Hmm...lagi-lagi bentuk representasi saya pada Naruto. Fict ini juga saya publish di FFN. Ok Minna-san, happy reading.
Satu Pelangi Cinta
“Hinata, aku bisa
mempercayakannya padamu, kan?” Seorang gadis cantik berkuncir empat memastikan.
“Tentu saja,
Temari-nee. Aku akan menjaganya.”
Seulas senyum merekah
di wajah Temari. Lembut ditepuknya bahu Hinata seraya berujar. “Thanks, kau
memang bisa dipercaya.”
Dengan kata-kata itu,
Temari melangkah pergi. Meninggalkan Hinata berdiri terpaku di depan bangunan
rumah sakit.
Hyuuga Hinata, demikian
nama gadis itu. Mahasiswi Stanford Graduate School of Business. Calon penerus
bisnis keluarga Hyuuga. Tipikal gadis lemah lembut dengan otak brilian.
Sifat-sifat itulah yang membuatnya memiliki banyak teman. Bukan hanya teman,
tak sedikit pula pemuda yang menaruh hati padanya. Akan tetapi mereka sudah
terlambat. Pasalnya, hati Hinata telah dimiliki orang lain.
Pemuda yang beruntung
itu tiada lain Sabaku Gaara. Cinta mereka bermula di sekolah menengah. Diawali
dari mengikuti ekskul yang sama, lalu menduduki jabatan penting di OSIS, dan di
saat itulah bunga-bunga cinta bersemi.
Gaara sangat mencintai
Hinata, begitupun sebaliknya. Jarak dan waktu yang memisahkan kala mereka
menginjak bangku kuliah bukanlah halangan signifikan untuk meneruskan jalinan
cinta. Gaara tak keberatan harus menjalani hubungan jarak jauh dengan Hinata.
Ia percaya Hinata tulus mencintainya dan takkan mungkin berpindah ke lain hati.
Realitanya memang begitu. Cinta mereka tak perlu diragukan lagi.
Namun, Kami-sama
rupanya ingin menguji mereka dengan cara lain. Meski kesetiaan Gaara dan Hinata
tak bisa lagi diragukan, kisah mereka jauh melampaui ekspektasi. Batu ujian
menghalangi mereka dalam bentuk penyakit.
Ya, setengah tahun lalu
Gaara didiagnosis mengidap Acute Lymphocitic Leukemia (ALL). Penyakit ini
memburuk dalam waktu singkat. Menurut keterangan Sasori-sensei, dokter spesialis
Onkologi yang menangani Gaara, faktor penyebabnya adalah Retrovirus. Dengan
kata lain, tubuh Gaara terinfeksi virus.
Shock? Sudah pasti
dirasakan Hinata dan seluruh anggota keluarga Sabaku. Pada akhirnya mereka
dapat berpikiran rasional dan mengatasi keterkejutan. Jika bukan mereka, siapa
lagi yang akan menguatkan hati Gaara?
Maka dari itu, ketika
liburan akhir semester tiba, Hinata langsung bertolak ke Jepang. Tiga bulan
sudah ia berada di negara kelahirannya. Seharusnya besok Hinata sudah kembali ke
Amerika. Akan tetapi ia berencana menundanya selama satu bulan. Gadis berambut
indigo itu tak sampai hati meninggalkan Gaara dalam kondisi begini.
Setelah menekan tombol
lock pada kunci otomatis Fortuner-nya, Hinata melangkah memasuki rumah sakit.
Bau tajam obat-obatan langsung menyerbu hidungnya. Tak mengapa, ia sudah
terbiasa dengan sensasi memuakkan ini. Hinata membiasakan diri semata demi
Gaara. Enam bulan terakhir kekasihnya itu sering keluar-masuk rumah sakit.
Hinata tiba di depan
lift. Menunggu dengan sabar. Dua menit berselang, pintu stainless di depannya
berdenting terbuka. Tak seperti biasa, lift kosong. Hinata segera memasukinya.
Menekan tombol dan membiarkan pintu menutup.
Lift berguncang naik.
Menimbulkan sensasi menggelitik di dasar perut Hinata. Membuat cahaya lampu di
langit-langit berayun lembut.
Ting
Tiba juga Hinata di
lantai tiga. Ia bergegas keluar, mempercepat langkah di sepanjang koridor serba
putih. Sekali-dua kali didengarnya bermacam suara dari pintu-pintu ruang rawat.
Erangan, tawa, tangis, dan teriakan kesakitan. Terenyuh hati gadis itu
mendengarnya. Iris lavendernya mengerjap, berusaha menguasai diri.
