Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto.
Sabaku Gaara adalah pria terbaik di antara Naruto dan
teman-temannya.
.
.
Jangan salahkan rintik air mata yang jatuh dari langit
Karena itulah air mata rinduku untukmu
.
.
Hinata berdiri di puncak tangga. Membiarkan angin nakal
mengurai ikatan rambutnya yang terikat longgar. Surai indigo itu berkibaran,
menjatuhi punggung. Biarlah nanti ada tangan kokoh nan hangat yang menguncirkan
kembali rambutnya.
Ironis, pemilik tangan itu tak ada di sini. Entah dimana ia
sekarang. Mungkin di kantor Suna Corp, atau di rumah sakit. Opsi pertama
mungkin tidak benar. Baru sepuluh menit lalu Hinata menelepon Matsuri.
Sekretaris bohai berambut coklat itu melaporkan kalau suaminya telah
meninggalkan kantor.
“Gaara-kun? Kau dimana?” desah Hinata pasrah.
Petir menggeletar. Rintik hujan terdengar ringan di telinga.
Dalam bayangan Hinata, langit sore ini teramat gelap. Gulungan awan Nimbus
setebal kitab suci menghiasinya.
Ya, mantan heirres Hyuuga itu hanya bisa membayangkan.
Sepasang manik lavender itu buta. Silakan menyalahkan retinanya yang telah
rusak akibat kecelakaan mobil bertahun-tahun silam.
Kami-sama Maha Adil. Selepas kecelakaan yang merenggut
penglihatan dan kedua orang tuanya, Hinata tak lagi sendiri. Gaara mengulurkan
tangan dengan penuh kasih bagai malaikat pelindung. Ia menikahi Hinata, lalu
membawa wanita cantik itu tinggal bersamanya.
Jika dirunut ke belakang, sesungguhnya Gaara bukanlah orang
baru dalam hidup Hinata. Kehadiran pria berambut marun itu telah mendominasi
separuh lembar buku hidupnya. Pertama kali Hinata mengenal Gaara dalam usia
enam tahun.
.
.
.
Todoke todoke tooku e
Ima wo kishikaisei namida azukete
Kono tobira no mukou ni
Mada minu asu ga otozureru kara
Hajimare
Nagai nagai kimi monogatari
Gapailah, gapailah, sejauh mungkin
Kini kupercayakan air mata ini kepadamu
Karena dari sisi lain pintu ini
Ada hari esok yang akan menghampiri
Telah dimulai
Cerita yang panjang tentang dirimu
.
.
.
Hari sudah sore ketika taman bermain itu dipenuhi anak-anak.
Mereka membentuk kelompok kecil. Ada yang bermain bola, berkejaran, memanjat
naik ke rumah pohon, memainkan jungkat-jungkit, dan meluncur di perosotan. Satu-satunya
permainan anak yang sepi hanyalah ayunan.
Ayunan itu hanya dimainkan seorang diri. Anak lelaki
berambut merah, bermata jade, dan berkulit pucat duduk di ayunan biru. Lengannya
mendekap Teddy Bear. Matanya sayu menatap kawan-kawan sepantarannya yang larut
dalam keceriaan.
Buk!
Kulit bundar berwarna orange melayang. Tepat mengenai sisi
kanan tubuh anak pucat itu. Diambilnya bola seraya ditimang. Perlahan ia
bangkit, bermaksud mengembalikan bola.
“Hmmm, tidak usah.” Tolak anak pemilik bola dengan gusar.
Anak bersurai merah itu terdiam, menggenggam bola erat-erat.
“Buatmu saja. Aku tidak mau menerima benda dari anak
berpenyakit sepertimu.”
Little Gaara mengerjap. Dia tidak selemah itu. Kalau perlu,
dia bahkan bisa bermain bola dengan lincah seperti mereka. Sejurus kemudian
Gaara menjejalkan bola ke tangan pemiliknya. Alih-alih senang, si anak malah
mendorong Gaara sambil berteriak,
“Minggir anak penyakitan! Jangan harap aku mau berteman
denganmu!”
Tubuh Gaara tersungkur mencium rumput. Seisi taman
meneriakinya. Sampai...
“Kamu tidak apa-apa?”
Sepasang tangan pucat terulur. Lembut, mulus, dan
menenangkan. Refleks Gaara menyambut tangan itu. Sekali lihat saja ia tahu
kalau tangan itu milik anak perempuan.
“Hei, Hinata! Ngapain kamu bantu anak lemah itu?” teriak
seorang gadis kecil berambut sewarna bubble gum.
“Kurasa Naruto lebih cakep!” Anak pirang dan bermata
aquamarine tersenyum mengejek.
“Hinata suka Gaara! Hinata suka Gaara!” Gadis berambut
cempol berkoar, disusul jerit nyaring anak lainnya.
Tak peduli, Hinata menggandeng Gaara meninggalkan taman. Berdua
mereka menyusuri trotoar. Lelampu jalan mulai menyala, pertanda senja kian
dekat.
“Abaikan mereka,” gumam Hinata lembut.
Hari itu menjadi hari pertama yang indah untuk Gaara dan
Hinata.
.
.
