Sacrifice of Love: Perlu Ada Pengorbanan Dalam Cinta
Lagi-lagi saya tergerak buat nge-blog atas faktor gundah dan
khawatir. Ditambah perasaan susah tidur. So, meski waktu menunjukkan tepat
pukul dua pagi, hasrat untuk mencurahkan segalanya ke dalam kata-kata tak dapat
tertahan lagi.
Diawali dari meninggalnya teman saya akibat kanker.
Peristiwa kematian karena ganasnya kanker memang bukan hal baru. Kemoterapi,
radiasi, dan operasi tidak bisa menjamin kesembuhan seratus persen. Bahkan
ketiga pengobatan medis itu justru meninggalkan efek samping yang cukup
signifikan.
Yah...tragedi kematian teman saya itu berada dalam kuasa
Allah Azza wa Jala. Saya hanya bisa berdoa agar amal ibadahnya diterima, segala
dosanya diampuni, kuburnya diluaskan, dan keluarga yang ditinggalkan mendapat
ketabahan. Jujur saya sendiri sulit percaya, namun cepat-cepat saya tepis
ketidakpercayaan itu menjadi keikhlasan.
Di tengah duka yang mendera, saya kembali diuji. Saya tak
menyangka jenis ujian seperti ini akan datang lagi.
Saya layak menyebutnya sebagai ujian cinta. Ya, lantaran
ujian ini melibatkan saya dan pria yang sangat saya cintai. Berawal dari
ungkapan kerinduannya pada saya, lalu sayapun mengungkapkan rindu yang sama.
Dan pada kenyataannya, saya memang sangat merindukan dia. Terlebih frekuensi
komunikasi kami akhir-akhir ini sangat kurang.
Jantung saya serasa berhenti berdetak kala dia menyatakan
jika dirinya tak tahan lagi. Dia bahkan ingin berteman saja dengan saya.
Langsung saja logika dan batin saya menerbitkan tanda tanya. Ada apa
sebenarnya? Apakah dia tidak baik-baik saja? Adakah sesuatu yang menimpanya
sehingga ia terpikir untuk mengakhiri semuanya?
Big no. Begitulah kata hati saya. Saya takkan melepaskannya.
Dia yang pertama, saya ingin menjadikannya yang terakhir pula. Dan malam ini,
untuk kedua kalinya, saya menangis karena seorang pria. Menangis karena cinta.
Saya berusaha meyakinkan dia. Saya kira dia akan mengerti,
berbeda dengan pria-pria lain yang pernah mendekati saya. Mereka langsung
mundur teratur begitu mengetahui betapa sibuknya saya. Saya duga, dia akan
mengerti. Sebab selama ini, dalam pandangan saya dia tipikal pria yang sangat
pengertian.
Pada akhirnya dia berhasil diyakinkan. Diapun meminta maaf.
As usual, pintu maaf saya selalu terbuka untuknya. Setelah itu, saya
mengungkapkan segalanya. Segala yang terpendam di hati saya. Bahwa saya tak
ingin dia sedih, sakit, maupun terluka. Saya akan senang andai kesedihan,
kebahagiaan, rasa sakit, atau apapun yang dirasakannya menjadi bagian hidup
saya. Akan tetapi dia merasa semua itu takkan bisa. Pasalnya saya tidak bisa
selalu ada untuknya. Saya tak punya waktu untuknya. Dia hanya bisa menunggu
saya.
Saat itu, pikiran saya makin kacau. Untuk kesekian kalinya
saya merasa begitu ironis. Dedikasi saya untuk orang-orang dan beberapa
kegiatan bisa saya berikan, namun saya belum bisa memberikan dedikasi untuk
kekasih saya sendiri. Ironis, bukan?
Sejurus kemudian terpikir oleh saya untuk mengorbankan salah
satu aktivitas saya. Namun ia menolak. Ia menduga, nanti ada yang menyalahkannya
karena hal itu. Lebih baik saya tetap begini, dan dirinya baik-baik saja. Oh
Dear...dalam situasi seperti ini, masih saja dia pengertian. Masih saja dia
mengalah.
