah gerangan ia berada?
Lama Gaara mencari, akhirnya ia
menemukannya. Itu dia, tengah bermain ayunan dengan gembira. Ayunan yang sama.
Pelan-pelan Gaara mendekat. Terlihat Hinata kesulitan mendorong ayunannya
sendiri. Saat yang tepat.
“Ohayo, maukah kubantu mendorong
ayunanmu?” sapa Gaara ramah. Menyentuh lembut lengan Hinata.
“Ohayo. Kau...kau yang kemarin berada di
sini, kan?” balas Hinata, tak dapat menyembunyikan kegugupannya.
Gaara tersenyum walaupun Hinata tak
dapat melihatnya. “Ya, aku ke sini untuk minta maaf. Maafkan aku ya? Tak
seharusnya aku bersikap seperti itu padamu.”
Hinata menangkap nada persahabatan dalam
ucapan Gaara. Ia juga tersenyum, lalu berujar. “Tak apa-apa. Semuanya sudah
berakhir. Sekarang kita sahabat!”
“Ya, sekarang kita sahabat. Karena kau
sahabatku Hinata, aku ingin berbagi denganmu.” Gaara membuka kotak yang
dibawanya. Menuntun tangan Hinata, membiarkannya memilih sendiri cup cake yang
tersusun rapi di dalamnya.
Kedua mata lavender Hinata membulat
sempurna. Senyumnya kembali merekah. Gaara menatapnya lekat-lekat. Ya Tuhan,
Hinata nampak begitu cantik dan memesona saat ia bahagia. Paras innocent-nya
serasa menyentuh hati Gaara.
Merekapun makan cup cake bersama. Hinata
tak hentinya memuji kelezatan cup cake buatan Temari. Atmosfer kehangatan
tercipta di antara keduanya.
“Gaara?”
“Ya?”
Sesaat Hinata ragu. Ia ingin menanyakan
sesuatu, tetapi takut menyakiti perasaan sahabat barunya.
Gaara menggenggam lembut tangan Hinata.
Menciptakan desir halus di hati gadis kecil itu. Memintanya secara non-verbal
untuk bicara.
“Kau...kau sakit apa sehingga harus dirawat
di sini?”
“Aku mengidap kelainan jantung. Penyakit
serupa yang merenggut nyawa ibuku.” Tak disangka, Gaara bersedia membuka diri
untuk Hinata.
“Gomen,” Hinata berkata sedih, dan ia
benar-benar menyesal.
“Tak masalah. Wajar jika kau ingin
tahu.” Jawab Gaara menenteramkan. “Kau sendiri, kenapa bisa berada di sini?”
“Aku mengalami kecelakaan. Kecelakaan
itu membuatku tak bisa melihat. Kata dokter, aku harus mendapatkan donor mata.”
Gaara terenyak. Ternyata dirinya dan
Hinata memiliki kesamaan. Mereka membutuhkan donor organ agar bisa hidup
normal.
**
Selama beberapa hari berikutnya, Gaara
semakin dekat dengan Hinata. Taman rumah sakit menjadi tempat favorit mereka
melewatkan waktu bersama. Meski demikian, tak jarang Gaara dan Hinata saling
berkunjung ke ruang rawat satu sama lain. Gaara menemani Hinata belajar huruf
Braille. Sebaliknya, Hinata mendampingi Gaara saat melakukan check up.
Lambat-laun, keluarga merekapun saling
mengenal. Temari dan Kankurou mengenal Neji dan Hanabi, adik serta sepupu Hinata.
Begitupun Sabaku Rei. Ia mengenal baik Hiashi dan Hikaru.
Hari ini Gaara kembali menemani Hinata
belajar huruf Braille. Buku-buku dan alat tulis bertebaran di sofa. Hiashi dan
Hikaru mengajarkan Hinata dengan sabar. Sementara Gaara mulai tertarik, ia berusaha
mempelajarinya sendiri.
“Kemajuanmu bagus sekali, Hinata. Kau
sudah bisa menulis dan membaca sekarang.” Hikaru memberi komplimennya. Mencium
kening Hinata penuh kasih.
“Nanti Ayah belikan buku-buku yang
kausuka, ya? Agar kau bisa membaca sendiri,” timpal Hiashi.
“Terima kasih Ayah, Ibu...” Hinata tersenyum
riang. Akhirnya ia bisa membaca dan menulis lagi.
Sejurus kemudian Hiashi dan Hikaru mengalihkan
tatapan pada Gaara yang begitu fokus menghafalkan simbol-simbol huruf Braille.
