Kemilau Asa Safira
Denting lembut
piano memecah keheningan ruang music yang terletak di sebuah akademi seni
ternama ini. Piano terus berbunyi, mengalunkan nada-nada indah dengan presisi
mengagumkan. Figur yang tengah menarikan jemari lentiknya di atas tuts
hitam-putih piano tiada lain adalah seorang dara berpostur mungil dengan wajah
solid tipikal kaukasia bernama Safira. Sepintas, dara berusia 16 tahun tersebut
dapat dikatakan sempurna karena akumulasi paras cantik, sepasang mata berbentuk
menyerupai manik-manik, dan lesung pipit di kedua pipi yang membuat roman
mukanya kian menawan. Ditambah lagi ia sukses membawakan lagu berjudul ‘a whole
new world’ yang menjadi soundtrack film alladin menggunakan penghayatan yang
luar biasa. Namun, persepsi orang-orang akan keliru kala melihat kedua tangan Safira.
Di sinilah letak ketidaksempurnaan Safira. Ia invalid, hanya memiliki
masing-masing 4 jari di tangan kiri dan kanannya. Disabilitas ini terjadi
karena bundanya mengalami lobster syndrome sebelum dia terlahir dan merasakan
betapa indahnya dunia. Dampak krusial sekaligus fatal yang terjadi, Safira
harus menelan realita pahit tak memiliki jari senormal anak-anak pada umumnya.
Ironis bukan?
Safira
mengakhiri lagu yang ia bawakan secara fade out. Seulas senyum terlukis di
bibir tipisnya. Senyum karena dapat menunjukkan talenta bermain piano walau
belum ada seorangpun yang menonton performanya. Tidak masalah, yang penting
eksistensi anak perempuan berhidung mancung ini tak diragukan lagi. Baru saja
mengukir senyum dan berbahagia…
Braaak!!!
Pintu ruang musik
menjeblak terbuka, dan masuklah sekumpulan manusia ke dalamnya. Safira terpaku,
enigma mulai terbentuk di pikirannya akan kedatangan orang-orang yang telah
memecahkan balon kebahagiaan dalam hatinya.
“
Aku baru tahu ada peraturan baru yang menyatakan murid-murid dari kelas biasa
boleh menggunakan fasilitas bagi siswa kelas utama,” seseorang berucap
sarkastik. Ucapan yang menusuk perasaan Safira dengan jutaan pedang kesedihan.
Pemilik suara tadi adalah sesosok perempuan bertubuh semampai. Ekspresi arogan
mendominasi wajahnya. Dia bernama livonna, satu-satunya anak kelas utama yang
dikenal Safira. Itupun karena Livonna menorehkan prestasi sebagai artis muda
ternama sehingga mau tak mau Safira mengenalnya. Sudah menjadi tradisi bahwa
anak-anak kelas biasa dan kelas utama selalu berkonfrontasi.
“
Bila kita memiliki kemampuan dan tekad, mengapa tidak? Kurasa sudah waktunya
diskriminasi dicabut di akademi ini.” Sahut Safira berani. Tak ada sebersitpun
ketakutan untuk melawan Livonna dan kawan-kawannya.
“
Ingat, Safira! Kau hanyalah anak kelas biasa! Kemampuanmu jauh di bawah kami!
Aku dan teman-temanku masuk ke sekolah ini melalui sebuah tes yang
memprioritaskan bakat seni. Sedangkan orang sepertimu tak pantas menuntut ilmu
di sini!”
Dinding
kesabaran Safira nyaris roboh menghadapi serangkaian penghinaan penuh
intimidasi yang terlontar dari lisan Livonna. Bisa saja gadis ofensif ini
bersikap semena-mena mengingat reputasinya sebagai artis dan putri kepala
sekolah. Tetapi bukan Safira namanya jika tinggal diam menghadapi bentuk
ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Dengan berani ia berucap,
“
Kalau begitu, ayo kita battle. Kamu akan memperlihatkan bakatmu, begitu pula
diriku. Aku siap melakukannya kapan saja.”
Tawa
Livonna sedingin laut baltik begitu mendengar tantangan yang diajukan rivalnya.
“
Baik, siapa takut? Kau harus bisa memainkan alat musik lain, tak hanya piano
untuk mendemonstrasikan kemampuanmu. Teman-temanmu akan menjadi dancer saat kau
tampil nanti. Dan…satu lagi: mainkan lagu bertempo cepat. Selama ini kamu hanya
bisa membawakan lagu dengan irama pelan. Jika kau berhasil mengalahkanku, akan
kupastikan semua perlakuan tidak adil pada siswa kelas biasa dihapuskan.”