Sepuluh menit kemudian
Hinata sampai di depan kamar bernomor 154. Saat akan membuka pintu, seseorang
lebih dulu membukanya. Keluarlah figur pria berambut merah dan bermata Hazel
dari dalam ruangan. Sosoknya tampak menawan dalam balutan jas putih berlambang
rumah sakit.
“Hinata? Kau sudah
datang?” sapa pria itu hangat.
“Ya, Sasori-sensei. Apa
Anda baru saja memeriksa Gaara? Bagaimana kondisinya?”
Cahaya di mata Sasori
meredup. Teringat hasil pemeriksaan Gaara.
“Keadaannya belum
menunjukkan progres apapun. Justru semakin tidak stabil. Kemoterapi tidak
berpengaruh pada sel-sel kankernya.”
Beban kesedihan
menghimpit kuat batin Hinata sewaktu mendengarkan penjelasan Sasori. Separah
itukah kondisi kekasihnya? Bahkan kemoterapi tidak berpengaruh.
“Asumsi saya terbukti.
Sel-sel kanker di tubuh Gaara sudah kebal terhadap obat kemoterapi.”
“Sasori-sensei, tak
adakah yang bisa dilakukan? Bagaimana dengan operasi transplantasi sumsum
tulang belakang?” Tiba-tiba Hinata teringat sesuatu dan menyampaikan idenya.
Sasori menghela nafas.
Ditatapnya wajah Hinata, antara iba dan berduka.
“Gomen, bukannya saya
tak mau melakukan operasi. Untuk saat ini tubuh Gaara sudah terlalu lemah untuk
menjalaninya. Hanya kemoterapi satu-satunya harapan kita.”
Senyap. Hinata sungguh
tak kuasa menyaksikan penderitaan Gaara akibat efek samping kemoterapi. Namun
tak ada solusi lain. Dilematis.
Sasori menepuk lembut
pundak Hinata. “Saya bisa mengerti perasaanmu, Hinata. Berdoalah, semoga Tuhan
masih memberikan kasih sayang-Nya untuk Gaara.”
.
.
Ruang rawat VIP itu
berbalut kesunyian. Hanya terdengar bunyi elektrokardiograf-monitor pendeteksi
detak jantung-. Sudah setengah jam Hinata berada di sana. Menemani Gaara yang
terlelap. Biarlah, biarlah sekali ini saja dia tertidur dengan damai. Tertidur
tanpa rasa sakit.
“Kau tahu, Gaara?
Sekarang ini kau mirip Pangeran Tidur...” Hinata bicara seolah-olah Gaara bisa
mendengarnya.
“Hahaha, aku ini
ada-ada saja. Bukankah yang tertidur itu seorang putri? Although, aku senang
kau bisa beristirahat seperti sekarang ini. Damai, tanpa kesakitan...”
Hinata mengulurkan
tangan. Membelai halus kening Gaara. Menyentuh huruf ‘Ai’ yang menghiasi bagian
kiri dahinya. Tatapannya kini beralih pada iris Turquoise milik Gaara. Cahaya
matanya semakin redup. Justru lingkaran hitam di sekeliling matanya yang terus
menebal. Menandakan betapa sedikit waktu istirahat Gaara.
Sementara itu, jarum
waktu terus berputar. Tanpa terasa waktu menunjukkan pukul dua belas siang.
Menyadari hal itu, serta-merta Hinata menepuk dahinya.
Bukankah sekarang dia
ada janji menelepon Tommy, sahabatnya di USA? Mengapa ia bisa lupa? Beginilah
akibatnya bila pikiran stress.
Ia bergegas keluar
ruang rawat. Melangkah setengah berlari memasuki lift. Taman kota, itulah
destinasinya. Hinata merasa tidak etis menelepon di dalam areal rumah sakit.
.
.
Pukul 12.05, Hinata
tiba di taman kota. Mengenyakkan diri di bangku terdekat, ia mulai mengutak-atik
smartphone-nya. Mencari nama Tommy di contact, lalu menggeser ikon call.
Terdengar nada sambung sekian detik, disusul...
“Hinata, where are
you?! You must go back to America tomorrow!”
Suara tinggi Tommy
sontak membuat Hinata menjauhkan ponselnya. Astaga, tak tahukah pemuda itu
kalau teriakannya dapat membuat jantung orang lain nyaris copot?
“I’m sorry i can’t,
Tommy...”
“What?! You are...”
Sebelum Tommy
melancarkan aksi protesnya, Hinata lebih dulu menginterupsi.
“I had to take leave
for a month. So, i have not been able to return tomorrow.”
Sedetik. Lima detik.
Tujuh detik, terdengar helaan nafas pasrah di seberang sana.
“Sorry Tommy, sorry...”
“Whatever you say. But
i just remind you to go back immediately.”
“You don’t understand
my condition, Tommy...”
Hinata benar-benar
letih sekarang. Berulang kali ia menjelaskan pada Tommy sejak beberapa hari
lalu, namun sobat Amerika-nya itu tak kunjung mengerti.
“I know your reason.
You have not been able to go back quickly because...Gaara, right?”
Gadis bermata lavender
itu menggigit bibirnya masygul. Nada suara sahabatnya seakan menyalahkan Gaara.
Seolah Gaaralah yang patut disalahkan sepenuhnya atas penundaan Hinata kembali
ke Amerika.
Sia-sia ia menjelaskan.
Namun Tommy tak mau melepaskan topik sensitif ini begitu saja. Praktis selama
beberapa waktu mereka adu argumen. Benar-benar merepotkan.
Klik.
Akhirnya Tommy memutus
sambungan teleponnya. Dalam hati Hinata bersorak senang. Selesailah sudah
urusannya. Ia harus kembali ke rumah sakit.
.
.
Pintu ruang rawat
berderit terbuka. Sengaja ia buka sepelan mungkin agar tidak mengganggu Gaara.
Spekulasinya, Gaara masih tertidur.
Dugaan Hinata meleset.
Saat memasuki ruangan, iris lavendernya bertemu dengan Turquoise milik Gaara.
Sorot bahagia terpancar di mata pemuda itu.
“Gaara...”
Hinata mendekat ke tepi
ranjang. Memeluk kekasihnya erat.
“Bagaimana keadaanmu,
Gaara? Masih pusing? Atau ada hal lain yang kaurasakan?”
Gaara tersenyum kecil
mendengarnya. “Aku baik-baik saja.”
Hinata melepas lembut
pelukkannya. Menatap mata Gaara dalam-dalam. Betapa ia mencintai pemuda itu.
Betapa besar rasa takutnya kehilangan Gaara. Sampai-sampai ia menunda kuliahnya
selama satu bulan.
“Hinata?”
“Ya?”
“Apa hari ini tidak
hujan?”
“Sayang sekali tidak.
Kau mengharapkan pelangi, ya?”
Gaara mengangguk. “Ya.
Aku ingin melihatnya, bersamamu.”
Satu lagi persamaan
Gaara dan Hinata: kesukaan pada pelangi. Menurut Gaara, pelangi itu sangat
indah dan merepresentasikan cinta abadi. Sedangkan menurut Hinata, pelangi
ialah lukisan alam ciptaan Tuhan yang sangat luar biasa.
“Nanti kalau hujan
turun kita akan menunggu pelangi bersama-sama.” Janji Hinata.
.
.
Pukul delapan malam,
Hinata memarkirkan Fortuner kesayangannya di garasi kediaman Hyuuga. Tubuhnya
penat namun hatinya terasa ringan. Sepanjang hari ini, ia mencurahkan perhatian
pada Gaara. Waktunya tak tersita untuk urusan lain.
“Sampai kapan kau mau
begini terus, Hinata?”
Suara bass milik Hyuuga
Hiashi sempurna mengejutkan Hinata. Ia membalikkan badan, dan tersentak
mendapati sang ayah berdiri di belakangnya.
“Aku sudah dengar kalau
kau menunda kuliahmu untuk satu bulan. Semuanya demi pemuda Sabaku yang
berpenyakit itu?!!”
“Ayah, Gaara tak
bersalah. Ini pilihanku sendiri. Mengertilah, Ayah.”
Tertangkap nada memohon
dalam suara Hinata. Belum pernah ia memohon seintens ini pada orang lain.
“Ayah tak habis pikir
denganmu, Hinata. Apa yang masih kauharapkan dari Gaara? Dia kini hanya manusia
lemah tak berdaya. Tubuhnya digerogoti kanker ganas. Kuliahnyapun terganggu
karena hal itu.”
“Cukup, Hiashi!”
Pintu garasi terbuka.
Diikuti suara tegas Hikaru, ibu Hinata.
“Hikaru, sampai kapan
kau terus-terusan membela anak ini? Dia...”
“Dia berhak memilih,
Hiashi! Aku mendukung apapun pilihannya. Aku juga telah menganggap Gaara
sebagai anakku sendiri. Tidak sepertimu yang berubah sikap secara drastis
ketika Gaara jatuh sakit!”
Sekujur tubuh Hinata
gemetar. Ia lega sang ibu membelanya, tetapi takut pertengkaran kembali
terjadi. Berselisih bukan lagi hal baru antara Hiashi dan Hikaru.
Sejurus kemudian Hikaru
merangkul lembut Hinata. “Jangan khawatir, Nak. Ibu mendukungmu. Rawatlah Gaara
sampai ia sembuh, ia sangat membutuhkanmu.”
.
.
“Hmm...jadi Gaara
berkeras ingin pulang?” Sasori bergumam. Menyandarkan tubuh ke kursinya.
Hinata dan Temari
bergumam mengiyakan. Sabaku Rei serta Sabaku Karura sudah menyetujui. Namun
mereka masih harus menunggu izin dari Sasori.
“Jujur saya katakan,
sesungguhnya Gaara tidak ada harapan lagi. Kankernya bermetastasis terlalu
cepat. Kalaupun dia bisa bertahan, itu takkan lama.”
Tanpa perlu dijelaskan,
Hinata dan Temari telah mengetahuinya. Gaara sendiripun tahu konsekuensi
menyakitkan itu.
“Mungkin...suasana
rumah akan baik bagi kondisi psikisnya. Hanya ini yang bisa kita lakukan.”
Dengan demikian, Sasori
mengizinkan Gaara keluar dari rumah sakit. Hal kecil itu sedikit banyak
membahagiakan mereka.
“Gaara, i have a good
news!”
Dengan seruan ceria
itu, Hinata serta Temari memasuki ruang perawatan. Gaara tersenyum menyambut
mereka.
“Sasori-sensei
mengizinkanmu pulang hari ini. Kau senang, kan?”
“Sure...itu yang
kunantikan.”
“Ya sudah, ayo kemasi
barang-barangmu.”
Gaara dengan antusias
mulai mengemasi barang-barangnya. Sudah tak sabar menjalani aktivitas
normalnya. Kuliah, mengikuti unit kegiatan mahasiswa, dan menjalankan tugas
sebagai ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Satu lagi yang diinginkannya setelah
keluar dari rumah sakit: melihat pelangi bersama Hinata.
.
.
Fortuner metalik itu melaju
menyusuri ruas-ruas jalan raya. Hinata duduk di balik kemudi, Temari menempati
bangku di sampingnya. Sementara Gaara berada di tempat duduk belakang. Merasa
bersalah karena tak bisa mengemudi menggantikan Hinata.
Mentari sore merebahkan
bayang-bayangnya. Langit biru bersih tanpa awan. Cuaca yang cerah, namun Gaara
dan Hinata kurang tertarik karenanya. Mereka jauh lebih menyukai hujan.
Sebaliknya, Temari
menyukai langit yang cerah. Gadis berambut pirang itu kurang suka pada hujan.
Benar-benar kontras sifat kakak-beradik itu.
“Sayang ya, hari ini
tidak hujan.” Hinata mendesah kecewa. Menyipitkan mata, memandang birunya
langit.
“Bagaimana bisa hujan,
Hinata? Sekarang kan awal musim panas. Nampaknya riskan.” Sahut Temari sambil
tersenyum.
Hinata terlihat kecewa,
sementara Gaara bersedih akan fakta ini. Ya, sekarang memasuki awal musim
panas. Bagaimana ia bisa melihat pelangi bersama Hinata? Padahal ia ingin
sekali melihat pelangi bersama Hinata sebelum waktunya tiba. Waktu ketika
malaikat maut melepaskan nyawa dari raga.
Gaara bersandar letih
ke sandaran kursi. Kepalanya terasa sakit. Ribuan jarum jahat serasa menusuk setiap
inci kepalanya.
Cairan kental mengaliri
hidung Gaara. Pemuda berambut merah itu tersentak. Sementara rasa sakit semakin
tajam ia rasakan.
“Hinata, apa kau
membawa tissue?” tanya Gaara dengan nada sewajar mungkin supaya tidak
mengkhawatirkan gadisnya.
“Ada di tasku, Gaara.
Ambil saja.”
Cairan kental itu
mengalir semakin banyak. Gaara mengambil tas Hinata. Mencari-cari tissue di
dalamnya. Setelah menemukan benda yang dicari, diusapkannya tissue ke
hidungnya. Seketika, tissue yang berwarna putih berubah merah akibat bercak
darah.
Lama-kelamaan tubuh
Gaara terasa lemas. Pandangan matanya mengabur. Sedetik berikutnya ia terjatuh
pingsan.
“Gaara, sudah
kautemukan tissuenya?” tanya Hinata lembut. Namun tak ada jawaban.
“Gaara?” Temari ikut
memanggil. Tidak juga memperoleh respon.
Perlahan-lahan Hinata
mengalihkan pandang. Sesaat ia tersenyum simpul melihat sosok Gaara dengan mata
terpejam rapat.
“Dia tidur, Nee-san.”
Temari menoleh. Ikut
tersenyum. Sulit membedakan antara pingsan dengan tidur.
Mendadak pandangan
Hinata tertuju pada tangan Gaara. Tangan pemuda itu menggenggam tissue bernoda
darah. Jantungnya bagai berhenti berdetak.
“Astaga, Nee-san!
Gaara...Gaara pingsan!”
Temari menahan nafas.
Dengan cepat Hinata mengarahkan mobilnya kembali ke rumah sakit. Dihiraukannya
makian-makian pengendara lain yang terganggu. Prioritasnya saat ini adalah
keadaan Gaara.
.
.
Derit brankar yang
didorong tergesa-gesa memecah keheningan. Terlihat Sasori dan beberapa suster sibuk
mendorong brankar ke arah UGD. Di tempat tidur beroda itu, Gaara terbaring
lemah dengan darah mengalir di hidungnya. Wajahnya pucat pasi bagai mayat.
Hinata, Temari, Rei, dan Karura lekat mengikuti.
Tiba di depan pintu
UGD, Hinata berkeras ikut masuk ke dalam. Namun Sasori mencegahnya. Memohon
Hinata tetap tenang. Dengan halus melarangnya masuk ke unit gawat darurat.
Praktis Hinata tak berdaya. Ia hanya bisa menatap pasrah pintu yang tertutup di
depannya.
“Hinata...”
Temari, Rei, dan Karura
mendekat. Bergantian memeluknya. Hinata menangis dalam pelukan ketiga anggota
keluarga Sabaku. Menumpahkan duka dan ketakutannya. Kini Hinata sungguh takut
kehilangan Gaara.
“Hinata, tenangkan
dirimu. Lebih baik kita berdoa untuk Gaara.” Bujuk Temari lembut.
“Aku takut kehilangan
Gaara...takut sekali.” Isak Hinata pilu.
Rei dan Karura
menepuk-nepuk bahu gadis cantik itu. Mereka paham betul betapa kalut Hinata
saat ini. Siapa yang takkan didera frustasi jika kekasih hati tengah berada di
antara hidup dan mati?
Menit-menit berlalu
lambat. Tak terasa, satu jam terlewati. Pintu ruang unit gawat darurat terbuka.
Memunculkan sosok Sasori di ambangnya.
“Bagaimana keadaan
Gaara, Sasori-sensei?” tanya Rei mendahului yang lain.
Kemuraman menyelimuti
wajah Sasori. Cepat atau lambat, mereka harus tahu.
“Kondisi Gaara terus
memburuk. Metastasis kankernya cepat sekali. Organ krusial seperti paru-paru,
jantung, hati, dan ginjal telah diinvasi oleh sel kanker. Entah bagaimana dia
bisa bertahan...”
Bulir-bulir bening
kembali menggenangi kelopak mata Hinata. Ia sempurna menangis, merepresentasikan
ketakutan dan kesedihannya.
“Sasori-sensei,
benarkah tidak ada harapan lagi untuk anak kami?” Karura memastikan dengan
suara bergetar.
“Maaf sekali,
Karura-sama. Dengan berat hati saya katakan...Gaara tidak lagi punya prospek
kesembuhan.”
Sungguh realita pahit.
Gaara telah kehilangan harapan. Namun ia tidak kehilangan segalanya. Gaara
masih mempunyai cinta. Cinta yang tulus untuknya.
.
.
Hinata melangkah pelan
menghampiri ranjang Gaara. Tak nampak lagi bekas air mata di wajahnya. Ia sudah
berjanji untuk menampilkan ketegaran di depan pemuda berambut merah itu. Ia
ingin membuat Gaara bahagia di ujung waktunya.
“Hai Gaara, bagaimana
keadaanmu?” Hinata menyapa ramah. Membungkuk, mencium kening sang kekasih.
“Keadaanku baik.
Aku...”
Namun detik berikutnya
Gaara kembali merasakan sakit luar biasa di kepalanya. Sekuat tenaga ditahannya
rasa sakit yang mendera. Ia harus kuat di depan Hinata. Cukup sudah Gaara
menyusahkan gadisnya.
Beruntung Hinata tidak
menyadari kalau Gaara kesakitan. Ia menarik kursi ke dekat ranjang dan
mendudukinya.
“Gaara, apa yang
kauinginkan saat ini?” Pertanyaan itu spontan terlontar dari bibir Hinata.
Sebelum Gaara bisa
menjawab, smartphone Hinata berdering. Penanda telepon masuk. “Sebentar ya.”
Gemuruh kecemasan
menyerbu dada Hinata kala mendapati nama ayahnya di layar. Ragu-ragu,
digesernya ikon answer. Ia sengaja melangkah menjauhi Gaara saat mengangkat
telepon Hiashi.
“Moshimo...”
“Hinata, kau kemana
saja?! Pulang sekarang! Sebentar lagi calon tunanganmu akan segera datang! Kau mau
mempermalukan keluarga kita di depan keluarga Kaguya?!”
Sebilah pedang serasa
menoreh jantung Hinata. Calon tunangan? Rupanya Hyuuga Hiashi bertekad bulat
menjauhkan putrinya dari Gaara.
“A-apa? Maaf Ayah, aku
tidak bisa...”
Ya Tuhan, bagaimana
mungkin ia akan dijodohkan dengan Kimimaro Kaguya? Hinata tahu persis reputasi
Kimimaro. Ia satu fakultas dengan Gaara. Menurut informasi yang didengarnya,
Kimimaro tipe pemuda play boy, pembuat onar, pasif dalam masalah organisasi,
arogan, dan selalu memanfaatkan kekuasaan orang tuanya. Meskipun demikian,
sikapnya berubah total saat bersama keluarga Kaguya ataupun ketika menghadiri
perhelatan penting. Intinya, Kimimaro sangatlah berbeda dengan Gaara. Kualitas
mereka tak bisa dibandingkan sedikitpun.
“Pulang sekarang! Kau
mau Ayah menyeretmu dari rumah sakit?!”
“Tidak Ayah, aku tidak
akan pulang. Aku menolak perjodohan itu.” Tolak Hinata tegas.
Samar, Hinata dapat
mendengar isak tangis. Ia mengenalinya sebagai Hanabi, adik semata wayangnya.
“Ayah, sini aku mau bicara sama Neechan.”
“Pergi, Hanabi! Ini
urusanku dengan kakakmu yang pembangkang!”
“Tidak! Neechan, jangan
mau dijodohkan dengan Kimimaro! Aku dan Ibu takkan setuju!! Aku dan Ibu lebih
senang Neechan bersama Gaara-niisan!” Hanabi berteriak sekeras mungkin. Praktis
Hinata dapat mendengarnya.
“Arigato Hanabi,
arigato...” lirih Hinata, lalu memutuskan sambungan tlepon.
Selama sepersekian
menit, Hinata berdiri terpaku. Masih shock akan keputusan Hiashi. Sedemikian
bencikah ia pada Gaara hingga memercayakan Hinata untuk pemuda seperti
Kimimaro? Di samping itu, ia terharu dengan aksi nekat Hanabi. Tak tertutup
kemungkinan sekarang ini Hanabi merasakan akibat kenekatannya di tangan Hiashi
dan Kimimaro.
“Hinata, are you ok?”
Suara lirih Gaara
membuyarkan pikiran Hinata. Cepat ia melangkah kembali ke sisi ranjang.
Dibelainya rambut Gaara dengan lembut.
“Aku baik-baik saja.”
Ucapnya.
“Memangnya siapa yang
meneleponmu?”
“Ayah. Dia memintaku
pulang, tapi kujelaskan kalau aku masih ingin menjagamu. Ayahku mengerti dan
tidak memaksa.”
Hinata terpaksa
mengungkapkan alibi demi ketenangan hati Gaara. Tak kuasa ia mengatakan
sejujurnya.
“Oh ya, kau belum
menjawab pertanyaanku. Apa yang kauinginkan saat ini?”
“Keinginanku...cukup
banyak. Aku ingin kembali kuliah, berorganisasi, berkumpul dengan keluargaku,
berada di sisimu, dan menjalankan tugas-tugas sebagai ketua Badan Eksekutif
Mahasiswa.”
Hinata tersenyum
mendengarkannya. Gaara memang tidak pernah berubah. Dalam keadaan sakit dia
masih mempunyai semangat hidup yang tinggi.
“Tapi...” Gaara
meneruskan.
“Ada satu hal yang
menjadi ekspektasi terbesarku saat ini.”
“Katakanlah.”
“Aku ingin melihat
pelangi bersamamu. Satu kali saja...”
Gadis indigo itu
terenyak. Permohonan yang sangat sulit. Musim panas begini mana bisa terjadi
hujan? Ya Tuhan, dapatkah Engkau menurunkan mukjizat-Mu?
.
.
Selama beberapa minggu
berikutnya, Hinata sibuk mencari informasi sebanyak mungkin mengenai ramalan
cuaca. Koran, televisi, dan website badan meteorologi dan geofisika menjadi
sumbernya. Hal ini mengundang tanda tanya dari Hanabi, Temari, dan Hikaru.
Hanabi malah sempat bercanda dengan menganggap kakaknya memutuskan berpindah
profesi. Dari mahasiswa sekolah bisnis menjadi peramal cuaca.
Keputusasaan menghimpit
hati Hinata setiap kali membaca ramalan cuaca. Bagaimana tidak, cuaca selalu
diprediksi cerah. Sama sekali tak nampak pertanda hujan. Sampai kapan ia harus
menanti?
“Oh, jadi Neechan
menunggu hujan?” komentar Hanabi setelah Hinata bercerita padanya. “Iya,
Neechan ingin melihat pelangi bersama Gaara-niisan.”
Hanabi menghela nafas.
Membalik tumpukan koran di depannya.
“Sulit rasanya.
Sekarang kan musim panas. Bagaimana mungkin bisa turun hujan?”
Hinata mendesah tak
kentara. Hanabi benar juga. Secara logis, jarang sekali turun hujan di saat
musim panas. Namun jika Tuhan berkehendak siapa tahu?
“Ah, anak-anak Ibu
masih di sini. Tidak ke rumah sakit, Hinata?” Hikaru mendekati kedua putrinya.
“Sebentar lagi, Ibu.”
“Hmm...rupanya kau
masih mengikuti ramalan cuaca ya?”
“Iya. Aku ingin sekali
hujan turun.”
Hikaru ingin
menanggapi, tetapi disela oleh dering ponsel Hinata. Telepon dari Temari.
Dengan hati penuh tanda tanya, Hinata mengangkatnya.
“Moshimoshi?”
“Hinata, kenapa kau
belum datang? Gaara menanyakanmu. Kau pasti masih mengikuti ramalan cuaca.”
“A-ano Temari-nee, apa
Gaara baik-baik saja?”
“Ya. Dia mencarimu.”
“Baik, aku segera ke
sana.”
Setelah berpamitan pada
Hanabi dan Hikaru, Hinata bergegas meninggalkan kediaman keluarga Hyuuga. Tak
dibiarkannya Gaara menunggu lama.
“Ohayou,” sapa Hinata
setiba di ruang rawat.
“Ohayou.” Balas Gaara
dan Temari bersamaan.
Gaara tak bisa
menyembunyikan kegembiraannya melihat kedatangan Hinata.
“Merindukanku, ya?”
goda Hinata.
Meski sekilas, mereka
dapat melihat wajah pucat Gaara merona. Hinata dan Temari tertawa karenanya.
“Kau ini lucu sekali. Kalau rindu, bilang saja.”
“Sudahlah, Nee-san.
Yang penting aku senang sekali bisa bertemu Hinata.”
“Oke oke, biar kutinggalkan
kalian. Aku mau keluar sebentar. Bye!”
Sepeninggal Temari, ruangan
menjadi sunyi. Hinata kembali teringat prakiraan cuaca beberapa hari ke depan.
Raut wajahnya kembali muram. Senyum menawannya memudar.
“Gaara, maaf...”
“Untuk apa?”
“Aku tak bisa memenuhi
keinginanmu melihat pelangi. Aku juga menginginkannya, tapi kita berada pada
timing yang salah.”
“Aku tahu itu.” Gaara
melingkarkan lengan, mendekap hangat gadisnya.
“Tapi firasatku
mengatakan, kita bisa melakukannya. Kita bisa melihat pelangi bersama-sama.”
.
.
Ternyata itu bukan
sekedar firasat. Beberapa hari setelahnya, hujan membasahi kota Tokyo. Membuat
kegembiraan membuncah di hati Gaara dan Hinata.
Hinata-yang kebetulan
berada di rumah sakit-tak lagi membuang waktu. Segera ia mengajak Gaara keluar
kamar untuk menikmati hujan serta menunggu pelangi.
“Ayo kita keluar. Ini
pemandangan langka!” seru Hinata dengan rona bahagia di wajahnya.
Pelan-pelan ia menuntun
Gaara bangun. Pemuda itu menolak memakai kursi roda. Praktis ia berjalan
dibantu oleh Hinata.
Suara hujan terdengar
semakin jelas di sepanjang koridor. Gaara mempercepat langkahnya. Tak sabar
lagi untuk segera sampai ke taman rumah sakit.
“Pelan-pelan Gaara,”
Hinata lembut mengingatkan. Sedikit cemas akan euforia kekasihnya kepada hujan
dan pelangi.
Akhirnya mereka tiba di
taman rumah sakit. Kesejukan hujan menerpa wajah, tetes-tetes dinginnya menyentuh
halus pori-pori kulit mereka. Gaara mengangkat tangan, membiarkan hujan
menjatuhi telapak tangannya.
“Thanks God...” ia
berbisik penuh terima kasih.
Hinata tersenyum di
sampingnya. Ikut menengadahkan tangan, menerima tetes-tetes hujan.
Kedua insan muda itu
menanti dengan sabar. Senyum tak lepas dari wajah rupawan mereka. Inilah hujan
yang didamba, inilah hujan yang dirindukan. Ternyata firasat Gaara terbukti
benar.
“Gaara?”
“Ya?”
“Mengapa kau menganggap
pelangi sebagai representasi dari keabadian cinta?”
“Pelangi akan muncul
setelah hujan reda. Bentuknya selalu lingkaran ataupun setengah lingkaran. Kau
tahu makna lingkaran itu, Hinata?”
Hinata menggelengkan kepala dengan wajah
polosnya.
“Bukankah lingkaran tak berujung? Ya
Hinata, lingkaran tidak akan berakhir. Sama halnya seperti cinta abadi. Takkan
berakhir meski maut memisahkan, meski terhalang gelombang pasang waktu, dan
berbagai aral melintang lainnya. Sama seperti lingkaran pelangi, cinta abadi
takkan pernah berakhir.”
Hinata meresapi kata demi kata yang
diucapkan Gaara. Betapa ia mengagumi filosofi itu. Filosofi tentang pelangi
sebagai bentuk keabadian cinta.
Lama-kelamaan rintik hujan menipis.
Sebentar lagi berangsur reda. Hinata dan Gaara menanti detik demi detik dengan
bahagia.
Dalam penantian, tiba-tiba Gaara
terbatuk. Bercak darah terjatuh ke pakaiannya. Hinata terperangah melihat
kejadian itu.
“Gaara, kau batuk darah! Ayo kita
kembali saja ke kamarmu...”
“Tidak, Hinata. Aku ingin tetap di sini,
berasamamu. Aku ingin memberikan satu pelangi cintaku untukmu. Aku ingin kau
menerimanya.”
Apa daya Hinata menolak. Maka ia tetap
menanti bersama Gaara. Menanti dengan penuh harap akan datangnya pelangi.
Perlahan tetapi pasti, hujan mereda.
Gaara dan Hinata menatap langit. Semenit. Lima menit. Lima belas menit,
akhirnya apa yang mereka nantikan terealisasi.
Pelangi sempurna terlihat di angkasa.
Bentuknya setengah lingkaran, indah sekali. Inilah satu pelangi cinta dari
Gaara untuk Hinata.
“Lihat, Hinata! Itu pelangi cintaku
untukmu!” Gaara berkata bahagia. Menyandarkan kepala di bahu kekasihnya.
Hinata tersenyum. Tak puas-puas
memandangi keindahan pelangi. Sudah lama sekali ia tidak melihat pelangi
bersama Gaara. Kini, pelangi cinta hadir untuknya.
“Terima kasih, Gaara...” gumam Hinata
lirih.
“Sama-sama. Love you.” Gaara mencium
lembut kening Hinata.
“Love you too.”
Hening selama sepersekian menit. Pelangi
bertakhta dengan indahnya di petala langit. Menampakkan ketujuh warnanya yang
memesona. Sungguh Gaara dan Hinata bersyukur tiada tara pada Kami-sama atas terciptanya
lukisan alam terindah bernama pelangi. Pelangi, masterpiece buatan Tuhan yang
luar biasa.
Lama bertakhta di langit, akhirnya
pelangi perlahan menghilang. Menyisakan gumpalan tipis awan. Hinata melambaikan
tangan, seakan memberi salam perpisahan.
“Gaara, kau sudah memberikan pelangi
cintamu untukku. Ayo kita kembali ke kamar.”
Senyap. Tak ada jawaban. Intuisi Hinata
membisikkan sesuatu entah apa.
Tepat pada saat itu, Hinata merasakan
beban berat menjatuhi bahunya. Ia berpaling, mendapati kepala Gaara tersandar
di sana. Gadis itu tersenyum. Lembut mengusap kening kekasihnya.
Sejurus kemudian ia menyadari sesuatu.
Kening Gaara terasa sangat dingin. Tangan Hinata bergerak ke dada Gaara,
merasakan detak jantungnya. Apa yang ia takutkan terjadi. Ia tak bisa merasakan
detak jantung Gaara.
Sabaku Gaara...telah pergi. Ia pergi
setelah memberikan satu pelangi cinta untuk Hyuuga Hinata.