Mencoba menuliskannya satu per satu pada selembar kertas. Belum pernah mereka
menyaksikan Gaara sebegitu antusias mempelajari sesuatu.
“Gaara, kau memiliki semangat yang sama
dengan Hinata.” Komentar Hiashi.
“Dan kau sama pintarnya dengan Hinata.”
Puji Hikaru.
Tanpa terduga, sebuah suara sopran
berseru dari ambang jendela. “Hinata-nee beruntung punya sahabat seperti
Gaara-nii! Kuharap kalian menikah nanti, jadi aku punya kakak ipar yang
istimewaaa!”
Siapa lagi pembuat kekacauan itu kalau
bukan Hanabi? Hikaru dan Hiashi tertawa, sementara wajah Hinata merona. Hanya
Gaara yang tetap tenang. Ia mahir sekali menyembunyikan perasaannya.
Selesai membantu Hinata belajar huruf
Braille, Hiashi dan Hikaru minta diri. Mereka berencana kembali ke kediaman
Hyuuga sebentar. Sementara Gaara tetap menemani Hinata.
“Gaara, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Hinata membuka pembicaraan.
“Tentu. Tanyakan saja.”
“Senangkah kau bila telah mendapatkan
donor jantung?”
“Pasti. Dengan begitu aku bisa
bersekolah, bermain, dan bertemu teman-temanku yang lain. Aku juga bisa hidup
lebih lama untuk memenuhi wasiat terakhir Ibu.”
“Memangnya, apa wasiat terakhir ibumu?”
“Ibuku ingin agar aku menjadi dokter. Kata Ibu, dokter itu pekerjaan yang
mulia. Di tangan dokterlah kehidupan berawal, di tangan mereka pulalah rasa
sakit berakhir.”
Hinata terpana mendengar penjelasan
Gaara. Sesungguhnya ia mempunyai cita-cita identik dengan anak laki-laki di
hadapannya ini. Namun bisakah ekspektasi itu terealisasi bila donor mata tak
kunjung didapatkannya?
“Gaara, ternyata cita-cita kita sama.
Aku juga ingin menjadi dokter agar aku bisa menolong banyak orang.
Tapi...dengan kondisi mataku begini...”
Sesuatu yang perih serasa menyayat hati
Gaara. Ditatapnya mata Hinata lekat-lekat. Mata bening yang tak lagi
menghadirkan setitik cahaya dan serangkaian warna untuk pemiliknya. Kesedihan
menyayat hati Gaara semakin dalam. Menggoreskan pilu, memahat luka.
Sesungguhnya, Hinata lebih pantas untuk
bahagia. Ia masih memiliki prospek cukup tinggi untuk sembuh. Tidak seperti
dirinya. Hinata layak menjalani operasi transplantasi mata dan meraih impian
mulianya.
**
Malam itu, untuk kesekian kalinya hujan
membasahi kota Tokyo. Gelegar guruh dan sambaran cahaya kilat mengiringi.
Situasi semakin tak menentu kala badai datang bersama derasnya hujan dan
gemuruh petir.
Di malam sekelam ini, Hinata merapatkan
selimutnya. Memejamkan mata, mencoba tidur. Ia ingin cepat-cepat terbawa dalam
fantasi alam bawah sadar hingga esok pagi tiba. Berharap hujan dan badai segera
berakhir. Belum lagi perasaannya tak enak. Sejak tadi firasat buruk
berkelebatan dalam benaknya.
Hinata membenarkan posisinya di ranjang.
Pada saat itulah tanpa sengaja tangannya menyentuh sebentuk gelas di atas
nakas. Tak ayal, gelas itu jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai. Hinata menahan
nafas. Kami-sama, inikah sebuah pertanda?
Belum sempat ia beranjak untuk memunguti
pecahan gelas, pintu ruangan terbuka. Didengarnya derap langkah tergesa.
Langkah kaki itu semakin dekat diikuti wangi Hugo Boss yang serasa familiar.
“Hinata-chan,” panggil pemilik langkah
kaki itu. Getar kekhawatiran tertangkap dalam suaranya. “Oji...oji-san? Ada
apa?”
Ya, seseorang yang baru tiba itu tak
lain Sabaku Rei. “Ikutlah dengan Oji-san, Hinata. Kondisi Gaara kritis. Dr.
Kabuto sedang menanganinya di ruang ICU.”
Jantung Hinata bagai berhenti berdetak.
Kepanikan menjalari sekujur tubuhnya. Ternyata firasatnya benar.