Safira
terperangah usai Livonna menerangkan kompensasi yang akan didapatkan dalam
battle mereka. Antusiasme membara dalam dadanya. Ya, prospek ini layak dicoba.
Terlebih ada potensi untuk menghapuskan bermacam bentuk diskriminasi antara
murid kelas utama dan kelas biasa.
“
Aku akan tetap menantangmu. Seminggu lagi kita akan bertanding di sini.”
Setelah
bersepakat, Safira bergegas meninggalkan ruang musik diiringi tatapan
meremehkan dari Livonna dan kroni-kroninya. Namun semaksimal mungkin ia
mengabaikan gesture tersebut. Fokusnya sekarang terletak pada pertarungan yang
akan dihadapi. Sejumput harapan mulai tumbuh, diikuti dengan hadirnya asa. Ia
harus bisa meruntuhkan benteng keangkuhan Livonna beserta seluruh intelektual
muda penghuni kelas utama.
**
“
Ada apa gerangan dengan anak bunda yang rupawan ini?”
Pertanyaan
lembut bunda membuyarkan lamunan Safira. Sejak tiba di rumah hingga senja yang
berganti menjadi malam, dara jelita ini mengalami dilema. Bingung dengan jenis
instrumen musik yang akan dia mainkan dalam pertarungan dengan Livonna. Apa lagi
ia harus membawakan lagu bertempo cepat. Situasi dilematis yang kompleks
menanti untuk diselesaikan.
“
Berceritalah sama bunda, siapa tahu bunda bisa membantumu.” Bujuk wanita paruh
baya berpenampilan anggun itu memohon.
Safira
mendesah, luluh oleh kelembutan serta ketulusan bundanya. Sulit sekali
menyimpan rahasia di bawah intel hati seorang ibu yang senantiasa mampu
menyelami perasaan buah hatinya.
Safirapun
mencurahkan segenap kegundahan yang berpusar dalam hati dan jiwa. Bunda
menyimak dengan penuh perhatian, sesekali melayangkan tatapan kagum pada putri
tunggalnya. Beliau jelas diliputi kekaguman sebab Safira memiliki keberanian
untuk menunjukkan talenta. Tak hanya untuk diri sendiri, Safira memperjuangkan
keadilan serta berupaya menghapuskan semua sikap kontradiktif yang diberikan
antara murid kelas utama dan kelas biasa.
“…Begitulah
bunda. Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?”
“
Kamu lupa ya, siapa bunda yang sebenarnya? Bundamu ini kan berprofesi sebagai
arranger dan musisi. Ayo ikut bunda!”
Masih
belum mengerti koherensi karier yang ditekuni bunda dengan pertarungannya
dengan Livonna, Safira melangkah mengikuti bunda ke studio musik. Bunda membuka
pintu studio dan mengajak Safira masuk ke dalamnya.
“
Kita bisa merealisasikan ekspektasi dengan mudah lewat pemikiran rasional dan
kemauan yang kuat,” kata bunda diplomatis seraya meraih sebuah biola berwarna
hitam yang terhampar manis di sudut studio. Diulurkannya biola itu pada Safira.
Sejurus kemudian, sebuah pemahaman mulai merasuki kepala Safira akan solusi
brilian yang dirancang bunda.
“
Bunda, apakah…apakah biola ini pemecahannya?” Lirih Safira.
“
Tentu saja. Biola ini akan membantumu memenangkan pertandingan dengan Livonna.”
Maka,
mulailah ibu dan anak yang sangat harmonis itu berlatih memainkan biola. Bunda
terus mengajari Safira tanpa mengenal lelah. Lautan kesabaran seolah tak
bertepi ketika mengajari buah hatinya. Benarlah opini para filsuf bahwa manusia
merupakan makhluk sosial, artinya tak mampu hidup tanpa kehadiran orang lain.
Di studio musik ini, Safira benar-benar merasakan esensi kebahagiaan menjadi
makhluk sosial. Tidak sebatas bertahan hidup saja, untuk memenuhi terpenuhinya
sebuah asapun setiap insan memerlukan manusia lain yang menolongnya.
**
Malam
menggantikan senja. Selimut kelamnya menyelubungi seantero metropolitan dalam
kegelapan. Namun kemunculan sang dewi malam dan berlian-berlian langit segera
mengusir kekelaman malam. Waktu malam tiba seperti ini, intensitas kemacetan
berkurang signifikan dikarenakan mayoritas penduduk ibu kota telah kembali ke
tempat tinggal mereka. Tenang, satu kata yang relevan untuk menginterpretasikan
kota jakarta di malam hari.
Malam
yang indah dan damai amat representatif dengan suasana hati Safira. Setelah
menjalani sesi latihan bersama bunda selama beberapa hari terakhir, dirinya
mampu membawakan lagu yang telah dipilihnya dengan baik. Kesalahan-kesalahan
yang kerap kali dilakukan dapat diantisipasi. Semakin hari, kian besar progres
yang didapat Safira. Safira menemukan kembali optimisme, sementara piramida
kebanggaan berdiri tegak dalam hati bunda. Kebanggaan karena anak semata
wayangnya bisa bermain biola dengan kedelapan jarinya.
“
Bunda?”
“
Ya Sayang?”
“
Bintang-bintang itu selalu terlihat indah.” Safira bergumam, menatapi gemerlap
bintang di petala langit.
“
Kamu benar. Setiap malam, bintang dan bulan selalu berkonspirasi menerangi
jagat raya. Dan kamu tahu apa makna kilau bintang yang tampak sangat menawan?”
Tanya bunda.
Safira
menggelengkan kepala, keingintahuannya bangkit.
“
Kilau bintang itu layaknya harapan dan asa yang terpatri di relung hati dan
jiwa kita. Kala kita memiliki harapan dan asa, bintang-bintang itu menjelma
bagai kemilau asa dan harapan yang kita bangkitkan. Dan akibat keindahannya,
kita termotivasi untuk mewujudkan segala asa serta ekspektasi kita. Safira
mengerti?”
Safira
terpana, meresapi perkataan filosofis bunda. Secara implisit bunda memacu
semangatnya untuk terus berjuang. Seburuk apapun kondisi fisik, takkan pernah
menjadi halangan bagi kita dalam meraih gempita kesuksesan.
Sayang
sekali, saat-saat indah penuh kasih itu diinterupsi oleh kepulangan ayah.
Sebagai businessman yang sibuk mengurus belasan perusahaan, ayah Safira jarang
sekali bisa meluangkan waktu bersama keluarga. Wajar bila Safira lebih dekat
dengan bunda dibanding dengan ayahnya. Dan malam ini, sang ayah ingin
melampiaskan obsesi melewatkan waktu dengan istri dan putrinya. Beliau
melangkah tegap memasuki studio musik, lantas menyapa.
“
Selamat malam semuanya. Sudah ayah duga kalian ada di sini…”
Mendadak,
pandangannya terfokus pada biola yang dipegang Safira. Sontak ekspresinya
bertransformasi: senyum ceria penuh kehangatan lenyap, tergantikan oleh luapan
amarah dan kesedihan. Wajah bunda ikut memias, menyadari apa yang terjadi.
“
Biola itu…”
“
Dengarkan aku dulu, ayah. Ini demi…”
“
Bukankah sudah kularang siapapun menyentuh apa lagi memainkan biola itu?!!!
Sadarkah kau tersimpan banyak kenangan manis tentang ibu kandung Safira dalam
biola itu?” Geram ayah, suaranya menggelegar bagai pengkhotbah di puncak bukit
golgota.
Safira
terpaku laksana menhir begitu mendengar kalimat terakhir ayah. Ibu kandung?
Bukankah selama ini…. Pada saat bersamaan, ayah dan bunda teringat bahwa Safira
masih berada di sisi mereka. Terlambat untuk berkelit, toh segala tabir rahasia
akan tersingkap.
“
Baiklah. Anakku, sudah waktunya kamu tahu. Sebenarnya, ibu kandungmu sudah lama
meninggal. Sebelum meninggal, ibu kandungmu merupakan pemain biola ternama. Itu
sebabnya ayah menjadi paranoid pada biola, karena terlalu banyak kenangan tentang
ibumu di dalamnya.”
Kata-kata
seolah terkunci dalam benak Safira. Ya tuhan, sungguh semua kejutan ini berada
di luar asumsinya. Ternyata, bunda yang mencintai, menyayangi, mendidik, dan
membesarkannya bukanlah bunda yang memiliki ikatan biologis dengan Safira.