Ketika semuanya sudah lebih baik, kembali terpikir oleh saya
untuk berkorban. Mengorbankan salah satu kegiatan, mengurangi kesibukan saya.
Bukankah dalam cinta mesti ada pengorbanan? Saya tak bisa membiarkannya
terus-menerus mengalah. Saya tahu dia kuat, tetapi bukankah kekuatan selalu ada
batasnya?
Sudah cukup sering saya membaca kisah-kisah pengorbanan
dalam cinta, baik itu kisah fiksi maupun nyata. Mungkin sekaranglah giliran
saya untuk melakukan pengorbanan pula. Dengan demikian saya bisa memiliki lebih
banyak waktu untuknya, mendampinginya, dan ikut merasakan sedih, rasa sakit,
luka, bahagia, atau apapun yang ia rasakan. Saya akan dengan senang hati menjadikan
semua itu sebagai bagian hidup saya.
Sesungguhnya, problem saya yang paling mendasar ialah
ketidakmampuan membagi waktu. Masalah ini benar-benar sulit dan belum saya
temukan pemecahannya. Sejak dulu time management saya jelek sekali. Urusan
pribadi dan urusan novel, modeling, organisasi, kegiatan sosial, dll sulit
terbagi. Dan sedihnya, sejak awal saya sering kali mengorbankan urusan pribadi.
Semua ini menyedihkan. Saya butuh pemecahan.
Maka dari itu saya tergerak untuk berkorban. Berkorban demi
cinta. Seperti yang saya lihat dan baca selama ini. Jika nanti ada yang
menyalahkan dia karena saya mengorbankan satu hal, saya takkan tinggal diam.
Pihak yang menyalahkan itu mesti dibuka dulu mata hatinya.
Saya jadi teringat kata-kata kakak kelas dan sahabat saya: Nelsyadela
Putry dan Heni Christiani. Teh Nelsya-begitu saya biasa memanggilnya-mengatakan
semakin lama sebuah hubungan, makin banyak aral melintang yang akan menghadang.
Kuat-tidaknya cinta dan ketulusan kita yang menentukan. Sementara Heni
mengatakan jika ia percaya saya akan bisa terus mendampinginya, sebab ia
percaya pada kekuatan cinta. Ya, saya percaya pula pada kekuatan cinta. Dan
kekuatan cinta itulah yang memotivasi saya untuk melakukan pengorbanan.
Well, sama seperti dulu. Dalam sedih dan khawatir yang
memuncak, saya kembali mendengarkan Sekali Ini Saja-nya Glenn Fredly. Lagu itu
representatif dengan isi hati saya. Paling menyentuh pada lirik ‘Tuhan bila
masih ku diberi kesempatan, izinkan aku untuk mencintainya’ di bagian chorus
dan ‘Tak sanggup bila harus jujur, hidup tanpa hembusan nafasnya’. Itu dalam
sekali, menyentuh tepat ke dasar hati saya. Persis seperti yang ingin saya
ungkapkan padanya.
Andai dia tahu betapa tak menentunya perasaan saya. Betapa
ingin saya bisa selalu ada di sisinya, namun situasi dan kesibukan yang menghalangi.
Betapa namanya selalu hadir dalam doa-doa saya. Betapa besar kecemasan saya
setiap harinya. Ya, terus terang saya senantiasa mencemaskannya. Saya selalu
cemas dia akan sakit, terluka, sedih, atau terjadi sesuatu padanya. Saya baru
akan tenang setelah memastikan dirinya baik-baik saja. Rasa cemas itu kian
menguat setelah beberapa minggu lalu terjadi sesuatu padanya. Saya sungguh tak
ingin kehilangannya. Mengetahui dia sakit atau terlukapun sudah menjadi pukulan
berat bagi saya. Ingin sekali saya pindahkan semua sakit itu ke tubuh saya
sendiri. Biar saya saja yang merasakan, jangan dia. Je t'aime vraiment, Oppa.