Tanpa kata lagi, Sabaku Rei menggendong
tubuh Hinata. Membawanya keluar ruang rawat. Menyusuri koridor-koridor rumah
sakit yang sunyi, lantas memasuki lift. Ruang ICU berada di lantai lima. Untuk
mencapainya, mereka harus memakai lift.
Untunglah lift kosong. Gemetar tangan
Sabaku Rei menekan tombol. Lift bergerak naik, berhenti di setiap lantai. Dalam
gendongannya, Hinata terlihat kalut. Sebisa mungkin Sabaku Rei menenangkannya.
Memintanya berdoa untuk Gaara.
Mengejutkan. Setiba di depan ruang ICU,
Dr. Kabuto telah menanti. Bersamanya hadir pula Temari, Kankurou, Hiashi,
Hikaru, Neji dan Hanabi. Begitu melihat Sabaku Rei, serta-merta Temari dan
Kankurou menghambur ke pelukkannya. Mencurahkan tangis dan air mata. Hiashi dan
Hikaru mengambil alih tubuh Hinata dari Sabaku Rei, sejurus kemudian
merengkuhnya. Hanabi dan Neji sekalipun, yang biasanya menebarkan keceriaan
dimanapun mereka berada, kini meneteskan air mata.
“Ada apa...sebenarnya?” Lirih Hinata
entah ditujukan pada siapa.
Sebelum siapapun bisa menjawab,
terdengar bunyi seseorang mendorong brankar. Helaan nafas Hinata tertahan.
Mungkinkah itu Gaara? Bila ia bisa melihat, pasti pertanyaannya akan segera
terjawab.
Terlihat dua orang suster mendorong
tempat tidur beroda. Jarak mereka kian dekat, begitu pula brankar yang mereka
bawa. Dr. Kabuto mengerjapkan mata sesaat, lalu berkata dengan sisa-sisa
ketegaran yang dipaksakan.
“Maaf, saya tidak bisa berbuat lebih
jauh lagi. Gaara...”
Tepat pada saat itu, laju brankar
terhenti di depan mereka. Kankurou, Hinata, dan Temari berlarian menghampiri
ranjang beroda tersebut. Tangis mereka pecah. Meraih tubuh Gaara yang kini tak
bernyawa ke dalam pelukan. Temari dan Kankurou berulang kali menciumi wajah
adik mereka. Hinata menggenggam erat tangan Gaara, pipinya dibasahi air mata.
“Gaara jahat! Katanya...Gaara mau terus
menemaniku? Katanya kita mau jadi dokter dan bersama-sama menyembuhkan orang
lain! Tapi kenapa Gaara tinggalkan aku?!!” Isak Hinata. Mempererat genggamannya
di tangan sahabat terdekatnya, juga cinta pertamanya.
Beberapa saat lamanya sang gadis
berambut indigo larut dalam duka. Tangisnya tk kunjung berhenti. Hatinya
meneriakkan ketidakrelaan akan kepergian Gaara. Dalam duka, Hinata merasakan
pelukan hangat seseorang dari belakang. Dalam sekejap ia mengenalinya: Sabaku
Rei!
“Hinata anakku, ini pesan terakhir Gaara
untukmu.” Sabaku Rei meletakkan sehelai kertas ke tangan Hinata.
Refleks dirabanya kertas itu. Ia
berasumsi Gaara menulis pesan dalam bentuk Braille. Namun dugaannya keliru. Tak
terdeteksi tulisan Braille apapun di sana.
“Itu bukan tulisan Braille, Sayang. Sini
Oji-san bacakan.” Sabaku Rei menghela nafas. Mengambil kembali helaian kertas
dari tangan Hinata, lalu membacanya.
“Formulir pendonoran mata atas nama
Sabaku Gaara.”
**
16 Years Later,
Toyota Alphard hitam menepi di gerbang
pemakaman. Pintu mobil terbuka, seorang wanita muda berambut indigo berjas
putih bersih melangkah keluar. Sebuket lily tergenggam di tangannya, senyum tak
lepas menghiasi wajahnya.
Wanita itu-tak lain Hinata- melangkah
pelan menyusuri baris demi baris nisan. Ia hafal areal pemakaman ini. Setiap
akhir pekan ia selalu menyempatkan waktu mengunjunginya.
Hinata berhenti di depan nisan marmer
yang sangat indah. Pada nisan itu, terukir nama sahabat kecil sekaligus cinta
pertamanya: Sabaku Gaara.