Mengapa rahasia itu harus tersingkap menjelang event yang membutuhkan
konsentrasi? Tragis.
**
Hari
yang dinantipun tiba. Seluruh civitas academica akademi seni tempat Safira
bersekolah telah datang ke ruang musik. Mereka didera keingintahuan pada battle
yang dilakukan Safira dan Livonna. Atmosfer ketegangan menebar di seantero
ruangan, bisikan-bisikan penuh gairah terus terdengar.
Di
belakang panggung, tak hentinya Safira memanjatkan doa, memohon yang terbaik.
Sebab pertarungan prestisius inipun mempertaruhkan nama teman-temannya. Kendati
belum pulih dari shock akibat kenyataan akan ibu kandungnya, Safira sudah
berjanji akan berupaya maksimal dalam battle melawan Livonna. Siluet bunda dan
ayah senantiasa mendukung, walau secara non-verbal. Ketika momen dimulai, Safira
menguatkan hati dan jiwa, lalu melangkah menuju panggung.
Livonna
yang pertama kali tampil. Tampak memesona dalam balutan dress berbentuk tube
top berwarna merah marun, gadis angkuh ini membawakan lagu ‘You Belong With Me’
yang dipopulerkan penyanyi cantik Tailor Swift. Partner-partner Livonna dari
kelas utama melakukan koreografi dengan serangkaian gerakan kreatif yang
memikat. Ketiga juri yang diundang, meliputi koreografer profesional, arranger
ternama, dan kritikus seni dibuai kekaguman melihat penampilan Livonna.
Sebagian besar hadirin memberi applause setelah Livonna menyelesaikan show yang
dibawakan dalam konsep yang cerdas itu.
Dan
saat-saat mendebarkan bagi Safira itu tiba juga. Menempatkan diri di depan
sebuah biola, kembali dihelanya nafas dalam-dalam. ‘ini semua demi orang-orang
yang kucintai’ bisik hatinya. Setelah mengalunkan nada intro, mulailah dara
berlesung pipi tersebut bernyanyi disambuti rangkaian koreografi yang dilakukan
sejumlah kawannya:
Dansa
yo dansa buat apalah bermuram durja habiskan waktu dengan percuma
Hati
nelangsa buat apa…
Demikianlah
sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan Safira dengan sepenuh hati. Dalam kondisi
psikis yang tak menentupun, ia tetap konsisten dan bertanggung jawab dengan apa
yang harus ditampilkan. Teman-temannyapun menarikan koreografi dengan
gerakan-gerakan yang tak kalah inovatif dengan murid dari kelas utama. Dewan
juri dibuat terpesona akan performance mereka. Penampilan Safira sukses, ia
mampu membidikkan panah kekaguman dalam hati para juri dan hadirin. Lebih
menakjubkan lagi, di akhir pementasan ketiga juri dan semua orang dalam studio
musik itu memberikan standing applause, sebuah penghormatan dan pujian yang
luar biasa.
Perlu
beberapa waktu untuk para juri berkonferensi menentukan siapa pemenang dalam
battle kali ini. Kontras dengan Livonna yang pesimis, Safira justru tengah
berada dalam euforia optimisme. Dan akhirnya…
“
Sebuah keputusan telah kami tetapkan. Livonna, penampilanmu sangat bagus dan
mengagumkan. Sejak dulu kami memang mengerti kau sangat berbakat. Tapi ada yang
mengalahkanmu di panggung ini, yaitu Safira. Hanya satu yang membuatmu kalah:
kekuatan tekad. Karena kamu…arogan, kamu tidak punya motivasi untuk menang.
Prediksimu, kamu akan selalu menang. Namun kenyataan berbicara lain. Jadi
pemenangnya adalah…Safira.”
Tepuk
tangan membahana di seluruh ruang musik. Satu per satu insan datang dan memberi
ucapan selamat pada Safira. Livonnapun dengan gentle mengakui kekalahan dan
menepati janjinya. Tak ayal lagi, kemenangan ini mampu mengobati keterkejutan
sekaligus duka yang melanda Safira. Akhirnya, dengan kemilau asanya, dia mampu
menumpas setiap bentuk diskriminasi sekaligus mengangkat reputasinya sendiri.
Itulah hasil yang kita peroleh dalam kerja keras dan mematrikan kemilau asa di
dalam jiwa.
Selesai