.
“Aku merindukanmu, Gaara-kun. Rindu tubuhmu, cintamu, kasih
sayangmu.”
Derit halus pintu disusul derap sepatu membuyarkan kenangan
Hinata. Hatinya melonjak gembira.
“Tadaima...”
“Ayah!”
Ah, itu suara-suara yang dinantinya. Gaara pulang. Shinki,
anak tunggal mereka, menyambutnya.
Tangan Hinata menggapai-gapai pagar tangga. Ia ingin turun,
ingin menyambut belahan jiwanya.
“Sini, Sayangku. Kau tak perlu turun untuk menyambutku.”
Suara barithon itu teramat menenteramkan. Hinata disekap kehangatan.
Detik berikutnya, bibir Gaara menyapu kening Hinata. Ciuman kening dari Gaara
adalah sesuatu yang selalu dinantikan Hinata dan Shinki.
“Gaara-kun sudah minum obat?” tanya Hinata saat Gaara
membimbingnya ke kamar utama.
“Sudah, Princess. Bagaimana harimu? Matamu tidak perih lagi,
kan?”
“Sedikit..”
Langkah mereka terhenti. Mereka telah sampai di kamar
bernuansa broken white itu. Gaara membungkuk, mencium mata Hinata.
“Semoga sakitnya pindah padaku,” ujarnya tulus.
Hati Hinata berdesir hangat. Gaara menghangatkan pernikahan
mereka dengan kelembutannya. Ia cintai Hinata apa adanya. Tak pernah sekalipun
ia menuntut Hinata melayaninya. Bahkan...oh, demi Tuhan, Gaara tidak meminta
pelayanan Hinata di tempat tidur. Shinki mereka dapatkan lewat jalan adopsi.
“Gaara-kun tidak boleh sakit,” lirih Hinata.
“Tidak, Hinata. Aku...uhuk.”
Ujung kalimatnya terpotong. Hati Hinata mencelos.
Didengarnya langkah-langkah menjauh.
.
.
.
Sayonara to te wo futta ano ko
Wa ichido mo ushiro wo furikaerazu ni
Hitonami nomarete kieta
Kokoro no renzu wo kumoraseru no wa
Jibun ga tsuiteta tameiki sa
Mabataki sae mo oshii bamen wo
Nakushiteta
Berkata "selamat tinggal" dan melambai
Gadis itu tak akan menoleh ke belakang lagi
Kemudian ia menghilang di dalam keramaian orang
Lensa hatiku berubah menjadi berkabut
Kemudian aku pun menghela nafas
Saat menutup mata, adegan yang disesalkan itu
Telah menghilang (Little by Little-Kimi Monogatari).
.
.
.
Pandangan mata Gaara berkabut. Komisaris utama Suna Corp itu
merasakan tusukan sakit luar biasa di dadanya. Sejenak dia tatapi pantulan wajahnya
di cermin wastafel.
Pucat. Paras yang bertambah pucat dari hari ke hari.
Lingkaran hitam kian menebal. Berbanding terbalik dengan rambut merahnya yang
kian menipis.
Percik-percik darah mengotori wastafel. Hidung Gaara
mengeluarkan banyak darah. Dia terbatuk. Membuat genangan kecil di bidang putih
persegi itu.
“Tuhan...aku ikhlas dengan masa kecilku yang kelam,” rintih
Gaara, seraya menutup matanya sejenak.
“Aku ikhlas ditakdirkan dalam keadaan double minority,
kesepian, dan tanpa teman. Tapi aku belum rela bila nyawaku dilepas sekarang.
Shinki dan Hinata masih memerlukanku.”
Ayah satu anak itu resah. Bagaimana Hinata dan Shinki bila
tanpa dirinya? Sewaktu ia dirawat di rumah sakit selama dua minggu, Hinata tak
bisa berhenti menangis. Shinki terus memanggil Ayahnya dan menolak masuk
sekolah. Hidup istri dan anaknya akan berantakan tanpa Gaara. Bungsu Sabaku itu
pelangi cinta mereka.
.
.
.
“Princess,” panggil Gaara lembut.
Hinata meringkuk di ranjang besar. Matanya berkaca-kaca. Ia
cemas, cemas sekali pada kondisi sang suami.
Kedua tangan hangat Gaara melingkari tubuh Hinata. Hidung
mancungnya merendah, tepat menyentuh surai istrinya. Menghirup dalam-dalam
aroma lavender. Sementara itu, ketenangan menyeruak ke hati Hinata tatkala mencium
wangi Calvin Klein dari tubuh Gaara.
“Kamu tidak akan kehilanganku...” hibur Gaara.
“Gaara,” kata Hinata serak.
“Lebih baik aku buta selamanya dari pada kehilangan cinta
kasihmu.”
Sontak Gaara mengeratkan pelukannya. Diciuminya ubun-ubun
dan dahi Hinata penuh cinta.
“Kau takkan kehilanganku. Pakailah bahuku untuk menangis
sepuasmu. Gunakan telingaku untuk menampung curahan hatimu, sepanjang apa pun
yang kaumau. Hinata, aku mencintaimu aku mencintaimu aku mencintaimu.”