“Hai Gaara, kuharap kau tetap tenang dan
bahagia. Minggu ini menyenangkan sekali. Beberapa pasien yang kutangani sembuh
total. Mereka tak perlu lagi merasakan jantung koroner, gangguan aritmia,
angina pectoris, dan penyakit lainnya.” Hinata berkisah dengan bahagia. Seperti
biasa, ia selalu menceritakan kejadian-kejadian yang dialaminya setiap kali
berziarah ke makam Gaara.
“Andai kau juga menjadi dokter spesialis
jantung sepertiku, kau pasti merasakan kebahagiaan yang sama saat melihat
pasienmu sembuh. Kau kan ingin menjadi dokter juga,” lanjut Hinata lagi.
Hening sesaat. Angin sore berbisik,
memainkan rambut Hinata. Langit biru cerah, pertanda segera berakhirnya musim
semi dan datangnya musim panas. Hinata menarik nafas panjang sebelum kembali
berkata. “Aku bisa menjadi seperti ini semata-mata karenamu, Gaara. Kau tetap
hidup dalam diriku, memotivasiku untuk meraih harapanku. Lewat mata ini...”
Hinata menyentuh pelan kelopak matanya. Mata Aquamarine yang begitu indah, yang
kini jadi miliknya. “Mata ini yang membuatku bahagia. Dengan mata inipun aku
bisa menolong pasien-pasienku. Dan yang terpenting...dengan mata ini aku selalu
merasakan kehadiranmu. Arigatoo Gaara, arigatoo...”
Tak ada air mata, tak ada isak tangis.
Kini Hinata mampu mengenang Gaara dengan senyuman. Gaara, cinta pertamanya,
akan senantiasa terpatri dalam hati. Kendati kelak ia memiliki pendamping
hidup, akan tersisa ruang di hati Hinata untuk Gaara.
“Gaara, aku tahu kau pasti bersedih jika
aku memutuskan hidup sendirian. Keluargaku Hyuuga dan Sabaku juga akan kecewa
karenanya. Tapi percayalah, meski aku memiliki cinta yang lain, kau takkan
pernah terganti di hatiku.”
Keluarga Hyuuga dan Sabaku memang
bersahabat erat sejak perkenalan Gaara dan Hinata. Sampai enam belas tahun
berlalu, hubungan kedua keluarga itu tetap terjalin dengan sangat baik. Bahkan
tiga tahun silam, Sabaku Rei dan Hyuuga Hiashi memutuskan bekerja sama dalam
urusan bisnis. Maka, jadilah Hyuuga Company sebagai mitra bisnis Sabaku Corp.
Bukan hanya itu, hubungan kekeluargaan mereka dipersatukan oleh pernikahan
Hanabi dan Kankurou setahun yang lalu. Menisbikan betapa kuat cinta dan kasih
sayang di antara mereka. Padahal Hanabi dan Kankurou terpaut usia enam tahun.
Namun cinta dan hati, siapa pula yang tahu?
Puas mengobati rindunya, Hinata bangkit
berdiri. Meletakkan buket bunga yang dibawanya, mengecup nisan Gaara, dan
beranjak pergi. Di tengah perjalanan menuju gerbang pemakaman, insiden kecil
terjadi. Akibat kurang berkonsentrasi, Hinata tak melihat sekeliling dan...
Brak! Byur!
Celaka, ia telah menabrak seseorang!
Lalu, bunyi apa itu tadi? Hinata menengadah dengan panik. Dilihatnya seorang
pria muda berjas biru muda, berambut hitam, dan berwajah cukup tampan terjatuh
di dekat nisan. Guci berisi air yang dibawanya jatuh. Airnya tumpah, membasahi
jas laki-laki itu.
“Go-gomen ne...a-aku benar-benar tak
sengaja.” Hinata terbata. Membantu lelaki itu bangkit.
“Tak apa, aku cuma basah sedikit.” Pria
itu tersenyum. Manik Obsidian-nya menatap Hinata lembut. “Tapi jasmu jadi
basah.”
“Tidak masalah, sungguh. Oh ya, kita
belum berkenalan. Siapa namamu?”
Pria itu mengulurkan tangan. Hinata
menjabat tangannya dengan gugup.
“Hyuuga Hinata, kau?”
“Uchiha Sasuke.”
Sang pria bermata Obsidian kembali
tersenyum. Senyumnya begitu menawan. Hati Hinata berdesir hangat. Uchiha
Sasuke...Uchiha Sasuke, dalam hati ia mengulangi namanya. Mungkinkah dia yang
dikirimkan Kami-sama untuk menggantikan Gaara mendampingi Hinata?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar